15. Kebahagiaan semu.

98 16 0
                                    

Siapa yang tak ingin memiliki keluarga yang utuh?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Siapa yang tak ingin memiliki keluarga yang utuh?

Siapa yang menginginkan hidup di atas gunjingan orang?

Namaku Fanaya Clarissa. Hidup bahagia dengan kedua orang tua adalah impianku. Semenjak dari kecil aku tak pernah melihat sosok ayah. Sedang ibu tak pernah menganggap aku sebagai anaknya, hanya nenek yang sangat menyayangiku, membelaiku di setiap malam dan membacakan dongeng untukku.

Hidup di antara gunjingan orang sangatlah tak menyenangkan. Bahkan, saat umurku masih lima tahun hampir seluruh anak-anak seumuranku menjauhiku dan mengatakan jika aku anak haram. Aku di jauhi oleh teman sebaya dengan tuduhan pembawa sial. Yang bisa kulakukan hanya menangis dan berlari pulang, mengadu pada nenek. Beliau selalu mengatakan jika aku sangat berharga, diselingi dengan usapan dan nyanyian hingga aku tertidur dan melupakan kejadian tak mengenakkan itu.

Ibu adalah bidadari untukku walaupun beliau selalu marah dan memukuliku saat aku ingin memeluknya. Aku selalu mencari perhatian pada ibu agar beliau melihatku dan menyayangiku seperti ibu-ibu lain di luar sana. Aku belajar agar pintar demi bisa menarik perhatian ibu. Usaha tak menghianati hasil. Saat penerimaan lapor pertama kelas satu SD, aku mendapat rangking satu di kelas.

Berlari pulang dengan langkah bahagia, senyum mengembang di sepanjang jalan berbatu. Berharap sampai di rumah akan mendapat pujian dari ibu dan mendapat perhatiannya. Lagi dan lagi semua yang aku usahakan hanya sia-sia. Ibu marah dan membentak.

“Pergi kamu anak sialan!”

Apa yang bisa dilakukan oleh anak kecil berumur lima tahun? Menangis. Hanya itu. Entah sudah keberapa kali kata itu mengalun indah memasuki telinga ini sampai-sampai membuatku terbiasa dengan kata-kata itu. Aku anak sialan.

Sampai aku masuk SMP, aku baru tahu jika ibu depresi dan aku juga tahu bahwa yang diucapkan oleh teman-teman sekampung  adalah kenyataan bahwa aku anak haram. Anak yang tak diinginkan lahir ke dunia. Manusia yang hanya bisa menyusahkan semua orang.

Gunjingan, bullian, semua aku dapatkan. Menangis satu-satunya jalan agar beban terasa berkurang.

“Tetaplah bersabar, Sayang. Tuhan selalu bersama orang-orang yang sabar.” Begitu ucap nenek untuk menegarkan hati ini saat pertama kali bullian aku rasakan.

Aku hanya mengangguk dan terlelap dengan berbantal kaki nenek. Semangatku untuk berjuang dan maju tak pupus untuk bersekolah dan menjadi orang yang sukses. Aku yakin Tuhan akan memberikan kebahagiaan suatu hari nanti.

Nenek adalah penyemangat untukku. Tempatku mengadu dan berkeluh kesah tentang kesedihan hati saat bullian di masa SMP semakin menjadi. Sedih, tentu saja.

Aku selalu berusaha menjadi yang terbaik di sekolah dan itu terbukti dengan penilaian kelulusan akhir SMP. Aku salah satu dari murid berbakat di sekolahku. Bahagia yang kurasa saat menjadi lulusan terbaik dari SMP.

Pulang dari sekolah saat itu, aku berlari sambil menjinjing hasil belajar yang sangat memuaskan dengan semangat pulang ke rumah. Ingin sekali saat itu aku cepat-cepat pulang ke rumah dan mengatakan pada nenek bahwa aku lulusan terbaik.

Tetanggaku Cogan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang