Tangan dan mata awas Aga saling bekerja sama dalam membaca judul berkas yang menumpuk di depannya, lalu jika sudah benar ia akan menambahkan tanda tangan di bagian bawah.
Kesibukan tanpa Sandi rasanya sangat berbeda. Namun, ia tak mau ambil pusing. Dia akan membiarkan pekerjaan Sandi sampai lelaki itu kembali lagi ke kantor, setelah beres dengan urusan calon istrinya.
Aga menyuruh masuk orang yang baru saja mengetuk pintu. Ia mendongak setelah tamu yang tak terduga sampai di depan mejanya.
"Papah? Tumben?" Aga berdiri, lalu mengajak Zidan yang tengah mengamati dirinya duduk di sofa.
Lelaki paruh baya itu mengernyit, lalu menjawab, "Memangnya kenapa kalau Papa datang ke kantor sendiri? Gimana perkembangan kantor?"
Aga hanya terkekeh, biasanya Zidan akan memberinya kabar sebelum datang atau sekadar mampir.
"Sejauh ini masih aman, Pah. Tapi tumben aja Papa datang nggak kasih kabar dulu." Kedua lelaki itu tampak mirip dari segi perawakan karena wajah Aga lebih mirip ke Zoya.
"Papa cuma mau tahu Valen lebih banyak. Kamu punya datanya, 'kan?"
"Ada, Pa. Bentar." Aga kembali ke meja kerjanya untuk mengambil data pribadi Valen yang ia simpan di laci.
Sembari menunggu Aga, Zidan mengambil salah satu map di atas meja. Lembar pertama hanya tertulis 'Pencarian Orang Hilang'. Lelaki paruh baya itu mengangkat kedua alisnya, kenapa bahan berita masih berada di sini? Bukannya segera dikirim ke bagian yang bertugas?
Zidan terus membalik lembar dengan rahang mengeras. Ia menajamkan pandangan saat melihat lembar Kartu Keluarga dengan nama-nama yang tak asing lagi.
"Siapa yang bawa berkas ini ke sini?" tanya Zidan dengan suara gemetar.
Aga yang baru saja duduk merasa terkejut. "Lupa, Pa. Namanya kayak planet nus, nus, nus, gitu."
Zidan menimpali, "Venus bukan?"
"Iya, mungkin. Kenapa, deh, Pa? Dia mau bikin berita buat nyari orang ilang, tapi informasinya nggak jelas. Foto yang ada saat anaknya masih kecil, sedangkan yang dicari sekarang umurnya udah di atas dua puluhan. Ini datanya Valen." Aga menyodorkan map berisi informasi tentang Valen, tetapi diabaikan Zidan.
"Kamu punya nomor dia yang bisa dihubungi?" tanya Zidan lagi.
"Aku nggak punya, mungkin Sandi ada. Udahlah, Pa. Nggak penting juga."
Zidan menatap Aga dengan mata memerah. "Tapi ini penting buat Papa! Cepat minta nomornya ke Sandi."
"Tapi Sandi lagi—"
"Sekarang, Aga ...." Zidan menyandarkan punggung pada sofa sembari mengusap pangkal hidung.
Aga pun segera melakukan perintah Zidan. Tak perlu waktu lama menunggu, karena Sandi cepat tersambung. Untung saja lelaki di seberang sana menyimpan nomor yang diminta Zidan.
Sebelum mengakhiri panggilan, Aga menyempatkan diri untuk menanyakan kabar Valen. Dari sana ia tahu kalau wanita itu pergi bekerja. Meski terkejut, Aga sebaiknya mulai memahaminya sikap Valen yang memang keras kepala.
"Mana nomornya?"
****
"Gue serius," kata Valen untuk meyakinkan kedua sahabatnya yang masih tampak sangat terkejut.
"Lo kalau mau ngomong bisa mikir dulu nggak?" Helna masih meredakan batuk karena tersedak.
"Lo ngajak nikah kayak mau ngajak makan bakso aja," sahut Bara. Lelaki itu juga tengah berusaha keras menutupi keringat dingin yang keluar di tangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Wake Me Up
RomansaValen, seorang wanita yang memiliki nyawa lebih dari satu. Merasa hidup sebatang kara di tengah keluarga yang tak pernah menganggapnya. Ia mendapat tugas untuk menemukan seorang penulis berbekal nama pena, tanpa identitas lengkap. Sebagian karya cet...