Beberapa jam sebelumnya.
Decak pelan terdengar dari seorang pemuda berambut hitam sepundak itu ketika melintasi pintu geser berbahan kaca di bagian belakang kabinnya. Ia melirik malas, memalingkan wajah. Penampakan tak mengenakkan itu telah merusak pagi cerahnya.
Ya. Hyunjin bisa itu karena ia memiliki indera ke enam. Turunan dari sang ibu.
Sewaktu kecil, Hyunjin sering menangis karena beberapa dari mereka memiliki rupa yang mengerikan. Namun, sekarang ia sudah mulai terbiasa, terlebih setelah sang ibu meninggal dan ia tak punya siapa-siapa lagi. Mau tak mau, Hyunjin harus berani menghadapi ‘mereka’ seorang diri, bukan? Ia tak bisa terus-terusan berharap pada orang lain akan menolongnya. Lagipula, makhluk-makhluk itu takkan bisa menyakitinya selama Hyunjin tak berurusan atau mencari gara-gara dengan mereka.
Tak mau ambil pusing, lelaki itu pun meneruskan langkah menuju lemari es, mengambil susu.
‘Serahkan!’
Hyunjin menghela napas berat ketika mendengar desisan itu. Makhluk itu sepertinya tengah menggumamkan sesuatu. Oke, jangan sampai makhluk itu memutuskan untuk tinggal di sini. Ia harus bernegosiasi.
“Apa yang kau inginkan?” ucap Hyunjin tanpa menoleh.
“Serahkan!”
”Serahkan apa? Aku tidak punya apa yang kau cari, sebaiknya kau pergi dari sini.”
“Jangan berbohong! Aku tau kau menyembunyikan batu itu. Serahkan padaku sekarang!”
Kalimat terakhirnya itu terdengar seperti raungan, suaranya memekakkan telinga dan membuat kepala Hyunjin berdenyut sakit.
Sesaat setelah rasa sakitnya mereda, Hyunjin melihat bayangan hitam itu menghilang dari dalam kabinnya. Namun sesaat setelah ia membalikkkan badan, kaki kiri Hyunjin seperti dililit dengan cambuk. Menahannya agar tak bisa kemana-mana. Karena tak tahu akan dililit seperti itu tentu saja Hyunjin terjatuh.
Ia melirik apa yang melilit kakiku. Kelihatannya seperti ekor reptil, apa ini adalah ekor makhluk hitam tadi? Hyunjin kembali melihat kearah balkon namun tidak ada apapun di sana.
”Serahkan batunya!” Suaranya kembali terdengar, namun sosoknya tak kunjung terlihat oleh pemuda itu.
“Batu apa? Aku tidak mengerti batu apa yang kau maksud.” Buru-buru Hyunjin mencoba melepas ekor yang menahan kakinya itu. Lilitannya kuat sekali sampai kulit kaki Hyunjin mulai terlihat memerah.
“Cepat serahkan batu itu padaku!”
Makhluk itu kembali meraung.
“Lepaskan,” ucap Hyunjin berusaha sekuat tenaga membebaskan kakinya. Percuma, ekor itu tidak bisa ia lepaskan bermodal tangan kososng saja. Hyunjin memindai sekitar, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk memukul ekor ini.
Hyunjin menemukan stik baseball yang tersandar di dekat pintu, ia pun mencoba meraihnya.
“Sedikit lagi.”
Saat Hyunjin pikir telunjuknya akan menyentuh payung itu, kabut hitam mulai menyelubungi tubuhnya. Kabut itu berputar-putar, sangat kencang. Ia merasakan udara di sekeliling mulai menipis. Tak lama, terdengar suara gonggongan seekor anjing, Apa itu dari kkami?
Sepasang mata berwarna merah menyala terlihat menyilaukan dari balik kabut itu.
Hyunjin tidak punya banyak waktu untuk memastikan apa itu. Siapapun tolong hentikan kabut hitam ini! Ia mulai kehabisan napas. Pengelihatannya mulai kabur, tubuhnya terkulai lemas.
Beberapa saat berlalu, kesadaran Hyunjin mulai pulih. Suara langkah kaki beberapa orang yang terburu-buru menaiki tangga terdengar olehnya, namun tubuhnya tak kunjung bisa digerakkan. Bersamaan dengan itu, Hyunjin juga mendengar suara Kkami menggeram dari luar. Tanpa tau apa yang terjadi, di sekelilingnya tersulut tiga lingkaran api dengan dirinya sebagai pusatnya. Anehnya api itu tidak menyentuh Hyunjin, aku tidak merasakan panasnya sama sekali.