18. End

19 3 2
                                    

Assalamualaikum

Aku gak tau masih ada yang ingat sama cb ini atau nggak? Tapi aku benar-benar buntu buat lanjut lagi. Tapi ini part yang udah aku coba tulis lagi. Jujur, aku lupa dengan ceritanya karena udah lama gak buka cerita ini. Kuliah bikin aku benar-benar sibuk dan gak sempat untuk nulis. Part ini penutup. Entah untuk siapa, tapi yang jelas aku mau up aja sekalipun gak ada yang baca.

Happy reading ✨


Bertahan melawan logika, aku masih mampu. Setengah gila mengingkari perasaanku, tersudutku tanpa ampun. Maaf, aku tak mampu! (Ini dikutip dari cerita, tapi aku lupa ceritanya apa, kalau ada yang tahu, berkabar ya.)

.

Gerimis di jalan mengingatkanku pada sosoknya lagi. Mungkin, aku adalah sosok yang paling bodoh di dunia yang masih mengharap cinta mereka.

Kabur dari rumah. Hah, aneh. Jika sebagian orang berfikir itu kekanakan, maka tidak untukku. Ini bukan kekanakan atau bentuk manja diri ini, tapi ini adalah sesuatu yang kuanggap sebagai pembatas diri agar tak jatuh terlalu dalam dalam kubangan kesedihan.

Aku berjongkok, beralih memasang tali sepatu sambil terus menahan sekeping roti yang kujepit dengan mulut.

Seminggu sudah aku tinggal di apartemen Bang Rey. Semua berjalan dengan semestinya, tak ada yang mengganggu dan pengobatan kakiku berjalan dengan mulus. Terbukti, sekarang aku tak memakai tongkat lagi dan berjalan seperti biasa.

Selama seminggu ini, tentunya tak banyak yang datang ke apartemen. Hanya Dewa dan Tina—si suster magang—kakaknya Dede.

Soal Bunda, Ayah, Bang Zidan, dan Zain, atau lebih tepatnya keluargaku. Mereka tak akan tahu letakku sekarang. Cukup nyaman tanpa adanya mereka, meski sedikit sunyi jika sendiri.

Apartemen Bang Rey memang tak diketahui oleh keluargaku yang lain. Tentu saja, hanya aku satu-satunya yang diberi tahu oleh Bang Rey. Dan lagi, bertambah dengan Dewa dan Tina. Ah, salah, sedikit perbedaan. Mereka tahu jika ini apartemenku sendiri bukan Bang Rey.

Kembali meneruskan langkah di jalan dengan gerimis hujan yang mendera. Sedikit berlari kecil saat tetesannya perlahan membesar.

Tepat saat kaki ini sampai di bawah gedung sekolah, hujan lebat turun mengguyur bumi. Sedikit basah pada bahu.

Lonceng masuk kelas berbunyi. Mau tak mau, aku segera mempercepat langkah. Waktu yang mepet karena ojek online yang aku pesan telat datang. Sambil mengunyah roti, aku terus berlari sampai pada koridor kelas.

Spontan langkah kaki terhenti menatap sesosok yang tengah menyandar pada pintu kelas. Penampilan acak-acakan, rambut yang dulunya rapi sekarang berantakan, baju seragam yang keluar dari tempat seharusnya.

Ragu untuk melangkah. Akhirnya kutekankan dalam hati untuk acuh dan berjalan secepat mungkin agar sosok itu tak menyadari diri. Selangkah lebih dekat dan kulewati.

Sambil berjalan, aku menoleh. Ingin menatap wajah itu, sayang sekali tak terlihat karena lantai kelihatan menarik mungkin untuk dilihatnya. Kembali meneruskan langkah dan masuk ke kelas yang telah ramai.

Begitu masuk kelas, seberondong pertanyaan silih berganti datang dari teman-teman sekelas, tak ayal juga dengan Cindy—teman sebangkuku itu. Ah, aku rindu suasana kelas seperti ini.

Tak segan aku menceritakan tentang pengobatan kaki dan apa yang aku alami. Tentunya tak termasuk dalam bagian kabur dari rumah. Sampai Bu Anggi masuk ke kelas, barulah teman sekelas membubarkan diri menuju bangku masing-masing. Kegalakan Bu Anggi memang telah menggelegar.

Tetanggaku Cogan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang