Suasana rapat kali ini tampak serius meski yang dibicarakan oleh ketua redaksi sebenarnya santai. Mereka membahas tentang acara ulang tahun perusahaan yang mereka tempati itu. Mengenai susunan acara, tugas-tugas setiap pegawai yang nantinya akan merangkap sebagai panitia.
Green Media adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam penerbitan buku, baik fiksi maupun non fiksi. Awalnya mereka hanya menerbitkan dalam bentuk cetak, kemudian seiring perkembangan zaman, mereka pun membuat aplikasi digital yang bisa digunakan untuk menulis dan membaca sekaligus. Disusul dengan penerbit baru bermunculan, nama Green Media tetap nomor satu dalam sebagian besar masyarakat Indonesia.
Dalam ulang tahun yang ke dua puluh ini, sang pemilik ingin acara ini berlangsung sangat meriah dan tentu saja mengundang beberapa penulis terbaik sebagai bintang tamu. Pak Bayu-ketua dereksi-menyebutkan nama Veer Aira, Nata Avelir, dan Sabrina. Ketiga orang tersebut adalah penulis karya-karya terbaik yang selalu menduduki rak di beberapa cabang Green Media.
"Untuk Valen, kamu saya tugaskan untuk mencari Nata Avelir dari sekarang. Sekaligus ujian buat kamu sebagai pegawai paling lama di sini." Kalimat yang baru saja terucap dari bibir Pak Bayu menegakkan punggung Valen.
"Maaf, Pak. Apa saya boleh memilih untuk menghubungi Sabrina saja? Saya tidak yakin bisa menemukan orang bernama Nata tersebut dan membawanya ke sini tepat waktu," ucap Valen yang terdengar seperti permohonan.
Pak Bayu menjentikkan jemarinya. "Itulah tantangan buat kamu."
Valen yang awalnya mengira jika lelaki itu menyetujui, kini menghela napas. Selama ia berada di bidang editor akuisisi, ia sama sekali tidak mendapati sapaan Nata Avelir. Naskah yang diterbitkan pun karena pembacanya yang banyak di salah satu platfoam digital.
Valen masih ingat, bagaimana ia dulu mengirimkan lamaran untuk meminang cerita Nata untuk diterbitkan. Si penulis belum ia tahu jenis kelaminnya itu hanya membalas seperlunya saja, seolah tak peduli dengan tawaran menggiurkan tersebut.
Nata menerima lamaran tanpa mau bertemu untuk membicarakan mengenai kontrak dan pengeditan naskah. Sosok itu hanya mengirimkan tanda tangan digital melalui pesan di Instagram. Sempat terjadi perdebatan sebelum benar-benar menerbitkan karya orang tersebut. Pihak perusahaan takut, jika orang tersebut melakukan penipuan atau semacamnya. Nata juga mengajukan syarat untuk tidak menuliskan profil dirinya di halaman terakhir.
Namun, karena ramainya pembaca, Pak Bayu tetap ingin menerbitkan buku tersebut. Ditambah lagi semua persyaratan yang diminta kepada Nata, dikirimkan begitu cepat.
"Baiklah, rapat hari ini sudah selesai, dan segera kerjakan tugas masing-masing. Saya bertanggung jawab penuh atas acara ini. Selamat sore." Pak Bayu memersilakan para pegawai untuk meninggalkan ruang rapat, sedang ia sendiri masih diam di kursi utama.
Valen keluar dengan bibir maju ke depan. Kenapa harus Nata? Kenapa harus Nata? Pertanyaan itu terus berputar memenuhi pikirannya. Kenapa bukan Andrea Hirata atau Erisca Febriani saja?
"Udah, jangan murung gitu. Nanti pasti kita bantuin, kok. Iya,'kan, Bar?" Helna, teman Valen sejak bekerja di Green Media, menenangkan wanita di sampingnya dengan mengalungkan tangan di bahu.
Lelaki yang bergerak di bidang layouter tersebut mengangguk disertai senyuman. Dia siap siaga jika untuk membantu Valen, bahkan mungkin dialah orang pertama yang selalu ada untuk Valen sebelum Helna.
"Tapi tetap aja ini tantangan berat," ucap Valen terdengar pilu. Tangannya menimbang buku karangan Nata Avelir dengan tatapan nanar. "Kenapa pemilik karya terbaik kayak gini harus sembunyi? Bapak Tere Liye aja yang sudah punya banyak seri nggak kayak gini. Dan masalahnya, kenapa harus aku yang nyari?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wake Me Up
RomanceValen, seorang wanita yang memiliki nyawa lebih dari satu. Merasa hidup sebatang kara di tengah keluarga yang tak pernah menganggapnya. Ia mendapat tugas untuk menemukan seorang penulis berbekal nama pena, tanpa identitas lengkap. Sebagian karya cet...