Happy reading ✨
Pagi Senin. Akan aku pastikan hari ini adalah hari kebahagiaan. Aku tak ingin terus berlarut dalam kesedihan, meski kesedihan itu rasanya tak ingin menjauh dan terus mengikuti seiring dengan langkah kaki yang berjalan.
Setelah memastikan semua perlengkapan sekolah selesai, aku segera turun dari kamar. Walaupun jam masih menunjukkan pukul 6.25 WIB, aku tetap ingin berangkat pagi. Tentunya aku tak ingin dulu bertemu orang-orang di rumah ini. Masih canggung dan rasanya aku masih sedikit kecewa pada mereka.
Tak ingin berlama-lama, sampai di depan pintu aku segera memesan taksi online. Ini gara-gara Bang Zidan, seharusnya ia tak melarangku untuk mempelajari cara menyetir. Kalau sudah begini, kan, repot.
Kaki terus melangkah ke ujung kompleks. Lumayan, biar hemat sekaligus olahraga pagi. Kan, untung.
Tin!
Aku segera menepi dari jalan setelah mendengar klakson motor dari belakang. Sedikit menoleh pada kendaraan roda dua yang membunyikan klakson. Motor itu berjalan dengan lambat di belakang.
Tin!
Tin!
Kembali menatap pada sosok yang terus membunyikan klakson motornya. Tak dikenal, juga tak diketahui. Ya jelas, orang dia pakai helm.
Tin!
“Hei.”
Aku diam. Menghentikan langkah, lantas menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada orang. Dengan siapa orang ini berbicara?
“Gue bicara sama lo, Rosa.”
Kutunjuk diriku menggunakan tangan. Orang itu menggangguk kemudian melepas helmnya.
“Lo nggak kenal gue?” Ia mengguyar rambutnya kebelakang. Persis seperti iklan sampo.
Aku menggeleng. Terus menatapnya dari atas sampai bawah. Dia terlihat seperti blasteran Indonesia dan ... apa, ya? Belanda?
Ia berdecak. “Gue Dede, ingat?”
Dede? Seperti pernah mendengar tapi lupa. Apa mungkin Dede dalam film super Dede?
Ah, masa?
Ia mendengus kemudian turun dari motornya.
“Liat gue.” Ia memutar tubuhnya dengan gerakan slow motion persis seperti model ondel-ondel di jalan raya.“Gimana? Udah ingat?” tanyanya seraya menghentikan gerakannya.
Aku menggeleng. Lagian siapa sih? Jangan-jangan maling yang ngaku-ngaku kenal.
“Rosa angelika! Gue Dede teman sebangku lo waktu SMP!” Ia mengguyar rambutnya, terlihat frustasi.
Aku terkekeh. Baru ingat dia siapa. Lagian dulu perasaan dia gemuk, juga lebih pendek dariku, kenapa sekarang kurusan dan jauh lebih tinggi?
“Ngapain lo ketawa? Nggak lucu!”
Wajah kesalnya membuat tawaku makin pecah. Jadi pengen buli dia lagi. Eh
Setelah mengatur nafas karena tertawa, aku kembali menatapnya serius. Sedikit mendongak karena tubuhnya memang tinggi.
“Lo mah nggak asik, nggak pendek lagi,” ucapku dengan maksud menghalau suasana yang kembali canggung. Bagaimana tak canggung, dia diam saja selama aku tertawa.
“Kalau gue pendek, ntar lo buli lagi.” Ia mengedarkan pandangan ke sekitar, “Mana Reno? Biasanya dia sama lo.”
Aku diam tak berniat untuk menjawab pertanyaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetanggaku Cogan (SELESAI)
RomansaSasa adalah seorang gadis yang cantik. Memiliki seorang sahabat yang digadang-gadang olehnya menjadi sosok pacar. Yang tidak lain tidak bukan ialah tetangganya. Reno yang tampan dan sangat perhatian membuat Sasa mau tak mau terus bergantung pada lak...