11. On The Way

1.9K 80 9
                                    

Selesai makan, aku dan Daddy keluar dari hotel dan masuk ke mobil seperti yang kita rencanakan tadi. Victor sudah menunggu kami berdua di sana. Tapi sepertinya dengan mobil yang berbeda dari semalam kami ke sini. 

"Mobil baru lagi?" tanyaku. 

Daddy hanya mengangguk sekali dan membukakan pintu untukku. Segera aku masuk ke dalam sana diikuti dengan Daddy

"Kamu yakin ga mau ke toilet dulu? Kamu minum banyak jus tadi," tanya Daddy sekali lagi. 

"Sangat yakin dad, berapa kali lagi aku harus menjawabnya?" 

Sesekali dua kali mungkin aku tidak masalah menjawabnya, tapi kalau sudah beberapa menit sekali Daddy bertanya, aku pikir jawabanku akan selalu sama. 

"Kalau kamu yakin, kita berangkat saja Victor. Lewat jalan alternatif yang tidak terlalu macet," suruh Daddy pada Victor yang baru menyalakan mobil ini. 

Tanpa mengatakan apa pun lagi, Victor langsung menjalankan apa yang Daddy katakan. Aku melihat pria di sebelahku sebentar. Mungkin dia merasakannya saat aku menatap ke arahnya karena dia langsung melihat ke arahku sekarang. "Kenapa?"

Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. "Tidak apa-apa, hanya saja Daddy sangat tampan." 

"Apa kamu baru menyadarinya sekarang? Padahal wajahku selalu sama setiap saat." 

"Bukan itu, tapi memang selalu tampan setiap kali aku melihat Daddy." 

"Jangan terlalu fokus, nanti kamu bisa suka sama Daddy loh."

"Memangnya kalau iya gimana?" tanyaku asal. 

"Tidak boleh Baby, kamu tidak boleh suka denganku. Kita sudah sepakat di awal."

Zrek!!

Entah kenapa perkataan Daddy barusan membuatku merasa aneh untuk sesaat. Aku suka dengan Daddy? Kami berdua berpaut 10 tahun. Aku baru berusia 21 dan daddy 31. Tapi aku sudah bersama Daddy setiap hari selama 3 tahun. Pria yang selalu bersikap perhatian dan hangat padaku. Aku tidak tahu apa yang membuatku bisa bertahan sampai sekarang dengan daddy tanpa paksaan? Tapi yang pasti semakin aku pikirkan, rasanya dadaku semakin sesak. 

Apa aku benar-benar suka dengan Daddy? Bahkan kalaupun Daddy sudah mengatakan tidak?

Aku mengubah posisi dudukku. Sekarang mataku melihat keluar mobil. Ada banyak gedung-gedung tinggi yang sudah kami lewati. Ini sudah berada di tol dan tidak ada gedung lagi disini, hanya ada jalan bebas hambatan yang luas di depan kami. Yang bisa aku lihat sekarang hanya ada mobil-mobil yang melaju lajur lain. 

Aku tidak tahu apa yang sedang Daddy lakukan, tapi aku pikir itu mungkin penting. Semua pekerjaan Daddy selalu penting, yang tidak penting hanya mengurusku. Aku selalu merasa sepertinya dia mengurusku itu hanya buang-buang waktu. Karena pada akhirnya mungkin juga kita tidak akan bisa bersama. 

Biasanya Daddy akan mengajakku bercanda atau semacamnya di mobil, tapi tidak dengan kali ini. Hanya keheningan yang menyelimuti seisi mobil ini. 

Beberapa kali mataku melihat ke arah ponselku. Belum lama sejak aku mengisi baterainya, baru terisi 40%. Aku merutuki ponsel ini dalam hati. Kenapa mengisi daya saja membutuhkan banyak waktu. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. 

Mengobrol dengan Victor di depan Daddy bukanlah hal yang mungkin akan aku lakukan sekarang. 

"Apa skripsimu sudah selesai?" tanya Daddy tiba-tiba. 

Aku yang sedari tadi hanya melamun cukup terkejut mendengar suara Daddy yang tiba-tiba. "Uh... Sudah," jawabku singkat. 

"Bagaimana dengan latihan untuk sidangmu?"  Daddy sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari ponsel. Aku rasa itu sepertinya sangat penting. 

"Itu juga sudah, sidangnya masih bulan depan, aku masih punya beberapa waktu untuk latihan lagi nanti." Aku menjelaskannya agar dia tidak perlu banyak bertanya lagi. 

Daddy seketika menghela nafasnya kasar. 

"Victor, tolong ganti tujuan, Villa Tortoise.

"Baik bos." 

Aku semakin tidak tahu apa-apa tentang ini. Daddy masih belum mengatakan apa pun padaku. Apa pestanya batal? Atau mungkin Daddy punya sesuatu yang mendesak? Kenapa dia tidak mengatakan apa pun padaku. 

"Dad, kenapa kita ke sana?" tanyaku. 

Wajah Daddy terlihat kesal. Aku pikir mungkin itu karena pekerjaannya yang mengganggu suasana hatinya sekarang. 

Dia menatapku sebentar tapi tidak menjawabku. Pandangannya langsung dia alihkan keluar mobil. Beberapa kali tangannya memijat batang hidungnya sendiri. 

"Baby, tidurlah dulu. Perjalanan kita masih jauh. Nanti akan Daddy bangunkan begitu kita sampai." 

Bahkan saat dia mengatakannya, matanya tidak melihat ke arahku sama sekali. Aku ini mahasiswa psikologi. Aku tahu semua gerak-gerik Daddy menandakan sesuatu. 

"Apa yang Daddy cemaskan?" 

"Tidak usah kamu pikirkan Baby, ini urusan pribadiku."

Walaupun begitu, lama-kelamaan aku bisa melihat emosi negatif lain yang mulai keluar. Marah, kesal, cemas, takut dan banyak lainnya. 

"Daddy tahu kan, Daddy selalu bisa menceritakan sesuatu padaku." 

Daddy menganggukkan kepalanya dan melihat ke arah Victor. Mataku ikut mengikuti arah lirikan mata Daddy

Oke. 

Sampai sini aku paham. Sepertinya tidak disini. Daddy selalu butuh tempat yang lebih pribadi untuk berbicara hal seperti itu. 

"Kalau begitu bangunkan aku ketika kita sudah sampai ya." 

"Tentu saja baby," jawabnya yakin dengan sebuah elusan kepalaku. Bibirnya sedikit terangkat membuat senyuman tipis. Senyuman itu bukanlah senyuman bahagia, lebih terlihat seperti senyuman yang dipaksakan untuk terlihat bahagia. 

Tapi aku tidak ingin terlalu memaksa sekarang. Daddy pasti akan bercerita padaku ketika dia memang butuh. Aku tidak perlu mendesaknya kalau dia tidak ingin. Semua akan kembali seperti semula ketika kita sudah kembali ke rumah Daddy

Jadi sekarang sepertinya aku akan mengikuti perkataan Daddy. Walaupun ini masih jam 9, tetap saja tidur tidak butuh waktu khusus kan? Di mana pun dan kapan pun bisa menjadi waktu istirahat ketika kamu adalah mahasiswa semester akhir. 

To Be Continue

Baby Girl | HunReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang