7. Ayah?

51 17 0
                                    

Happy reading ✨

      Minggu.

Jam di nakas menunjukkan pukul 9.45. Aku rasanya masih malas untuk beranjak tapi seketika teringat dengan apa yang harus aku lakukan.

Aku duduk. Mengucek mata, menggeliat. Segera beranjak dari ranjang dan berlalu membersihkan tubuh. Tidak lama cuma sepuluh menit.

Ku pakai dres putih pas badan, menggurai rambut dan memoles sedikit. Sudah selesai aku berdiri di depan cermin. Cantik.

Segera turun ke bawah untuk sarapan. Maklum Minggu, jadi siangan. Kulihat bunda dan Rissa di meja makan.

“Pagi Bun, Rissa.”

“Anak gadis kok bangun telat.” Bunda mencubit pipiku.

“Bunda, jangan cubit, sakit,” rengekku.

Sebenarnya nggak sakit cuma mau manja aja.

Rissa hanya tersenyum.

Segera aku duduk di samping Rissa dan menyendok nasi goreng ke mulut. Enak. Bukan nasi goreng bunda atau pun bi Ijah, apalagi bang Zidan. Apa Rissa?

“Enak,” ucapku.

“Rissa yang bikin,” ujar bunda.

“Rissa bisa masak?” tanyaku.

“Bisa, kak.” Rissa mengangguk antusias.

“Hebat, ajarin aku dong Rissa, mau nggak? Soalnya enak banget.”

Rissa tersenyum dan mengangguk.

Kembali kulanjutkan makan.

“Bang Zidan!” panggilku ketika melihat bang Zidan menuruni tangga.

Bang Zidan menoleh.

“Nasi goreng enak bang, Rissa yang bikin,” lanjutku.

Bang Zidan menatap Rissa.

“Abang ada urusan sama temen, jadi langsung pergi aja,” ujar bang Zidan.

Setelah mengatakan itu bang Zidan berlalu keluar rumah. Biasanya hari Minggu dia nggak ada kerjaan, palingan cuma gosok motornya di depan atau sekedar makan mangga samping rumah. Tumbenan ada urusan. Aku mengedikkan bahu, melanjutkan makan yang sempat tertunda.

“Mau pergi sama Reno?” tanya bunda.

Aku mengangguk, kemudian minum air sesudah menghabiskan makanan.

“Mau cari baju pengantin, di suruh mama Renata.”

Bunda mengangguk.

“Ya udah, Sasa pergi dulu, Rissa mau ikut?” tanyaku mengalihkan perhatian ke samping.

“Boleh?” tanyanya.

Aku mengangguk.

“Sasa, Rissa pergi sama bunda nanti.” bunda berujar.

“Oh, ya udah. Sasa pamit Bun, Ris.”

Bunda tersenyum begitupun dengan Rissa.

Selanjutnya aku melangkah ke rumah Reno. Bersamaan dengan kakiku yang mendekati pintu, Reno keluar dari rumahnya.

Kami berpamitan dulu pada Tante Renata dan segera pergi menggunakan mobil Reno. Yah, mobil, karena aku yang menggunakan dress. Jadi lebih mudah kata mama Reno.

“Renren.”

“Hmm.” Reno masih fokus pada jalan di depan.

“Beneran kita bakalan nikah?”

Tetanggaku Cogan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang