2. Pertemuan dan Cerita

281 37 0
                                    

Jeno berlari di bandara dengan ponsel yang menempel di telinganya, beberapa kali sempat menyenggol orang yang berlalu lalang, walaupun sempat meminta maaf tapi dia tetap berlari menuju sebuah cafe di bandara tersebut.

Saat memasuki pintu cafe pandangannya langsung tertuju pada sesosok laki-laki yang sedang duduk dan melambaikan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya memegang ponsel ditelinga. Jeno menurunkan ponselnya dan memasukannya kedalam saku jaket, berjalan mendekat tanpa melepas pandangannya dari laki-laki tersebut. Bahkan sampai dia sudah duduk didepan laki-laki itupun, Jeno tidak melepaskan pandangannya.

"Lo ngeliatin gue kayak ngeliatin apa gitu Bang! " Tegur laki-laki yang mulai merasa risih dengan pandangan Jeno.

"Maaf, gue kaget lo tiba-tiba telfon terus bilang udah di Indo. "

Percakapan mereka terhenti sesaat, saat seorang waiters datang dan menanyakan pesanan mereka. Tapi saat waiters itu sudah pergi tidak ada suara apapun yang keluar dari mulut mereka hingga waiters itu kembali untuk mengantarkan pesanan, mereka masih belum ingin memulai percakapan.

Merasa laki-laki didepannya tidak akan memulai percakapan, akhirnya Jeno memilih mengalah demi menghilangkan keheningan diantara mereka.

"Gimana Jepang Dek?"

"Kacau!

Jeno menghela nafas lelah mendengar penuturan itu keluar tanpa beban, seakan itu hanya ungkapan biasa tanpa arti.

" Mamah udah bahagia sama keluarga barunya, jadi setelah gue ngeliat dengan mata gue sendiri, gue mikir buat apa gue masih disana. "

Senyum tipis tersungging di bibir Jeno mendengar kabar itu, sempat terbesit perasaan kecewa namun bahagia lebih mendominasi. Kecewa karena sang ibu lebih memiliki keluarga barunya daripada dirinya dan adiknya, dan bahagia karena wanita yang melahirkannya itu akhirnya bahagia setelah melewati berbagai cobaan bersama dirinya dan adiknya. Dan disinilah Jeno juga sadar, bahwa jika sang ibu lebih memilih menetap bersamanya maka kata bahagia sampai kapanpun hanya akan menjadi angan.

"Kalau gitu, yang lo maksut kacau itu lo dan Jepang, bukan Mamah dan Jepang? " Tanya Jeno tanpa menatap adiknya, karena pemandangan orang berlalu lalang kini lebih menarik menurutnya.

"Bang gue mau ngomong sesuatu! "

Jeno mengerutkan keningnya menatap sekitarnya yang cukup ramai lalu mengembalikan pandangannya pada sang adik.

"Ayo ngobrol dalem mobil aja, sekalian pulang. "

~~~~~~

(Tentang Jeno)

Jeno lahir dari seorang wanita yang dibuang oleh keluarganya, karena ketahuan hamil diluar nikah dan tidak mau menggugurkan kandungannya. Sedangkan Ayah kandungnya sebenarnya sudah memiliki keluarga yang cukup harmonis, dan dia disini sering dianggap anak yang tidak diinginkan. Walaupun Ayahnya tidak menikahi ibunya, tapi beliau tidak lepas tanggung jawab begitu saja. Semua biaya Jeno dan Ibunya ditanggung oleh pria yang dipanggilnya Ayah tersebut.

Hingga satu tahun kemudian Ibunya kembali hamil dengan pria lain yang tidak diketahuinya, lalu Ayahnya marah dan berhenti membiayai hidup mereka. Ibunya berjuang sendiri demi menghidupi dirinya dan adiknya yang belum lahir, melakukan pekerjaan yang menurut orang-orang adalah pekerjaan paling hina 'pelacur'. Ibunya memang bekerja sebagai pelacur, dan berhenti saat adiknya sudah lahir. Saat mereka berdua masih kecil, mereka dititipkan pada tetangga yang selalu membantu mereka. Seorang nenek yang hidup sebatang kara, hanya dengan harta peninggalan suaminya tanpa anak dan cucu. Sang Ibu memilih bekerja di luar negeri, dan setiap bulan selalu mengirim uang untuk biaya kedua anaknya. Dan uang itu tidak pernah digunakan keduanya, karena semua biaya kedua anak itu ditanggung oleh nenek yang merawat mereka.

Uang yang dikirim oleh Ibu kedua anak itu ditabungnya, dan akan diberikan pada keduanya saat sudah besar beserta sisa harta yang dimiliki nenek itu. Saat sang Nenek tutup usia, mereka masihlah remaja labil yang duduk di bangku Sekolah Menengah. Tetapi mungkin karena keadaan, mereka bisa menyikapi semua yang mereka hadapi saat itu dengan berfikir cukup dewasa.

Saat itu Jeno baru masuk SMA, sementara Adiknya berada di tingkat akhir SMP. Jeno berhenti bersekolah dan memilih bekerja di sebuah bengkel kecil milik temannya, adiknya pun sama. Saat lulus SMP dia tidak meneruskan bersekolah di SMA dan memilih bekerja bersama Kakaknya. Mereka tau bahwa sebenarnya mereka memiliki uang yang cukup banyak, dan itu cukup untuk membiayai sekolah mereka hingga ke jenjang perguruan tinggi. Tapi mereka juga tau kehidupan akan terus berputar, tidak selamanya mereka akan berada di atas.

Bengkel itu diserahkan sepenuhnya pada kakak beradik itu saat sang pemilik akan pindah ke luar negeri, mengikuti orang tuanya. Uang yang selama ini berada di tabungan mereka, mereka gunakan untuk memperbesar usaha yang mereka tekuni. Memperluas serta menambahkan fasilitas, juga memperkerjakan beberapa karyawan. Mereka juga memilih merenovasi rumah yang selama ini mereka tinggali daripada menjualnya.

Saat dirasa usaha mereka mulai stabil Jeno pernah menawarkan pada adiknya, untuk ikut ujian paket supaya bisa langsung mendaftar ke perguruan tinggi atau jika ingin mendaftar ke SMA juga tidak masalah. Tapi sang adik menolak, dan akhirnya Jeno sendiri yang melakukan itu. Ia mendaftar di sebuah universitas swasta dan mengambil jurusan Teknik Sipil.

Satu tahun kemudian mereka mendapat sebuah undangan pernikahan dan tertera nama Ibu mereka dengan seorang berkewarganegaraan Jepang. Dan adiknya berkata akan memastikannya dengan matanya sendiri apakah ibunya bahagia atau tidak, jika mereka bahagia maka ia tidak akan menganggu kehidupan baru sang ibu.

Satu tahun adiknya berada disana, sesekali memberi kabar tentang Ibu mereka, juga tentang kehidupannya di negara itu.





















~TBC~

liefde  |  jenojaemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang