8. Keluarga.

48 18 0
                                    

Happy reading ✨

Guling kanan, guling kiri. Ku tekan perut yang terasa nyeri. Aku bangkit dari ranjang dan segera berlari ke kamar mandi. Ini gara-gara makan rujak bikinan tante Rina. Rujak yang pedasnya melebihi kapasitas perutku. Menyesal aku yang sudah memakan rujak itu hampir satu piring besar, lagian enak sih, coba aja nggak enak pasti tak akan ku makan.

Kembali merebahkan diri di ranjang dengan terlentang. Lemasnya! Sudah tiga kali bolak balik kamar mandi. Uh! Perut, udah dong sakitnya!

“Gimana? Udah enakan?” Reno berjalan dan duduk di tepi ranjang sambil meletakkan sesuatu yang tak kusukai di atas nakas.

Aku menggeleng.

Ia terkekeh, “Makanya, tadi udah dibilang jangan makan banyak-banyak, malah bandel.” tangan Reno mencubit pipiku. Tak sakit, tapi mampu membuat sesuatu yang didalam sini bekerja lebih keras.

Aku membuang muka, mencoba menghindar dari pandangannya agar tak melihat pipiku yang mungkin sudah merah. Bukannya berhenti, tangannya terus mencubit pipi ini. Sejak kapan Reno jadi suka mencubit pipi?

“Liat sini!” tangannya menuntun wajahku menghadap padanya.

Alhasil, aku terjerat lagi di sorotan matanya yang teduh itu. Aku tak membantah jika dibilang cintaku padanya semakin hari semakin bertambah, atau mungkin sudah mengisi sepenuhnya. Sebenarnya aku juga bingung, kapan aku mulai menyukainya? Kapan perasaan itu datang? Seingatku dulu kami masih berlari bersama, bermain bersama, tapi yang kutahu semenjak menginjak SMP, aku tak suka jika Reno lebih dekat dengan perempuan lain.

Aku terkesiap saat Reno meniup wajahku.

“Lain kali, kalo Reno bilangin sesuatu harus nurut,” ucapnya.

“Jangan makan rujak?” tanyaku.

“Bukan cuma rujak! Tapi semuanya.”

“Kenapa Sasa harus nurut sama Reno?”

“Karena ... karena Reno bentar lagi jadi suami Sasa.”

“Kan, belum. Mana tahu umur Sasa nggak sampai kita nikah.” spontan bibirku berucap.

Wajah Reno berubah datar. Kemudian berbalik mengambil sesuatu dan menyondorkannya padaku. Minyak telon, aku tak suka!

“Nggak mau!” aku menggeleng sambil mendorong tangannya yang menyondorkan minyak telon.

Tangan Reno bergerak kebawah tubuhku. Segera kutahan, takut-takut dia ngapain. Kan bahaya.

“Buka bajunya!”

Aku menggeleng. Mana boleh kakanda!

Tangan Reno menarik baju bawahku. Segera aku duduk dan menjauh darinya. Kulemparkan tatapan sengit padanya. Dia menatap balik dengan tajam, seketika nyaliku menciut, hilang begitu saja entah kemana perginya. Apa mungkin ke rumah gebetannya? Eh

”Buka!”

Aku menggeleng.

Reno menghembuskan nafas. Setelah kupastikan ia kembali pada mode slow, baru aku bernafas dengan lancar. Fiuh!

“Makanya pakai telonnya.” Reno berujar dengan kembali menyondorkan minyak telon yang tak kusukai.

Aku kembali menggeleng.

Reno tersenyum dengan aneh, “Pakai atau Reno cium?”

“Cium.” Kusondorkan pipi kiriku padanya. Tentunya ciuman Reno jauh lebih baik dari pada harus menggunakan minyak telon itu.

Lagi, lagi Reno tersenyum aneh.
“Bukan disitu, tapi disini.” Reno mengangkat tangannya.

Seketika tubuhku terasa meremang saat jemarinya mengusap bibir ini perlahan. Oh tidak! Apa yang aku lakukan? Segera kuambil minta telon di tangannya. Tentunya aku belum siap untuk hal-hal yang seperti itu. Terutama bibirku. Ah, sayang, tenang saja ke perawananmu tatap akan ku jaga, walaupun harus menggunakan minyak telon itu.

Tetanggaku Cogan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang