3. Here We GO

1K 197 55
                                    

Setelah sholat maghrib, Joanna harus ikut ikut mengaji bersama teman-temannya yang lain. Kali ini dia terpaksa harus duduk di barisan paling depan karena Yeri dan Rumi tidak berhenti menyeretnya ketika ingin undur diri.

Iya, tadi Joanna pura-pura sedang ingin buang air. Padahal dia hanya ingin melarikan diri agar tidak ikut mengaji malam ini.

Bukannya apa-apa. Joanna hanya insecure dengan yang lain karena cara mengaji mereka cantik-cantik. Berbeda dengan dirinya yang bismillahirahmanirahim saja masih remidi.

"Utadzah Jennie, saya belum siap mengaji sekarang."

Joanna langsung ditertawakan oleh santriwati yang lain. Beberapa santri putra yang juga sedang mengaji di masjid yang sama dan hanya terhalang sekat juga mulai mengintip dibalik gorden panjang yang membatasi shaf perempuan dan laki-laki.

"Kenapa?"

Tanya Jennie hati-hati.

Joanna hanya meringis pelan dan menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal karena mukenah yang dibawakan Julia memiliki banyak renda.

"Saya malu, saya belum terlalu lancar mengaji. Saya insecure setelah mendengar Yeri dan Rumi mengaji tadi."

Hening, tidak ada yang berani mengeluarkan suara lagi setelah mendengar penuturan Joanna yang jujur sekali.

"Tidak apa-apa! Kita juga belum lancar, kok!"

Pekikan Haikal membuat yang lain mengangguk cepat. Jennie juga sama, dia mulai tersenyum lebar sembari mengusap bahu Joanna pelan.

"Tidak masalah, Yeri dan Rumi juga pernah sepertimu sebelum selancar sekarang. Iya, kan?"

Yeri dan Rumi kompak mengangguk cepat, keduanya juga ikut terseyum menatap Joanna yang kini tampak menghembuskan nafas lega.

Setelah sholat isya', Joanna mulai ikut menuju aula. Tempat diadakan upacara penyambutan santriwan dan santriwati baru yang datang.

"Nama saya Joanna. Usia saya... tujuhbelastahun. Hobby makan, tidur, rebahan sambil twitteran dan baca wattpad. Cita-cita ingin menikah dengan juragan kos-kosan biar bisa rebahan tapi tetep dapet uang setiap bulan."

Seluruh orang di aula tertawa terbahak setelah mendengar sesi perkenalan Joanna. Waktu sudah menunjukkan jam setengah sepuluh, tetapi rasa kantuk yang sejak tadi menyerang mereka mendadak luntur setelah Joanna si gadis mungil berkerudung ungu itu mulai berbicara di depan podium sambil mengedipkan mata berkali-kali karena sudah mengantuk.

"Loh, kok mau turun? Belum selesai, sesi tanya jawabnya belum dimulai."

Kali ini Ustadz Dimas yang bersuara, Ustadz yang terkenal sangat killer di sana.

"Loh, tadi yang lain gak ada sesi tanya jawab!"

Protesan Joanna mengundang gelak tawa para semua orang karena dia lupa kalau microfon yang dipegangnya masih didekatkan dengan mulutnya.

"Beda, karena kamu yang terakhir. Jadi kamu harus lebih lama berdiri di sini. Benar, kan?"

"IYAAAAA!"

Joanna menatap teman-temannya horror sekarang. Apalagi Yeri dan Rumi juga ikut-ikutan menyoraki dirinya.

"Saya ingin bertanya Ustadz!"

"Iya, Haikal. Silahkan!"

"Joanna, mau ikut main maling-malingan, gak? Besok setelah jadwal sholat dhuha di depan aula."

"GAK!"

Haikal berakhir mendapat sorakan santriwan dan santriwati di aula. Hingga membuat yang lainnya enggan untuk bertanya karena takut mendapat jawaban mengecewakan seperti Haikal.

Sekedar informasi, santriwan dan santriwati di sini tidak terlalu banyak. Kurang lebih hanya 50 orang karena pesantren ini membatasi pendaftaran setiap periode.

"Joanna, itu kalau pakai kerudung yang benar. Rambutnya masih keluar-keluar."

Joanna yang sedang mencari sendal di depan auls tampak menatap kesal Jeffrey yang tiba-tiba saja datang dan menceramahi dirinya.

Karena tidak mau banyak berdebat, Joanna mulai memasukkan empat jarinya di celah kerudung dan kepala guna memasukkan rambutnya.

"Ini, sebagai ucapan permintaan maafku. Maaf karena sudah meleparmu dengan bola basket tadi."

Joanna melirik kinder joy yang baru saja dikeluarkan Jeffrey dari saku baju koko-nya saat ini.

"Makasih Ustadz! Tapi aku lebih suka silverqueen!"

Jeffrey menggeleng pelan sembari tersenyum senang setelah Joanna menerima kinder joy dan langsung berlari mengejar Yeri dan Rumi yang sudah berjalan mendahului dirinya.

"Awas! Nanti kamu dikatai pedophil! Ingat usia! Kamu sudah 24 tahun, Jeff! Anak itu masih 17 tahun! Kalian beda 7 tahun."

Ejek Dimas yang sejak tadi mengamati Jeffrey, karena selama ini Jeffrey tidak pernah sedekat ini pada santriwati yang lain. Boro-boro berani mengajak berbicara dan memberikan kinder joy seperti tadi. Berbicara dengan lawan jenis saja dia selalu menunduk dan tidak berani mendongak karena takut zina mata nanti.

"Gak lah! Mana ada aku suka anak itu! Aku cuman kasihan saja. Tadi orang tuanya pulang waktu dia masih pingsan gara-gara aku."

"Kasihan apa kasihan?"

Goda Johnny sembari mengunci aula menggunakan gembok besar berwarna kuning.

"Dia lucu, ya? Kayaknya dia ini tipe-tipe Haikal versi perempuan. Gak ada takutnya dan blak-blakan kalau berbicara. Aku jadi suka."

Kedua mata Jeffrey langsung membola. Pasalnya Johnny ini lebih tua tiga tahun darinya. Tentu dia jauh lebih tidak cocok jika bersanding dengan Joanna.

Sepuluh tahun, serius. Jeffrey tidak rela kalau anak perempuan yang baru saja diberi kinder joy tadi menikah dengan bujang lapuk seperti Johnny, teman karibnya.

See you in the next chapter ~

PESANTREN KILATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang