9.

51 18 0
                                    

Happy reading ✨

“Zain! Adek gue!”

Bang Zidan berlari begitu keluar dari mobil.

Hap!

Kutepuk jidat saat melihat bang Zidan yang datang langsung peluk-peluk orang.

“Huwa! Adek gue udah gedek ternyata?!”

“Eh? Bang, maksudnya apa?”

“Lo Zain, kan?” tanya bang Zidan.

“Bukan, bang, saya Zafran,” ucap Zafran-adik kelasku. “Permisi, bang, saya mau pulang.” Zafran mengurai pelukan Bang Zidan, kemudian berlalu memasuki motornya dan hilang sekejap mata, meninggalkan Bang Zidan yang berdiri dengan kaku.

Memalukan! Bukan abangku pokoknya! Titik!

Siswa-siswa yang masih berada di lingkungan sekolah menatap Bang Zidan dengan pandangan aneh. Mungkin, pikir mereka Bang Zidan 'tak waras karena asal peluk orang. Dasar! Abangku itu! Walaupun memang kurang waras sih. Eh?

“Sasa, Zain yang mana?” tanya Bang Zidan.

Kutunjuk dengan dagu kearah lapangan basket dimana Zain, Reno dan teman-temannya berada.

Memang, sekarang sudah pulang sekolah. Kata mereka, mereka pengen main basket dulu pulang sekolah. Jadi, karena bang Zidan datang kesekolah buat ketemu Zain. Aku berniat menjemputnya didepan parkiran sekolah. Kebetulan, dijalan tadi bertemu Zafran-adik kelasku, jadi barengan.

“Bang Zidan malu-maluin, sembarangan peluk-peluk orang!”

“Gue pikir itu Zain,” ucapnya. “Ya, udah. Ayok!”

“Kemana?”

“Kelapangan basket lah! Kemana lagi?”

Aku hanya ber-oh dan mengikuti langkah bang Zidan sekaligus menarik tali tas yang sedikit turun dari bahu.

Aku mengernyit saat melihat jalan bang Zidan yang bukan kearah lapangan basket. Apa dia tidak tahu jalan?

“Abang nggak tau jalan, ya? Ini bukan ke arah lapangan!”

Bang Zidan menoleh, “Ya kali gue pikun! Gue lapar, pulang kuliah langsung kesini, jadi kantin dulu.” cengir lebar terpampang di wajahnya.

Tadi katanya ke lapangan basket!

“Siapa suruh pulang kuliah langsu—”

“Udah, diem.” tanganku ditarik bang Zidan. Ya udahlah pasrah aja. Kasian gembel belum makan.

Akhirnya aku menemani bang Zidan makan di kantin. Sekaligus ikut makan, rugi dong kalau nggak makan, mumpung dibayar bang Zidan. Padahal kantin udah mau ditutup sama Mina, anak yang punya kantin sekolah, juga anak sekolah disini, satu angkatan denganku, tapi 'tak sekelas.

“Maaf ya, Min, Abang Sasa ngerepotin,” ucapku tulus pada gadis berkerudung yang duduk di depanku.

“Ah, i-iya, ngga pa-pa kok.” gadis itu menunduk, entah apa yang dilihatnya dibawah. Apa ada harta Karun?

Bang Zidan terus makan tanpa memerhatikan percakapan kami. Kepalanya mangguk-mangguk seraya memasukkan satu sendok nasi goreng terakhir ke dalam mulutnya. Selanjutnya ia menyerahkan piring kosong ke Mina.

“Tambah.”

Aku yang hendak berdiri terhenti mendengarkan ucapan bang Zidan. Lantas menoleh padanya yang masih menyondorkan piring pada Mina yang terlihat menunduk.

“Abang! Lapar apa doyan, sih?!” keluar juga pertanyaan yang bergelut di kepalaku sedari tadi. Pasalnya, bang Zidan sudah menghabiskan tiga porsi, dan sekarang nambah lagi?!

Tetanggaku Cogan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang