Valen menarik kaki jenjangnya agar tertutup oleh selimut yang masih ia peluk erat. Sesuai yang ia katakan semalam, wanita itu enggan menyapa sinar mentari. Ia ingin terlepas dari alam ini.
Mulai dari keluarga, atasan, dan pacar, semua mempermainkannya dalam waktu bersamaan. Namun, kenapa masih ada yang peduli sama dia? Apa mereka masih ingin menambah daftar pengkhianatan dalam hidup seorang Valen?
"Kamu beneran sudah bangun atau pura-pura tidur? Bangunlah, sudah jam sembilan."
Valen menyingkap selimut dan menatap lelaki di ambang pintu dengan mata bengkak. Wajah datar dengan kulit putih sudah menjelaskan jika lelaki itu mirip hantu penghisap darah.
"Aku sudah buat sarapan, berhubung kamu lama, jadi aku letakkan di microwave. Kamu bisa cuci muka atau sekalian mandi sebelum keluar kaman." Lelaki itu pergi setelah mengatakan yang seharusnya.
Valen mendengkus, lalu kembali menarik selimut sampai atas kepala. Hanya sebentar, karena setelahnya ia menendang kain tebal penuh kehangatan tersebut dan berjalan malas ke kamar mandi.
Setelah menghabiskan banyak waktu untuk menerima jalan hidup, Valen akhirnya keluar dari kamar yang masih bisa melihat dunia. Netra sendu miliknya menyapu luas ruangan sangat rapi itu, tirai abu-abu luas membentang di sisi kanan ruangan, hanya terbuka sedikit sebagai jalan cahaya masuk. Namun, yang ia cari adalah bagian di mana ia bisa segera meninggalkan tempat itu.
Aga bernapas lega melihat wanita itu keluar dari kamarnya, meski dengan mimik tak terbaca, setidaknya ia tidak harus memasuki. Ia berdiri dari sofa panjang hingga dua pasang mata tersebut beradu sekian detik.
"Gue mau pulang," ucap Valen lirih tapi tegas.
Aga mengangguk. "Biar aku antar, tapi sebelum itu kamu harus makan dulu di sini." Lelaki itu berjalan menuju meja makan yang menyatu dengan ruang tamu. Ia menyiapkan ulang roti bakar yang tersimpan di microwave dengan suhu terendah, lalu mengambil susu dari lemari pendingin, dan menuangkannya ke gelas.
"Gue mau pulang," ulang Valen yang masih berdiri di dekat sofa.
"Makan atau nggak akan bisa keluar dari tempat ini?" Shit, Aga tidak mengerti apa yang diucapkan oleh bibir merahnya.
"Lo bukan siapa-siapa yang berhak ngatur gue." Valen melangkah menuju pintu, enggan mendengar ucapan Aga.
"Kamu nggak akan bisa keluar, selama kuncinya ada sama aku." Valen mendengkus disertai tatapan tajam pada Aga. Lelaki itu menyuruh Valen ke meja makan dengan dagu. "Makanlah dulu, aku tinggal ambilin tas kamu." Setelah mengatakan ancaman pada Valen, Aga berlalu seraya menggeleng pelan. Ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikir otaknya saat ini.
Valen terpaksa menuruti ucapan Aga, kaki tanpa alas itu menghampiri meja makan. Ia memandangi apa yang ada di hadapannya tanpa ada niatan untuk menyentuhnya. Selama hidup 23 tahun, baru sekarang ia mendapat perlakuan seperti ini. Biasanya juga dirinyalah yang memasak hingga menata makanan di meja makan. Valen mendongak saat matanya kembali memanas. Cukup sudah air mata yang terbuang sejak kemarin, ia tidak ingin merasakan luka lebih dalam lagi. Hidupnya sudah hancur.
Maniknya menatap pisau di sisi piring yang bersanding bersama garpu. Pisau ramping itu memantulkan mata sembap Valen saat dia memeganggnya di genggaman. Sudahlah. Toh, tidak ada yang peduli, batinnya.
Valen kembali menatap makanan yang sudah disiapkan Aga. Ia akan mengingatnya sebagai hadiah terakhir di hidupnya. Sejenak, dia menertawakan diri sendiri. Lihat saja, wajah yang biasanya dipenuhi riasan indah kini mulai memutih. Keringat dingin muncul dari pori-pori saat rasa sakit di pergelangan tangan datang. Namun, rasa sakit itu tidak sebanding dengan luka di hati.
Ia merebahkan kepala di atas meja. Menyaksikan darah yang terus mengucur jatuh. "Kacau hidup lo, Valen! Sekarang lo jadi sampah! Lo bakal mati, dan nggak bakal ada orang yang dateng ke pemakaman lo karena lo nggak punya siapa-siapa!"
****
Tubuh Aga duduk di sofa panjang yang berada di ruang kerja, tatapannya tertuju pada tumpukan buku di atas tas milik Valen. Ia terkekeh pelan seraya memasukkan buku-buku tersebut ke dalam tas. Tak lupa dengan ponsel, dompet, serta alat make-up. Ada rasa ingin menahan Valen lebih lama lagi, tapi ia tidak memiliki alasan yang tepat.
Masih tidak habis pikir hingga wanita itu ingin mengakhiri hidupnya. Karena jika dilihat dari penampilannya, Valen tampak cantik dengan setelan seragam kantornya. Apa dia terlilit hutang?
Aga juga tidak akan menepis untuk mengakui wanita itu cantik dan membuatnya terbuai pada pertemuan pertama. Ditambah buku-buku yang tidak asing berada di dalam tas Valen.
"Kenapa lagi, San?" tanyanya langsung saat nama Sandi menghubunginya untuk kedua kali pagi ini. Padahal tadi pagi ia sudah bilang, kalau hari ini ia tidak ingin diganggu oleh siapa pun.
"Maaf, Pak, mengganggu. Ini ada yang ingin bertemu dengan Anda, saya sudah menjelaskan kalau Anda sedang sibuk, tapi dia memaksa," jelas Sandi. Seseorang yang sangat ia andalkan dalam banyak hal.
Aga menghela napas. "Tadi bukannya saya udah bilang kalau jangan ganggu? Ini yang terakhir. Dia siapa, sih? Berikan ponselnya padanya," titahnya.
"Selamat siang, Pak Aga. Saya Venus Anggara. Maaf, bila saya mengganggu, tapi ada hal yang ingin saya sampaikan kepada Anda. Apa bisa saya bertemu Anda sekarang?"
"Maaf, tapi saya masih berada di luar kota. Kamu bisa bikin janji dulu sama sekretaris saya, dia akan mengatur semuanya. Ada lagi yang ingin dikatakan? Saya masih ada meeting dengan klien."
"Oh, baik, Pak. Sudah cukup. Selamat siang."
Aga mematikan ponsel dan menyimpannya di saku celana kain dengan kekehan. Ia sudah gila. Untuk pertama, ia bisa terbuai dengan seorang wanita. Pertama kalinya juga ia mengabaikan pekerjaan untuk orang yang baru saja ia kenal.
Lihat saja Jeni, ia tidak memiliki rasa apa pun padanya. Kebersamaan mereka sejak kecil mungkin itulah penyebabnya. Tugasnya hanya untuk melindungi Jeni sebagai adik, layaknya saudara kandung.
Tangannya meraih tas berwarna hitam sebelum bergegas keluar. Bibirnya tersenyum saat melihat wanita itu ada di meja makan, ia bersandar pada dinding pembatas dengan kamar, mengamati rambut hitam lurus yang menjuntai.
Detik berikutnya, Aga melompat dari tempatnya saat melihat darah yang menggenang di lantai. Saat ia mendekat, ia menemukan wajah pasi dengan mata terpejam. Ada pisau dengan bercak darah yang tergeletak di samping tangan kanan Valen.
Lelaki itu mengambil sapu tangan untuk menahan darah yang keluar. Lalu, Aga mengangkat tubuh mungil itu saat deru napas lambat masih ia rasakan.
"Dasar wanita gila. Kayaknya udah beneran bosen hidup," batinnya diliputi rasa terkejut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wake Me Up
RomanceValen, seorang wanita yang memiliki nyawa lebih dari satu. Merasa hidup sebatang kara di tengah keluarga yang tak pernah menganggapnya. Ia mendapat tugas untuk menemukan seorang penulis berbekal nama pena, tanpa identitas lengkap. Sebagian karya cet...