Jeongin ambruk ke rumput.
Sambil terlentang di tengah-tengah padang rumput, ia melayangkan pandangan ke langit biru. Napas pemuda itu tersengal, dengan tongkat kayu pendek masih tergenggam di tangan. Jeongin menyipitkan mata guna meminimalisir cahaya dengan intensitas tinggi. Dari sudut mata Jeongin yang menyipit, kulihat sebuah tangan terulur ke arahnya.
“Segitu saja kemampuanmu?” Tanyanya meremehkan.
Mendengar itu, Jeongin menjadi tertantang. Aku langsung bangkit dengan bantuan uluran tangannya. “Ayo coba sekali lagi.”
Lelaki berambut cepak itu tampak menyeringai. “Aku suka semangatmu,” ucapnya. “Lihat seberapa lama kau bisa bertahan.”
Dan tepat setelahnya. Lelaki itu langsung menubruk dan menghujani Jeongin dengan pukulan tongkatnya secara bertubi-tubi. Jeongin dengan sigap mengelak serangannya, atau jika ia beruntung, ia dapat balas menyerang dengan tongkat yang dipegangnya.
Beruntung, latihan singkat lima jam yang mereka lakukan tadi cukup untuk membuatku lebih tangguh dan gesit.
Mereka berempat—Jeongin, Jisung, Changbin, dan Minho—sedang berlatih. Atau lebih tepatnya, dipaksa berlatih habis-habisan.
Minho, sang pangeran bersayap dari kerajaan atas awan ini, menawarkan kursus-bertempur-dengan-senjata pada mereka semalam, yang tanpa pikir panjang langsung meeka terima. Lagipula, keterampilan menggunakan senjata itu sangat penting. Tidak mungkin kan, kalau terus mengandalkan kekuatan batu-batu sakti itu.
Selain itu, Jeongin junga mendengar Antari juga tengah digegerkan dengan para pemberontak yang membuat kerusuhan dimana-mana. Jadi, ia pikir tak ada salahnya membantu, hitung-hitung sebagai tanda terimakasih karena Minho telah menyelamatkannya dan teman-temannya dari suku kanibal tempo hari.
Hanya saja, Ia tak menyangka latihannya akan seberat ini.
Mereka sudah dipaksa bangun bahkan sebelum matahari terbit. Mandi di sungai yang airnya sedingin es dan setelah itu berlari keliling padang rumput-yang luasnya lima kali lipat lapangan sepakbola di barat bangunan istana. Lalu, seperti yang Jeongin lakukan sekarang, bertarung satu-lawan-satu. Kali ini lawan Jeongin adalah Changbin, lelaki berambut cepak yang tadi ia sebut di awal.
Changbin piawai sekali dalam memainkan senjata. Gerakannya gesit sekali. Ditambah kekuatan bayangan yang yang sudah mahir ia kendalikan, semakin membuatnya tak bisa ditaklukkan. Selain tongkat panjang—senjata yang Changbin pakai sekarang, pemuda itu juga bisa memadatkan bayangan dan membentuknya macam-macam. Entah itu tali, perisai, atau ‘benda’ lain yang berguna saat bertarung.
Oh iya, ngomong-ngomong soal Felix. Sebetulnya Felix tidak mati tenggelam dalam kotak kaca berisi air itu. Bagaimana cara menjabarkannya, Jeongin tak begitu paham. Intinya, Felix tengah hibernasi di sana. Dan sebetulnya, air dalam kotak kaca itu mendidih. Ada api di bagian bawahnya. Sengaja ‘dibuat’ demikian agar Felix tak membekukannya tanpa sadar. Akan sangat sulit nantinya kalau sampai lelaki itu terjebak dalam balok es. Kekuatan es Felix sangat besar hingga sang pemilik saja tak bisa mengendalikannya. Ditambah, Felix juga mudah sekali cemas—yang mana semakin memperburuk keadaan.
Felix membutuhkan Hyunjin, secara harfiah. Kekuatan es dan kecemasan Felix yang tak bergejolak itu hanya bisa ditenangkan Hyunjin. Api yang Hyunjin miliki mampu meleburkan es itu dan sentuhannya memberikan kehangatan bagi sang sang empunya.
Kekuatan Hyunjin dan Felix bekerja secara terbalik, dan kedua orang itu juga sebetulnya berbeda seratus delapan puluh derajat. Namun, dari sana mereka justru saling melengkapi, menyeimbangkan, menyelaraskan, dan tak bisa dipisahkan.
Oh, dan jika kalian bertanya ada dimana mereka sekarang? Hyunjin dan Felix sedang berada di tempat terpisah untuk berlatih. Chris memilihkan ‘tempat khusus’ yang aman bagi kedua orang itu.