19. Masih Lampu Kuning

38 6 0
                                    

Valen akhirnya bisa bernapas lega setelah tiga jam lebih berada di dalam butik. Jika dari awal ia tahu kalau akan dikerjai habis-habisan oleh Aga, ia pasti memilih kabur dengan semua akibat yang harus ia terima.

Untuk pertama kalinya ia merasakan ribetnya berada di salon, dari dulu cukup melakukan perawatan seperlunya di rumah. Sembari menunggu perawatan rambut, para perias wajah juga mengerjakan tugasnya. Wanita itu sudah tak tahan ingin melayangkan protes pada Aga, tetapi baru membuka mulut dan mendapat tatapan dingin dari lelaki itu saja sudah mengurungkan niatnya.

“Habis ini kalau masih mau mampir ke tempat lain, saya bakalan loncat dari mobil,” ancam Valen. Ia tak peduli ada Fido, anak itu terlelap di pangkuan Aga.

“Tujuan selanjutnya gereja, biar kamu nggak minta pulang lagi,” balas Aga tenang.

Rahang Valen seolah jatuh ke bawah. Ia yakin, menikah dengan Aga akan menambah masalah dalam hidupnya. Sering tersorot kamera dan tidak bisa bebas berkeliaran di luar. Menjadi keluarga terpandang bukanlah impiannya, cukup keluarga kecil yang bahagia yang selalu dalam harapannya.

Wanita itu memiringkan tubuhnya agar bisa berbicara leluasa dengan Aga. “Gini, Pak. Pernikahan bukan permainan anak kecil, itu adalah hal sangat serius. Buat saya, pernikahan cukup satu kali dengan orang yang benar-benar cinta sama saya, dan jelas saya juga cinta sama dia. Bukan saya tidak menghargai Pak Aga, saya malah sangat tersanjung mendapat kesempatan ini, tetapi saya benar-benar tidak bisa menikah dengan Anda, Pak. Mbak Jeni lebih pantas di samping Anda sebagai seorang istri, bukan saya. Anda paham, ‘kan maksud omongan saya?”

“Tinggal terima saja, kenapa dipersulit? Kamu nggak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun di pernikahan nanti. Siapa yang akan jadi istriku nanti, hanya aku yang berhak milih. Bukan kamu, ataupun keluarga yang lain.”

“Saya cuma nggak mau ada korban sakit hati lagi, terlebih penyebabnya adalah saya. Tolong lepasin saya, ya, Pak?”

“Semakin kamu memohon, pernikahan akan dipercepat.”

“Aish ....” Valen melempar punggungnya ke belakang. Dosa apa yang sudah ia lakukan selama ini? Lebih baik ia pura-pura tidur dan pasrah pada alur garis hidupnya.

Aga menyunggingkan senyum teramat tipis yang ditangkap oleh netra Sandi. Percakapan kedua orang itu selalu terdengar menarik. Lebih tepatnya, ia senang karena akhirnya Aga memutuskan berhenti melajang.

Baru dua detik Valen tenang, wanita itu kembali duduk dengan wajah berseri. Aga memasang sinyal waspada mendapat sikap itu. “Saya mau menikah asal Pak Aga bantu saya menemukan penulis bernama Nata Avelir.”

“Ha?” beo Aga dan Sandi bersama.

Dahi Valen berkerut. “Kenapa? Kalian pasti kenal sama dia, ya?”

“Nggak. Aku baru saja dengar nama penulis itu,” sahut Aga seusai melirik Sandi.

“Masa, sih? Novelnya aja udah beberapa kali dijadikan film.” Valen masih menatap lekat pada lelaki di sampingnya. Setelah mendengar nama Nata, wajah datarnya sedikit gugup. “Lebih cepat ketemu, aku juga setuju pernikahan dipercepat.”

*****

“Gimana luka kamu, Valen?” tanya Zoya sembari menunggu makanan tersaji di meja makan.

“Udah baikan, Tante,” jawab Valen gugup.

Di dalam hati, ia masih menggerutu tidak setuju pada Aga. Bisa-bisanya lelaki itu membawanya ke rumah orang tua Aga tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Apa mungkin ini kesempatan besar untuk menghentikan pernikahannya dengan Aga?

“Ini bagaimana ceritanya bisa luka di pergelangan sama telapak kaki? Kamu habis kena rampok atau gimana, sih?”

Valen tersadar saat mama Aga menyentuh tangannya. Ia tersenyum kikuk tanpa bisa memberikan jawaban yang tepat. Dalam pikirannya hanya memikirkan cara untuk kabur dari Aga.

“Dia emang sok kuat, Ma. Sok-sokan lawan jambret, udah jelas-jelas pelakunya bawa benda tajam.” Aga menyahut. Lelaki itu baru saja meletakkan Fido ke kamarnya, lalu mengambil tempat duduk di samping Valen.

“Astaga, lain kali jangan diulangi lagi, ya, Sayang. Itu bahaya banget buat nyawa kamu.” Zoya mengusap surai panjang dan lembut.

Hati Valen berdesir merasakan sentuhan yang mungkin biasa saja bagi orang lain. Bahkan, ia sampai terpaku menatap wajah Zoya yang tetap cantik di usia yang tak bisa dibilang muda lagi. Tersirat kekhawatiran yang tampak jelas, meski ia sendiri tak yakin perasaan itu untuk siapa.

“Dengerin, tuh. Jangan bandel kalau dikasih tahu.” Aga menyiku pinggang Valen, seolah mereka sudah kenal begitu akrab. Valen saja sampai terkejut mendapati perlakuan Aga seperti itu.

“Oh, ya. Mending sekarang kalian cerita di mana dan bagaimana kalian kenal sampai memutuskan untuk menikah. Karena selama ini Aga memang jarang banget bahas masalah perempuan, bahkan kayak nggak pernah kalau nggak dipancing sama oma.” Zoya fokus menatap wajah Valen yang sedari tadi memasang senyum terpaksa.

Valen sendiri tak tahu harus menjawab apa. Apa pertemuan di atas jembatan Ciliwung itu patut diceritakan pada orang lain? Bersyukur Aga segera menjawab. Lelaki itu kembali mengarang cerita, tentang pertemuan di sebuah toko buku. Masuk akal juga karena tempat itu adalah tempat bekerjanya Valen. Lalu, memutuskan menikah karena merasa yakin kalau Valen adalah masa depannya. Serius, dalam hati Valen ingin menyangkal semua itu, tetapi apa daya fakta yang sangat memalukan itu.

“Oma ke mana, Ma?” tanya Aga untuk mengalihkan tema pembicaraan tentang Valen.

“Ada di kamar, mungkin lagi istirahat. Tunggu sampai dia keluar aja. Mama tinggal bentar dulu, ya.” Wanita itu mengusap pipi Valen sebelum memisahkan diri.

Valen menghela napas lega sembari mengibaskan tangan di depan wajah. “Kayak uji nyali,” gumamnya.

“Harusnya, sih, sama oma. Pasti pertanyannya lebih seru.” Aga menimpali. “Anggap aja rumah sendiri. Kalau aku nggak ada di rumah nanti, kamu boleh main ke sini,” lanjutnya.

“Tap--“

“Mau dengar cerita yang sebenarnya?” Seperti menawarkan, tetapi Aga tidak butuh persetujuan. “Oma kasih aku waktu satu bulan buat bawa calon istri ke hadapan dia, kalau nggak dapat, mau nggak mau aku harus nikah sama Jeni, perempuan yang tadi pagi ke rumah. Bertepatan banget ketemu kamu, jadi ya udah.”

“Pak Aga nggak takut saya orang jahat? Sebaiknya, jangan gegabah kalau mau ambil keputusan, Pak.”

“Mau aku cium di sini?”

Valen refleks menutup mulut dengan mata melebar. “Kenapa? Jangan macam-macam!”

“Harusnya aku nggak usah bilang. Mungkin nanti aja kalau kamu keceplosan manggil aku ‘Pak’ di depan oma,” jawab Aga dengan senyum lebar. Sepertinya ia menyukai momen saat menggoda Valen.

Wanita itu segera bangkit, lalu berjalan ke arah pintu utama tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Aga. Jantungnya sedang beroperasi di luar batas.

Aga mengernyit sembari mengamati punggung Valen. “Mau ke mana? Kalau cari kamar mandi ada di belakang.”

“Saya permisi pulang. Sampaikan salam perpisahan pada semuanya.”

“Jalan satu langkah lagi, berarti kamu setuju nikah instan.”

Seperti robot, kedua kaki wanita itu seketika berhenti. Rasanya sekarang percuma punya otak, tetapi tetap di bawah kontrol orang lain.

 Rasanya sekarang percuma punya otak, tetapi tetap di bawah kontrol orang lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Halo semua
Akhirnya bisa UP lagi setelah anu

Masih tahap belajar, jadi mohon koreksinya ya

Sampai ketemu lagi

Wake Me UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang