~***~“Sepertinya aku mulai mengerti maksud perkataan batu biru milik Jisung.” Felix mengarahkan pandang pada Minho yang kini seperti sibuk menekuri pasir hitam di bawah kakinya. “Kita sedarah.”
“Hm?” Kening Minho mengernyit. Sedikit kaget dengan yang barusan didengarnya. Atensi lelaki itu lantas tertuju pada si lawan bicara. “Maksudmu? Kita bersaudara?”
“Kita bertiga. Aku, kau, dan Hyunjin,” koreksi Felix. “Kita bertiga sama-sama memiliki darah Antari, bukan? Dari sepuluh generasi sebelum ini.”
“Apa kau sedang membicarakan soal adikku yang mendadak jadi istrimu?”
Felix mengangguk. “Ryujin adik sepupumu juga menikah dengan Hyunjin. Di sepuluh generasi sebelum ini. Sepertinya itu juga alasan kenapa aku dan Hyunjin juga memiliki naga.”
“Karena naga di kerajaan Antari hanya patuh pada orang-orang yang memiliki garis keturunan kerajaan.” Minho tampak berpikir. “Tapi yang tidak aku mengerti, kenapa para naga masih mau patuh pada kau dan Hyunjin? Sepuluh generasi bukan waktu yang singkat. Leluhur kalian pasti menikah dengan orang-orang dari kerajan lain. Darah Antari di garis keturunan kalian juga pasti tidak semurni dulu, kan?”
“Ah iya. Kenapa tidak terpikir olehku?”
“Apa menurutmu, kita akan mendapat jawabannya di negeri es?” tanya Minho. Entahlah, ia seperti mendapat firasat kalau akan menemukan sesuatu yang besar disana.
“Semoga saja begitu.” Felix menyentuhkan ujung jarinya pada busur bermotif naga milik Minho yang tersandar di batu besar, di sebelahnya. “Apa kau sudah mencoba menggunakan kesaktian busur ini?” tanyanya. “Maksudku, sedari tadi kau menggunakan ini seperti busur biasa.”
“Ini memang busur, kan?” Minho balik bertanya. Sedikit ragu dalam bicaranya. Ia mengangkat busur tersebut dan memperhatikannya lamat. “Cara kerjanya juga sama, kan? Kita tempatkan anak panah disini, lalu tarik talinya dan tembakkan.”
“Senjata ini pasti punya keistimewaan, bukan?” Felix masih tak menyerah dengan rasa penasarannya.
“Apa yang istimewa?” Minho asal memainkan tali pada busur itu. “Apa anak panah bisa muncul dengan sendirinya kalau talinya—” Ia terkesiap melihat anak panah yang serta merta muncul ketika tali busur itu ia tarik. “Benarkah yang ku lihat ini? Anak panah betulan muncul!”
“Wah. Keren sekali,” takub Felix. “Coba tembakkan.”
Minho mengangguk, kemudian mencoba membidik salah satu pohon mati yang ada di depam mereka, menggunakan busur saktinya. Anak panahnya tepat mengenai sasaran. Dan bukan hanya itu, dari anak panah itu juga keluar petir mini. “Jadi begini cara kerjanya.” Ia menggumam.
...
Kira-kira sudah dua jam lamanya Minho dan Felix menunggu di luar bangunan berkubah itu, menunggu Hyunjin yang tak kunjung keluar.
“Haruskah kita menyusulnya ke dalam?” tanya Felix. “Jangan-jangan, terjadi sesuatu padanya di dalam.”
Minho hendak menjawab ketika sepasang netranya menangkap sesuatu di depannya. Seseorang yang dikenalnya.
Minho melihat,
“Yoona,” gumam lelaki itu.
Yoona berdiri diam dengan air mata yang bercucuran dan tampilannya yang berantakan, menatap konstan ke arahnya. Gadis itu berada sekitar lima meter di depan Minho.
Melihat gadis itu, membuat Minho kembali menangis. Ia beranjak dari duduk dan perlahan melangkah menghampiri gadis itu. Tak peduli meski Felix terus meneriakinya di belakang.