Keduanya berpelukan cukup lama. Anehnya, Jeffrey sama sekali tidak merasa kedinginan. Sebaliknya, dia justru merasa panas luar biasa. Apalagi pada bagian depan tubuhnya yang masih terkena hembusan nafas Joanna yang terasa sangat hangat."Masih dingin?"
Joanna mengangguk singkat, sehingga membuat Jeffrey mulai mengeratkan pelukan hingga membuat tubuh keduanya semakin berhimpitan.
"Parfum Ustadz pasti cassabelanca warna ungu, ya?"
"Kok kamu tahu? Kamu juga pakai? Ini tandanya kita jodoh."
Jeffrey terkekeh pelan, dua lubang cacat di setiap sisi pipinya mulai terlihat setelah dia menyunggingkan senyuman.
"Bukan, mirip punya mantan pacar saya."
Deg.
Jeffrey lemas seketika, pelukan pada Joanna juga mulai dilonggarkan karena dia merasa sedikit kecewa sekarang.
Padahal, seharusnya Jeffrey tidak berhak merasa demikian.
Jeffrey siapa? Joanna siapa? Mereka tidak memiliki hubungan apa-apa.
Setelah insiden Joanna yang menyinggung sang mantan pacar, Jeffrey langsung diam dan tidak lagi banyak berbicara seperti biasa.
Dalam perjalanan pulang, dia juga sama sekali tidak bersuara.
Hingga tiba di pesantren, mereka disambut oleh Johnny dan Dimas yang tampak was-was ketika menyambut kepulangan mereka.
"Ya Allah! Ini sudah hampir isya' dan kalian baru pulang? Ke mana saja tadi!?"
Pekik Dimas dengan suara nyaring seperti biasa.
"Tadi hujan deras, lalu meneduh di pinggir jalan."
Ucap Jeffrey sembari menatap Joanna yang sedang menghidupkan air keran yang dihubungkan pada selang dan disemprotkan pada motor Dimas.
"Najis, darahku merembes kena air. Ustadz juga kena, nanti baju kotornya taruh depan saja. Nanti saya yang cuci."
Dimas dan Johnny saling pandang, diam-diam mereka tersenyum ketika melihat interaksi menggemaskan keduanya.
Iya, menggemaskan. Karena Jeffrey sedang memalingkan wajah sembari menahan tawa.
Ya Allah! Bajuku mau dicucikan, apakah ini pertanda kalau aku sudah memiliki titik terang?
Batin Jeffrey sembari menggigit bibir bawahnya, hingga membuat Joanna yang tidak kunjung mendapat balasan mulai mematikan keran dan berpamitan setelah kresek belajaannya dikeluarkan dari jok oleh Dimas.
3. 20 AM
Hari ini adalah hari pertama puasa. Semalam, selama terawih Joanna menggigil kedinginan di dalam kamar. Untung saja ada Ning Rosa yang menemaninya karena mereka sama-sama sedang halangan.
Joanna juga dikompres hangat hingga demamnya berangsur-angsur turun sekarang.
"Kok cuma ambil nasi sedikit? Ambil yang banyak, meskipun tidak puasa, kamu juga harus makan yang banyak. Ditambah, ya?"
Joanna menggeleng pelan ketika Ustadzah Yanti mulai menambahkan satu entong nasi pada piringnya.
"Jangan Ustadzah, perut saya tidak enak. Nanti mubadzir kalau tidak habis. Sedikit saja, kalau masih belum kenyang, nanti saya tambah lagi."
Ustadzah Yanti hanya tersenyum singkat dan beralih mengangguk cepat sembari memberikan gelas besar yang berisi teh hangat pada Joanna.
Hingga membuat para satri yang lain menatap Joanna cemburu karena gelas mereka jauh lebih kecil dari gelas yang baru saja Joanna dapat.
"Joanna sedang sakit, kalian mau sakit?"
Kali ini Dimas yang bersuara, dia baru saja datang bersama Johnny dan Jeffrey di belakang. Karena memang setiap makan, para santri putri dan putra digabung seperti sekarang.
"Umi, kenapa tadi Joanna hanya ambil makan sedikit?"
Bisik Jeffrey ketika ibunya sedang menyendokkan nasi di atas piringnya.
"Perutnya tidak enak. Kemarin tubuhnya menggigil setelah kamu ajak hujan-hujanan. Kalau besok pagi masih belum sembuh, Joanna mau dibawa ke puskesmas oleh Rosa."
Joanna tampak sedang tersenyum ketika makan, apalagi kalau bukan Haikal yang saat ini sedang melucu di depannya. Tetapi bukan itu yang membuat Jeffrey meradang.
Jeno, dia duduk di samping Joanna. Berdekatan, hingga kulit tangan mereka bersentuhan di atas meja.
Waktu baca ini, apa yang kalian rasain?
See you in the next chapter ~