2. 01 AM
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...Ya Allah, jika dia memang jodohku. Maka dekatkanlah. Jika bukan, tolong hilangkan rasa ini terhadapnya. Aminnn."
Keadaan masjid masih sepi, hanya ada beberapa orang saja yang datang. Mengingat jadwal sholat malam biasa dimulai pada jam setengah tiga tepat.
"Ustadz sedang apa? Kok menangis."
Jeffrey langsung mengusap air matanya, menoleh pada Jeno yang sedang bersiap sholat malam di sebelahnya.
"Sedang ingat neraka. Kamu tumben sholat tahjjud lebih awal. Teman-temanmu di mana?"
Jeno mulai membenarkan letak pecinya, rambut depannya yang sedikit basah sedikit diusap ke belakang agar tidak menetes pada sajadah.
"Kebangun Ustadz, Haikal dan Reno masih wudhu."
Jeffrey hanya mengangguk pelan dan mulai berdiri dari duduknya, berniat membantu ibunya yang sedang menyiapakan sahur untuk para santri dan ustadz.
"Joanna?"
Panggil Jeffrey ketika menatap Joanna yang sedang berseder pada pilar yang terletak di depan masjid. Dia sudah memakai mukenah dan sedikit mengerjap ketika dipanggil.
"Sedang apa di sini? Kenapa tidak masuk?"
"Sedang menunggu Rumi dan Yeri. Mereka masih di kamar mandi."
Jawab Joanna dengan suara serak, karena dia masih mengantuk sekarang.
"Masuk saja, di sini banyak nyamuk."
Joanna menggeleng pelan, sesekali dia menyingkap rok gamis yang digunakan guna menggaruk punggung kakinya yang sedikit memerah akibat digigit nyamuk di sana.
Jeffrey diam saja dan kemudian memakai sendal jepitnya yang terletak tepat di depan Joanna.
Perlahan ditatapnya Joanna yang kembali memjamkan mata dan bersender pada pilar. Wajahnya putih pucat, bibirnya berwarna ungu muda dengan pinggiran yang berwarna gelap.
Joanna memang tidak secantik Rose yang bak boneka di dunia nyata. Kaki jenjang, kulit putih segar, alis menukik tajam, bibir merah muda dan pipi merona.
Tetapi entah kenapa Jeffrey tidak pernah sekalipun bergetar jika bersama Rosa. Justru dengan Joanna, gadis yang terlihat seperti anak-anak itu bisa memporak porandakan hatinya hingga kesulitan tidur setiap malam.
Langkah kaki Jeffrey terdengar menjauh, membuat Joanna mulai membuka mata dan menatap punggungnya yang mulai menjauh.
Gak mungkin aku suka Ustadz Jeffrey, kan?
Batin Joanna sembari memegangi dadanya yang tiba-tiba saja berdegup kencang.
"Pakai ini."
Joanna mendongak, menatap Jeffrey yang tiba-tiba saja sudah kembali datang sembari menyodorkan minyak kayu putih padanya.
"Terima kasih, Ustadz. Tapi saya tidak butuh."
Ucap Joanna sembari berdiri dan memasuki masjid. Meninggalkan Jeffrey yang masih mematung kecewa dan mulai menurunkan tangannya yang masih menggenggam minyak kayu putih tadi.
"Ustadz Jeffrey, sudah selesai sholat?"
Jeffrey langsung menoleh ke belakang, menatap Ustadz Jeni dan Ning Rosa yang datang bersama.
"Iya, sudah selesai. Saya permisi."
Jeni mengangguk singkat dan mulai menyikut pinggang Rosa. Berniat menggoda sahabat karibnya karena pagi sekali sudah bertemu pujaan hatinya.
"Dia suka Joanna, bukan aku."
Cicit Rosa tahu diri, mengingat sudah sejahat apa dia pada Joanna pada insiden Gus Kafi.
"Joannanya suka? Dia dari kota, kan? Biasanya anak kota seperti dia sudah punya pacar. Apalagi dia sudah lulus kuliah. Mana level dia sama Ustadz Jeffrey."
Jeni berhenti berbicara ketika menatap Joanna yang tiba-tiba sudah berada tepat di depannya dengan wajah yang sudah merah padam.
"Memangnya kenapa kalau Ustadz Jeffrey tidak kuliah Ustadzah? Saya tahu kalau latar belakang pendidikan Ustadzah pasti sangat luar biasa. Tetapi tidak seharusnya---"
"Joanna, kamu salah paham. Ustadzah tidak merendahkan Ustadz Jeffrey. Kamu tahu sendiri Rosa juga tidak kuliah. Saya hanya mencoba memberikan semangat pada Rosa agar dia tidak putus asa."
"Iya Joanna, Ustadzah Jeni tidak seperti itu."
Kali ini Rosa yang bersuara, suara Jeni terdengar bergetar karena telah membuat Joanna salah paham padanya. Belum lagi sudah ada para santri yang datang, sehingga membuat rasa malunya berlipat ganda.
Joanna bergegas memakai sendal, meninggalkan masjid dan bejalan cepat menuju kamar karena bagian rok mukenahnya tertinggal di kamar.
"Umi... Jeffrey kurang ganteng, ya?"
Ustadzah Yanti yang sedang mengaduk sayur mulai menatap ke sumber suara, pada anaknya yang tampak sedang menampakkan wajah lesu sekarang.
"Mana ada kamu gak ganteng. Kamu ganteng, di pesantren ini yang paling ganteng kamu. Kenapa? Joanna tidak suka kamu? Kamu ini harus sabar, dulu Abimu saja mengejar Umi selama dua tahun. Masa kamu baru satu minggu sudah menyerah?"
Jeffrey mulai mengangguk pelan dan membantu ibunya mengelap piring yang masih basah.
"Lebaran nanti kita silaturahmi ke rumah Joanna. Kamu tenang saja, selama ini Umi sudah ada tabungan untuk biaya pernikahanmu di masa depan."
"Umi... Jeffrey juga sudah punya tabungan. Uangnya untuk daftar haji Umi saja. Kalau misalnya Joanna minta mahar yang lebih dari kapasitas Jeffrey, nanti Jeffrey bisa mencari kerja di luar, Jeffrey tidak mau merepotkan Umi lagi."
"Umi bangga sama kamu. Jangan pikirkan itu, Nak. Soal ke tanah suci, itu adalah panggilan Tuhan. Kalau memang Umi ditakdirkan berada di sana, semuanya pasti dipermudah. Kamu tenang saja, bagi Umi kamu yang terpenting sekarang."
Joanna diam-diam menyimak pembicaraan mereka, ini karena dia berniat meminta minyak kayu putih yang tadi sempat ditolak.
Kira-kira Mama dan Papa marah tidak, ya? Kalau pulang-pulang anaknya minta dinikahkan.
Batin Joanna sembari memeluk bawahan mukenahnya, wajahnya juga sudah memerah pertanda dia sedang tersipu sekarang.
Masih seru?
See you in the next chapter ~