TPS 17❤️❤️❤️
Dua minggu sebelumnya.
Ayudia kerap menerima pesan dari nomor asing. Yang hanya mengirimkan sebuah alamat dan foto sebuah tempat. Awalnya ia anggap hanya orang iseng, namun lama kelamaan membuatnya penasaran juga.
Akhirnya dengan ditemani Rio dan sang sopir-Pak Supri, Ayudia awalnya hanya berniat mendatangi alamat yang dikirimkan padanya. Ia hanya mengamati dari jauh. Tak ada apa-apa seperti kecurigaannya. Hanya sebuah perkampungan padat dengan segala aktivitasnya. Tak ada yang istimewa.
Semuanya menjadi sedikit menarik dengan kehadiran pria bermotor secara tiba-tiba. Yang kedatangannya sepertinya selalu ditunggu masyarakat sekitar. Buktinya, ketika motor itu berhenti, anak-anak kecil yang awalnya bermain sendiri itu menghambur ke arahnya saling berebut perhatian. Bahkan ibu-ibu yang awalnya di dalam rumah entah tengah memasak atau sekedar menonton acara talkshow pagi ikut keluar rumah demi menyambut sosok pria bermotor.
Hari kedua, di tempat yang berbeda. Juga akan terlihat hal serupa. Pria bermotor, sendirian, tanpa pengawalan. Ia hadir di sana seolah mengukuhkan sebagai pribadinya yang sesungguhnya, bukan seseorang yang mempunyai kepentingan atas mereka.
Pria itu tak risih ketika beberapa anak bergelayut manja padanya. Menggendongnya, mencium pipinya. Mendengar celoteh dengan sabar, sesekali tergelak ketika mendengar sebuah lelucon atau godaan dari para ibu-ibu yang juga mengerumuninya. Senyum itu benar-benar Ayudia lihat sebagai senyum penuh ketulusan. Bukan senyum dan hubungan instan yang dibangun karena memanfaatkan situasi.
Tak selang berapa menit, sebuah pick up yang mengangkut aneka kebutuhan pokok berhenti di depannya. Lelaki itu berjalan ke arah pick up dengan beberapa balita dalam gendongannya. Diikuti oleh para ibu yang tersenyum dengan penuh binar. Hal yang selalu ia lakukan setiap harinya, membagi sembako, bercengkrama dengan masyarakat dari kampung ke kampung, tanpa sorotan media, tanpa upload media sosial. Semuanya dilakukan dengan diam-diam seolah ia tak butuh penghargaan atas dirinya yang seharusnya bisa dilakukan untuk saat ini. Mengingat perhelatan yang ia ikuti.
Cekrek ... Cekrek
"Kamu ambil foto dia, Yo?"
Rio mengangguk, "Epic banget, mbak! Nggak ada calon pemimpin setulus dia. Bergerak tanpa mengumbar kebaikannya pada media."
Ayudia menyetujui kalimat Rio.
"Menurut kamu, dia gimana sih, Yo. Dari kaca mata sesama pria."
"Gentleman, humble, humanity nya keren banget. Jarang orang punya empati besar kayak dia, Mbak. Dia bahkan bisa menyiarkan semua aktivitas dia di seluruh media. But, you see that! Dia lebih menikmati kesendirian dengan memandang senyum mereka. Apa itu namanya kalau bukan The Hero inside that man?"
"Gitu, ya, Yo?" Ayudia sebenarnya juga memiliki pemikiran yang sama. Namun ia takut tak objektif, mengingat masa lalu yang masih saja menghantuinya.
"Lo, mau maju, Mbak?"
"Eh-oh, apaan, Yo?"
"Lo, tertarik sama dia? Gue dukung, Mbak! Dari pada sama bajingan pilihan bokap, Lo!"
"Eh-eh, nggak gitu, Yo. Cuma penasaran aja!"
"Penasaran, Lo, levelnya udah masuk tahap admirer mbak. Nggak usah nyangkal. Gue, sama Lo hampir 24/7 bersama."
"Ck! Bukan gitu!"
"Ada hubungan apa sih, Mbak, di masa lalu?"
Ayudia menggeleng, melempar pandangannya ke arah jendela mobil, yang menampilkan sosok Mahesa berbaur dengan para masyarakat perkampungan. Seperti bukan Mahesa yang ia temui beberapa waktu lalu. Tapi seperti seorang Mahesa di masa lalu. Yang selalu suka memakai kaos futsal karena salah satu kegemarannya saat itu. Celana chinos coklat, dan topi baseball yang dipake secara terbalik. This is Mahesa versi the past.