Jilid 2. Busur Naga
"Tiga pusaka pertama. Tiga busur dewata. Tiga penjaga. Tiga ksatria sepertalian darah."
*Beberapa bab ke depan akan berfokus pada perjalanan Minho, Hyunjin, dan Felix.
✨ SELAMAT MEMBACA ✨
~***~Dari atas pegunungan—arah yang tengah mereka tuju saat ini—petir dan guntur sahut-menyahut. Tangan kanan Minho yang menggenggam bros berlian itu semakin sakit ia rasakan. Kilatan-kilatan petir mini yang dulunya terlihat mengagumkan, kini terasa membakar.
“Minho!” Felix terlihat menunjuk ke langit, tepat pada satu titik yang terletak pada puncak sebuah gunung. Ada yang aneh, petir-petir terlihat berkumpul menyambar titik itu.
Walau tak tepat berada di puncak, tapi Minho rasa cukup memakan waktu untuk mendaki menuju titik itu. Ia melihat kedua temannya. Tak mungkin Minho terbang seorang diri meninggalkan mereka. Kalau mereka mengizinkan pun, ia tak bisa mengambil resiko terbakar saat terbang mengingat petir-petir yang saling sambar itu.
”Kalian siap?” Minho memastikan.
“Siap tidak siap, harus siap,” tukas Hyunjin.
Felix membalas dengan sebuah anggukan.
Saat sampai di kaki gunung, mereka dihadapkan dengan kondisi lereng gunung yang curam dan licin akibat hujan yang turun beberapa menit lalu. Pengalaman saat berlatih bersama prajurit Antari sangat membantu Minho, Hyunjin, dan Felix di saat-saat seperti ini. Memilih pijakan yang tepat agar tak tergelincir, memperhatikan arah angin dari arah datangnya hujan, dan masih banyak lagi.
Namun, hal terburuk menyambut mereka beberapa menit kemudian. Baru seperempat perjalanan, tanah yang mereka pijak tiba-tiba bergetar hebat. Minho tengah menarik Felix ke pijakan berikutnya ketika sebuah batu seukuran bola sepak menggelinding dari atas. Beruntung tak ada satu orang pun yang terkena hantaman batu itu.
“Jangan bilang ada tanah longsor.” Suara Hyunjin hampir tersamarkan derasnya hujan.
Minho menengok ke atas tapi tak mendapati apapun. Firasatnya buruk tentang ini.
“Tapi tidak ada apa-apa.” Minho menoleh ke arah kedua temannya.
Mereka melanjutkan perjalanan. Seperempat perjalanan lagi berhasil mereka tempuh. Hujan mereda, namun mereka terlanjur basah kuyup, suhu pegunungan di malam hari sangat rendah. Mereka dibuat menggigil karenanya—kecuali Felix yang memang memiliki elemen es.
Hyunjin mengusulkan untuk beristirahat sejenak, sekedar melepas penat dan menghangatkan diri sejenak. Tapi buruknya, tak ada dahan maupun daun kering untuk di bakar. Semuanya basah.
“Ya sudah.” Hyunjin menjetikkan jari tangan kananya, memunculkan api darisana. Ia kemudian memperbesarnya dengan sisa kekuatannya. “Gunakan ini saja. Atau kalau masih kurang hangat, kau juga bisa memelukku sekalian,” ucapnya ngawur.
“Dasar kau ini,” gumam Felix.
Tak lama berselang, terdengar suara raungan dari atas gunung. Sangat keras dan memekakkan telinga.
“Bukankah itu suara naga-naga kita?” tanya Felix cemas.
“Oh tidak. Nagaku yang cantik.” Hyunjin memasang wajah melas. “Bagaimana kalau petir-petir itu mengenainya? Sisiknya yang indah pasti akan terkena luka bakar.”