[DISARANKAN SAMBIL MENDENGARKAN I'M HERE FOR YOU-X1]
[Name] berjalan menuju bangsalnya dalam diam. Kadang ada nenek atau kakek yang tersenyum saat berpas-pasan dengannya. Kenapa, ada saja orang yang tetap tersenyum walau dalam keadaan yang tidak menguntungkan?
[Name] memandang langit-langit koridor rumah sakit. Dia sedikit muak dengan tempat ini, tidak dia memang sudah muak. Puas mengalihkan pandangannya ke langit-langit, ia menundukkan kepalanya.
Pikirannya mengilas balik kejadian saat pertama kali masuk sekolah. Waktu itu ada yang sempat bilang, "terlahir dikeluarga Akashi itu sepertinya memyenangkan, jangan lupakan juga soal bagaimana masa depannya sepertinya cerah sekali!". Tidak, bukan itu yang terjadi, batin [Name].
Kehilangan ibu diusia belia, ditekan menjadi sempurna, gagal, frustasi, akhirnya kau divonis penyakit langka, apa itu semua menyenangkan?
Ia menekan kenop dan membuka pintunya. "Sudah kembali, sini istirahatlah," sambut Seijuro. [Name] melangkah pelan menuju ranjangnya. Tampak Seijuro yang tengah mengupas kulit apel untuk [Name]. Perempuan itu mengambil botol air mineral dan meneguknya.
"Makan ini," ucap Seijuro sambil menyodorkan piring berisi apel yang sudah dipotong kecil. Tangan mungil [Name] mengambil dua potong lalu dimasukkan kedalam mulutnya.
"Kau sudah puas jalan-jalannya?" tanya Seijuro. Matanya menyipit, melihat kantung yang dibawa oleh [Name]. Ia mengangguk, kembali mengambil potongan apel lainnya. "Beli itu?" [Name] mengangguk lagi sebagai responnya. Deru AC mengisi keheningan diantara mereka.
Tangan Seijuro mengelus puncak kepala sang adik, menyelipkan rambut ke telinga [Name]. "Aku akan kembali menjenggukmu besok, kalau ku tinggal sekarang kau tidak apa-apa 'kan?"
"Iya, tidak apa, hati-hati dijalan nii-chan."
[ESOK HARI]
Siang terik itu tidak menghalangi niat Kei untuk menjengguk [Name]. Angin berhembus lumayan kencang. Laki-laki itu melepas kacamatanya, mengelapnya dengan lengan jaketnya. Sampai di lobby rumah sakit, ia melihat Seijuro yang tampaknya sedang mengurus sesuatu. Apa yang sedang ia urus?
Ia melangkah lagi menuju bangsal [Name]. Semuanya tampak normal-normal saja. Tidak ada yang aneh. "Kei-kun, sini duduk dulu," sahut [Name]. Tangan Kei menarik kursi lipatnya sedikit menjauhi tempat asalnya.
"Hari ini aku tidak bawa botol air mineral atau minuman kemasan lainnya, juga makanan, maaf padahal kau haus ya," ucapnya. Kei menggeleng. "Aku datang untuk menjengukmu bukan malak makanan dari orang sakit."
"Kei-kun ingat saat Natal, waktu itu aku memberi surat padamu 'kan?"
"Iya, memangnya ada apa?"
"Kau boleh membukanya besok, setelah menjengukku."
Kei mengangguk paham. Setidaknya dia bisa tahu apa yang ingin disampaikan oleh [Name] dengan surat itu. "Hidup rasanya seperti piano, hitam melambangkan kesedihan kalau putih sebaliknya berarti kesenangan, permainan piano bisa terngiang-ngiang oleh pemdengarnya dengan itu anggap saja lagu adalah hidup seseorang, nada adalah apa yang dirasakannya selama ia hidup. Lalu agar kematiannya dikenang, maka ia harus menjalani kehidupan dengan harmonis, seimbang antara kesedihan dan kesenangan. Buat hidupmu dikenang banyak orang," gumam [Name].
"[Name], kau cukup tidur? Ku lihat kantung matamu itu memburuk," ujar Kei membuyarkan lamunan [Name]. "Cukup tidur kok, soal kantung mataku rasanya memang dari dulu begini deh," balasnya. "Lalu apa yang kau gumamkan tadi, cebol ini makin aneh lama-lama." [Name] malu setengah mati kalau Kei mendengar jelas apa yang tadi ia gumamkan. "Chotto, Kei-kun bukannya kita sudah sepakat kalau manggilnya pake nama kecil aja?" Kei menganggkat bahunya. "Entahlah, memangnya kita pernah sepakat soal begituan, mana kuingat."
Suasana menjadi hening ketika [Name] tidak membalas perkataan Kei tadi. "Rasanya aku ingat soal pertemuan pertama kita di festival," ucap [Name] memecah keheningan. "Kau terlalu sering bergaul dengan Raja dan Si Cebol itu, kapasita otakmu juga malah ikut-ikutan turun. Selama ini kau kemana saja baru ingat hal itu, Nona Muda?" keluh Kei. Bibir [Name] mengerucut sebal.
"Kalau tidak salah, waktu itu saat aku kelas 2 SMP, kau juga kelas 2 sama sepertiku. Disana juga pertama kali bertemu dengan Tanaka itu alasan aku dekat dengan Tanaka-senpai, disaat kembang api sepertinya aku melihatmu bersama kakakmu, cukup sampai disitu aku mengingatnya," jelas [Name]. "Musim panas kali ini rasanya mustahil mewujudkan janjiku, argh! Maafkan aku!" Kei menggeleng.
Dia menghela nafas sejenak. "Janji itu bisa kita tunda sampai kau pulih sepenuhnya, aku akan menunggunya. Ngomong-ngomong kenapa malah ngebahas beginian disaat seperti ini?" [Name] memainkan jarinya. "Kurasa ini waktu yang tepat dan pas kalau aku membahas itu semua," jawabnya. Jam menunjukkan pukul 4.30 sore.
[Name] melirik jendela di bangsalnya, langit khas sore dimusim semi bisa dilihat dengan jelas. Seijuro masuk ke dalam bangsal, dan mendapati sosok Kei dan [Name] yang tengah berdiam. "Oh, kau datang menjenguk lagi, sekarang kau pulanglah hari sudah sore." Kei mengangguk, lalu pergi keluar bangsal. "Aku juga pulang dulu, ada yang mesti kuurus disana," katanya lalu mengelus kepala [Name] dengan lembut.
Begitu Seijuro dan Kei keluar, [Name] menyenderkan punggungnya lalu memejamkan matanya. Sore itu rasanya damai sekali. Angin halus yang dihasilkan AC ditempat itu begitu menenangkan. Tapi disisi lain, [Name] merasa kesepian dan merasa lega diwaktu yang bersamaan itu.
✳
•
✳
KAMU SEDANG MEMBACA
My Melody [Tsukishima Kei X Reader]
FanfictionAkashi [Name] dan Tsukishima Kei membuat janji saat musim panas. "Aku janji!" Kisah [Name] dan Tsukishima Kei diiringin oleh alunan lagu yang lembut. Meski demikian, apa [Name] bisa menepati janjinya?