12. Musuh Lama

103 25 4
                                    

"Nia ?!"

Bagaikan disambar petir. Naya merasakan gelegar itu didalam jiwanya. Teman masa kecilnya yang memberikan kesan kelam kini berada dihadapannya. Masih dengan senyum pongkahnya.

Apakah perempuan itu akan memaki dirinya lagi ? Apakah perempuan itu akan menghina dirinya atas ayahnya lagi ? Apakah dia akan menyebarkan rumor itu ditempat kerjanya juga ? Apakah dirinya akan dibenci semua orang lagi ? Apakah dirinya akan kabur lagi ? Pertanyaan apakah-apakah lainnya yang bersarang di pikiran Naya akan meledak karena tidak mendapat jawaban atas pertanyaannya sendiri.

Masih dengan keterdiamannya, Nia maju selangkah dan menunduk, memeluk Naya seolah Ia merindukan perempuan yang dulu sering Ia bully.

"Mau mulai permainan baru Naya ?" Bisik Nia tepat didepan telingan Naya.

Jiwa yang sudah retak kini semakin bergejolak. Naya merasakan pening pada kepalanya. Ia mencengkeram ujung meja sampai jari-jarinya memutih. Naya memejamkan matanya mengingat wajah Sandi saat menenangkan dirinya.

"Tarik nafas sedalam-dalamnya. Kemudian hembuskan perlahan. Lakukan berulang. Seolah kamu mengumpulkan beban pikiran itu dan membuangnya perlahan."

Cara itu cukup bisa mengontrol diri Naya untuk saat ini agar tetap mempertahankan alteregonya tidak berubah. Naya membuka matanya dan menatap Nia dengan tenang.

"Apa kabar Nia ?" Ucap Naya dengan senyum manis yang dia paksakan.

Dering telfon memecahkan ketegangan yang terjadi diantara keduanya. Suara yang berasal dari ponsel Naya.

"Halo Put." Jawab Naya setelah menerima panggilan dari Putri.

"Kak Naya jangan kemana-mana. Jangan keluar kantor apapun yang terjadi. Aku dari pihak polisi dalam perjalanan untuk menjemput Kakak." Ucap Putri dengan tegas.

"Apakah keadaannya separah itu ?" Tanya Naya dengan penuh khawatir.

"Iya kak, separah itu. Sekarang kak Naya dalam pengawasan polisi." Jawab Putri yang tiba-tiba mematikan panggilan sepihak.

"Ada apa nay ?" Tanya Laras khawatir setelah melihat kecemasan Naya menjawab panggilan yang Ia tebak dari pihak polisi.

"Aku dalam pengawasan polisi. Nanti aku akan dijemput mereka."

Nia yang tidak tahu tentang apa yang mereka obrolkan memilih pergi dengan bodoh amat. Menyisakan Naya dengan kecemasannya. Laras dan Bagas yang ikut panik dengan keadaan yang sedang terjadi.

Tok... tok... tok...

Suara ketukan pintu kaca mengagetkan ketiganya. Ada Sandi disana yang masuk dengan setelan kemeja coklat dan celana bahan waran hitam.

"Naya bisa bicara sebentar ?" Tanya Sandi to the point

Mereka berdua berjalan menuju taman belakang kantor yang cukup sepi. Mereka duduk dengan memegang secangkir kopi ditangan masing-masing.

"Apa kamu bisa mengingat wajah laki-laki bertopi bucket itu ?" Tanya Sandi memulai obrolan.

Pegangan Naya pada gelas semakin erat. Matanya membelalak kaget mendapati pertanyaan Sandi yang tiba-tiba.

"Apakah laki-laki itu memiliki tato di lehernya ?" Tanya Sandi kemudian.

^^^

Dira menatap jeruji besi didepannya dengan tatapan kosong. Tubuhnya penuh dengan lebam dan bercak darah yang telah mulai mengering. Air matanya masih mengalir sedari malam, tepat setelah usahanya untuk kabar yang ketahuan. Dan berakhir dengan tewasnya Lusi, teman sesama tahanan di gudang terkutuk itu.

Pikirannya melayang saat dirinya turun ke ruang bawah tanah...

Gelap. Tidak ada pencahayaan didalam ruang bawah tanah yang Dira dan Lusi masuki. Tanahnya basah, becek, lumpur langsung menyambut telapak kakinya yang telanjang.

Kedua tangan mereka saling bertautan, saling menggenggam satu sama lain. Tangan yang satunya meraba kesegala tanpa arah. Kaki mereka melangkah pelan dengan gemetar.

Tiba-tiba semua lampu yang mereka lewati menyala dengan serempak. Memberikan cahaya kepada Dira dan Lusi. Tapi diluar itu, mereka merasakan ketakutan yang luar biasa. Seoalh itu pertanda bahaya buat mereka berdua. Dan dugaan mereka benar, ada seorang laki-laki berpakaian serba hitam, memakai topi bucket yang menutupi wajahnya berjalan dengan cepat kearah Dira dan Lusi.

Dengan rasa takut yang menjalar di diri Dira dan Lusi membuat dua perempuan itu hanya bisa menangis dengan tubuh gemetar. Kakinya hanya bisa mundur pelan, tubuhnya sangat lemas. Kakinya tidak bertenaga.

Plakkk...!

Plakkk...!

Laki-laki dengan topi bucket sampai didepan Dira dan Lusi, menampar mereka bergantian dengan tenaga penuh. Hingga keduanya jatuh terduduk di tanah berlumpur dengan sudut bibir mengeluarkan sedikit darah.

Laki-laki itu berjongkok untuk mensejajarkan posisinya dan menghadap ke Lusi.

"Sekarang giliranmu." Ucap laki-laki bertopi bucket dengan suara dinginnya.

Tangis Lusi pecah saat itu juga. Dengan cepat laki-laki itu mengangkat tubuh Dira ke pundaknya dengan sekali angkat. Kemudian berjalan dan menyeret tubuh Lusi dengan kasar. Berontak yang dilakukan kedua perempuan itu tidak ada efeknya untuk laki-laki itu.

Dira dimasukan lagi kedalam jeruji sel tahanan. Sedangkan Lusi dibawa keluar ruangan untuk dieksekusi.

"Sebentar lagi giliranku !" Ucap Dira lirih kepada dirinya sendiri.

^^^




Ceritanya berantakan banget. Aku pusing :v

Selamat membaca :)

Disosiatif AlteregoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang