13. Future Husband

143 16 0
                                    

Sepasang kaki telanjang melangkah mendekati pintu utama, suasana sunyi dan kegelapan yang ada menandakan semua sudah terlelap. Tangan kanannya menarik handle besi yang tentu saja tidak bisa bergerak. Kemudian, ia beranjak ke jendela yang tertutup tralis ukiran bunga. Valen mendesah panjang, tapi ia masih mencoba mencari kunci di tempat biasanya kunci berada di rumahnya.

"Gue harus keluar dari tempat ini. Ayo berpikir keras, Valen," bisiknya pada diri sendiri. Kelima jemari menelusup ke balik surai dan menariknya pelan.

Ia tahu siapa Nagata dari Helna. Wanita itu bercerita sambil menunggu tamu yang ternyata keluarga besar Nagata. Valen awalnya tak percaya, lalu Helna menunjukkan menunjukkan profil keluarga Maheswara yang tersebar luas di halaman internet.

"Mau ke mana?"

"Hah?" Suara berat berhasil membuat tubuh Valen terperanjat. "Saya mau ke dapur, Pak," lanjut wanita yang kembali mengenakan cardigan crap out rajut dengan suara tercekat. Ia tidak akan mengambil satu barang pun dari rumah Aga.

"Bukannya tadi udah tahu dapur di mana. Memangnya dapur pindah ke luar rumah?" Lelaki memakai setelan piyama pendek itu mendekati Valen.

"Pak, saya ... mau hirup udara luar sebentar, tapi ternyata pintunya dikunci." Belum selesai Valen mengelak, kakinya sudah melayang disertai pekikan pelan. Tangannya refleks melingkar di leher Aga. "Tolong turunin saya, Pak. Saya harus keluar dari sini sebelum tengah malam, Pak."

Aga menggendong tubuh Valen melewati kamar yang ditempati wanita itu sebelumnya. Langkah Aga menaiki tangga tidak berhenti hanya karena ucapan Valen.

"Waktu kamu jadi putri cuma sampai tengah malam? Habis itu kamu kembali jadi upik abu? Kamu pikir ini cerita dongeng?" tanya Aga.

"Tapi emang itu kenyataannya, Pak," cicit Valen sambil menahan napas saat aroma kayu manis menguar kuat dari tubuh Aga. Suara berat berpadu wajah tanpa guratan senyum itu, meremas paru-paru Valen.

Rambut bergelombang yang tidak rapi bergerak seirama dengan langkah Aga melewati pintu kamar utama. Lelaki itu menurunkan Valen di atas king size miliknya. Secepat angin berhembus, Valen segera melompat dari tempat berbahaya tersebut.

"Heh!" Aga menggeram melihat tingkah Valen yang tidak peduli dengan luka di kaki.

"Tolong maafkan saya, Pak. Saya benar-benar nggak tahu kalau Bapak orang terhormat. Bapak nggak perlu tanggung jawab apa pun dengan semua yang sudah terjadi. Saya juga tidak akan bilang pernah bertemu dengan Bapak Nagata. Saya harus per-"

Aga memotong ucapan Valen dengan bibirnya. Telinganya terasa panas mendengar celotehan Valen yang tiada guna juga. Kedua bibir itu hanya menempel tanpa ada sentuhan lebih dalam lagi.

Wanita itu jelas saja terkejut. Ia sampai menahan napas karena sedekat ini dengan pahatan sempurna seorang Nagata. Matanya tak bergerak selama manik hitam Aga mengunci pandangannya.

"Jangan panggil aku bapak, emang aku bapak kamu? Panggil Naga atau Ata saja," ucap Aga dengan suara bariton. Valen yang masih terpaku, tidak sadar saat lelaki itu menutup pintu kamar dan tak lupa menguncinya.

"Sekarang waktunya tidur. Badan sama pikiran kamu masih butuh banyak waktu untuk istirahat." Aga membimbing tubuh Valen agar kembali ke tempat tidur dengan mudah.

"Biar saya tidur di sofa saja, Pak." Valen yang sudah sadar segera berdiri, dan sebuah ciuman kembali mendarat di atas bibirnya. "Bapak nggak bis-" Disusul ciuman kedua dari Aga. Valen menarik satu sudut bibirnya ke atas. "Bapak?" ucapnya lagi.

Aga berdecak, lalu mendorong wanita itu hingga terbaring sempurna di atas tempat tidurnya. "Tidurlah, nggak usah goda terus." Lelaki berkulit putih itu menutupi tubuh Valen sampai dada seraya memberi kecupan singkat di dahi. "Aku nggak akan nyentuh kamu sebelum kita resmi menikah," imbuhnya.

Valen mengikuti gerakan Aga yang berbaring di sampingnya dengan alis bertaut. "Tapi ini udah salah banget, Pak, eh, Aga." Ia segera menutup bibirnya dengan lengan, hanya karena tatapan dingin dari Aga.

Aga mengambil sesuatu dari laci meja dan memakaikannya di pergelangan kanan Valen yang tidak terbalut perban. "Kemarin dilepas waktu jahit luka kamu. Pasti dari orang spesial, ya?"

Valen memandangi huruf V yang menggantung di lingkaran emas putih. Ia mendesah pelan. "Saya nggak sadar kalau gelang ini lepas. Saya nggak tahu ini dari siapa. Sebelumnya, gelang ini adalah kalung, berhubung nggak muat, jadi saya pakai aja di tangan. Kamu buang saja, saya nggak mau pakai lagi." Jantungnya bergetar saat berpikir kalau satu-satunya benda yang ia miliki sejak kecil itu berasal dari orang tuanya. Sedangkan kini dia tidak ingin mengingat apa pun tentang mereka.

"Pakai aja, pasti ini udah jadi saksi panjang perjalanan hidup kamu." Aga menggenggam telapak tangan Valen yang dingin. Mencegahnya agar tidak melepas benda berwarna perak itu.

Wanita di sisi Aga memiringkan tubuhnya, menghadap lelaki pemilik dahi proporsional. "Salah nggak kalau saya kecewa sama mama papa? Dari dulu, aku pengin ngerasain dipeluk, disayang, paling nggak dianggap anak gitu sama mereka. Tapi kayaknya cuma dalam mimpi."

"Apa pun yang terjadi, mereka tetap orang tua kamu. Mereka yang udah ngerawat kamu dari kecil, mungkin cara mereka nunjukin kasih sayangnya ke kamu berbeda, tapi kamu nggak ngerasain hal-hal kecil itu. Satu lagi, jangan bicara formal sama calon suami." Aga menjawab dengan tenang. Seolah tak ada kata salah yang ia ucapkan.

Hati Valen menanyakan kebenaran ucapan Aga, mencoba mengingat hal apa yang sudah ia dapatkan sebagai seorang anak. Namun, semua itu malah membuat matanya berair. Tidak ada sama sekali sesuatu yang bisa membuatnya tersenyum. Semua begitu kelam dalam kegelapan.

Tangan Aga terulur untuk mengusap pipi Valen yang memerah. Ibu jarinya mengusap air yang mengalir melewati tulang hidung. "Semua yang tampak di depan mata, belum tentu menjadi jawaban. Selalu ada kebahagiaan di balik luka, tapi kalau kamu nggak sanggup menyimpan, kamu boleh melepaskannya," kata Aga.

Valen tak bisa menghentikan air yang terus mengalir dari matanya. "Kenapa kamu peduli sama saya? Kenapa kamu nolongin saya? Kenapa kamu hadir dalam kehidupan saya? Saya takut ketemu sama orang baru. Saya takut mereka hanya ingin merampas kebahagiaanku."

"Karena waktu yang sudah mempertemukan kita. Aku janji nggak akan meninggalkan atau mengabaikan kamu. Aku yang akan temani kamu melewati kehidupan ini."

Air mata Valen kian deras mendengar ucapan Aga. Dadanya terasa sesak saat menemukan orang yang peduli akan dirinya.

"Udah, sekarang waktunya tidur. Nanti kita ketemu di mimpi." Aga menarik tubuh Valen dalam dekapan, membiarkan wanita itu menuntaskan tangisnya sebelum akhirnya napasnya teratur. Jemari Aga terus membelai lembut surai hitam, mengusap punggung yang menahan beban pikiran begitu berat. Seperti bayi beruang yang meringkuk dalam pelukan, seperti itulah malam indah Valen ini berakhir.

 Seperti bayi beruang yang meringkuk dalam pelukan, seperti itulah malam indah Valen ini berakhir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dung dung dung
Jangan lupa jejaknya, ya
😘😘

Wake Me UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang