[11]

1.6K 298 114
                                    

Matahari udah sepenuhnya tenggelam waktu Irene langkahin kakinya ke dalam kafe. Nggak banyak orang di dalam, jadi nggak butuh waktu lama celingak-celinguk sana-sini cari Jennie.

Janji tempo hari buat ketemuan baru terlaksana sekarang. Ya waktu itu kan belum ada konflik apapun, Irene rasa ketemu Jennie nggak terlalu penting. Silakan sebut Irene manusia munafik, muka dua, dan lain-lain. Butuh doang baru nyamperin.

Jennie udah cengar-cengir aja, beda sama muka Irene yang tetep datar. Gerakannya kasar dorong kursi ke belakang, tas pun dilempar asal ke atas kursi, terus didudukin.

"Mau pe---"

"Langsung ke intinya!" sela Irene nggak pengen basa-basi. Bodo amat disebut nggak sopan, Jennie mah kecil.

"Santai dulu dong, otak gue udah mau pecah nih." Jennie tetep panggil pelayan buat Irene. Nggak peduli sama pelototannya. Nyatanya emang kepala Jennie sakit banget sekarang.

Irene dengus kesel. Rebut kasar daftar menu dari tangan pelayan yang nggak salah apa-apa, galak emang cewek Hwang ini. Setelah hampir lima menit bolak-balik, Irene kembaliin lagi daftar menunya sambil bilang, "Sama kayak dia aja."

Bukan cuma pelayan yang rasanya pengen ngumpat, Jennie juga. Sejak kapan Irene jadi sengeselin ini. "Lo yang traktir kan?"

Jennie ngangguk aja. Masih bersyukur Irene mau ketemuan begini, walau ngeselinnya lumayan bikin batin penuh kata-kata kotor.

"Bagus. Kalo gitu, cepet bilang intinya. Gue nggak punya waktu banyak," desak Irene sok sibuk.

"Sibuk amat?"

"Gue nggak kayak lo pada ya. Di rumah ada tiga makhluk yang mesti diurus."

Jennie ketawa. Irene emang cocok jadi emak.

Balik lagi ke topik utama. Jennie cek sesuatu di hp-nya sebelum ditunjukin ke Irene. Awalnya nggak ada masalah, sampe mata Irene melotot lebar. Jennie tetep pasang lagak sok cool.

"Lo nggak edit ini kan?"

Cewek Im putar bola mata males. "Lo tau gue bodoh pake Adobe Premiere dan sejenisnya."

Irene fokus lagi ke layar hp yang masih tampilin video. Putar berulang-ulang adegan inti, otak sibuk mikir keras lagi.

Disisi lain Irene lumayan dibuat takjub atas bukti yang ditemuin Jennie. Dibanding apa yang dia sendiri dapet selama ini, Jennie jauh lebih maju. Kayaknya dia butuh partner macam Jennie. Wendy sama Jisoo nggak begitu ngebantu---ya sebenarnya dari Irene sendiri nggak kasih tau mereka secara detail, tapi dia yakin sekarang Wendy juga lagi rencanain sesuatu.

Mendadak jadi ngerasa bersalah ingat perlakuan buruk Irene sama Jennie beberapa bulan belakangan. Ah, sekarang gimana mau minta tolongnya?

"Gimana?" tanya Jennie seruput minumannya. "Gue bisa dapet lebih kok," sambungnya cepet begitu lihat wajah ragu Irene.

Baru aja mau buka mulut, muncul orang ketiga alias pelayan sela percakapan mereka. Taruh pesanan Irene di meja terus cepet-cepet pergi, takut dipelototin Irene mulu.

Irene hela napas panjang, sandarin punggungnya ke kursi. Jennie udah kelihatan antusias duluan, tau Irene nggak bakal nolak. Walau gitu cewek Hwang nggak langsung asal terima aja. Keningnya yang berkerut tanda lagi mikir ulang tawaran Jennie.

Ingat pendiriannya sendiri; siapa aja bisa jadi pelakunya, jangan percaya siapapun. Bukti yang ditemuin Jennie emang susah dibantah asli atau palsunya. Tapi nggak menghalau kemungkinan kalau Jennie sendiri justru pelakunya. Walau gitu, pasti ada jalan lain buat manfaatin Jennie.

Way Back Home | BlackVelvet ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang