“Serahkan!”
Suara berat nan mengerikan itu sontak menghujam lelaki itu, merangsek masuk ke dalam gendang telinga, menciptakan kengerian yang membuncah dari dalam diri. Jeongin spontan berteriak dan menutup mata rapat-rapat, sambil berusaha meyakinkan pada diri sendiri bahwa ini hanyalah mimpi, tidak nyata.
Suara geraman terus terdengar, saling bersautan memenuhi kepala. Ini jelas bukan mimpi, ini nyata. Rasa dingin mulai menggerogoti tubuhnya, tapi tak ada yang dapat Jeongin lakukan. Makhluk itu berada persis di depan dan takkan butuh lebih dari lima detik baginya untuk melahap lelaki itu atau hal apa pun yang akan dilakukan makhluk-menyeramkan-yang-mendadak-muncul.
Tamat sudah riwayatku. Pasti sebentar lagi aku akan mati, batinnya.
Atau mungkin juga tidak. Jeongin sudah menghitung dalam hati, dan hitungannya kini sudah sampai di angka sepuluh. Tubuh Jeongin masih terasa utuh dan ia tak merasakan apa pun menyentuhnya. Apa mati rasanya seperti ini? Sepertinya tidak, setidaknya tidak se-tidak-ada-rasanya ini. Atau mungkin makhluk itu sudah pergi? Rasanya itu lebih tidak mungkin lagi. Kecuali jika makhluk itu hanya ingin mampir dan menyapa sambil memperlihatkan rupanya yang mengerikan itu.
Mata lelaki itu masih terpejam, masih belum siap melihat sosok itu lagi. Ralat, Jeongin tak akan pernah siap melihat sosok hitam bermata merah menyeramkan itu lagi, sampai kapan pun. Namun ia tak punya pilihan lain, mau tak mau ia harus membuka mata dan memeriksa apakah makhluk itu masih ada disana atau tidak.
Perlahan ia membuka kedua mata. Dan hal selanjutnya yang terjadi justru lebih mengagetkan lagi, tapi tidak dalam arti buruk. Ini baik, atau setidaknya mendekati baik, jika dilihat dari sudut pandang seorang pemuda yang terjebak dalam suasana mencekam ini.
Jeongin melihat cahaya berdenyar berwarna hijau muda menyelubungi. Makhluk menyeramkan itu kini berubah kembali menjadi kabut hitam pekat dan tampak tengah bergerak menabrak-nabrakkan dirinya ke arah selubung cahaya hijau itu, hendak menerobosnya.
Jeongin hanya bisa terdiam di dalam balutan cahaya hijau itu sambil berharap-harap cemas. Siapa pun dia, atau makhluk apa pun dia, Jeongin akan sangat berterimakasih padanya karena telah melindunginya. Tak lama, kabut hitam pekat itu terbuyarkan dan atmosfer di sekeliling kembali normal seperti semula.
“Terimakasih,” ucap Jeongin pada cahaya berdenyar itu.
Cahaya yang semula menyelubungi itu kini berubah menjadi segaris cahaya tipis, masih dengan warna yang sama, hijau. Benda itu bergerak membelai lembut pipi kanan Jeongin, mengalirkan kehangatan, lalu merasuk ke dalam tubuh melalui telapak tangan.
Mata Jeongin mengerjap berkali-kali, benarkah yang ia alami barusan? Semua itu nyata atau hanya mimpi? Apa pun itu, paling tidak ia harus segera keluar dari ruangan ini. semakin malam, hawa disini semakin mencekam saja. Pemuda itu pun bergegas keluar, tak lupa membawa serta gulungan tikar yang tadi digeletakkan di lantai.