❤️❤️❤️
“Mas, mau dibookingin di mana?” Nana memecah konsentrasi Mahesa yang sedang membaca berkas-berkas MoU.
“Untuk?” Mahesa masih fokus pada lembaran kertas di pangkuannya.
“Reuni, Mas.”
Mahesa mendongak, melihat sekilas ke arah Nana.
“Nggak disediain tempat? Biasanya panitia nyewa vila, kan?”“Iya, sih. Sekalian tempat acara. Nggak apa-apa?”
Mahesa berdecak, “Ya, nggak apa-apa. Kenapa, memangnya?”
“Takutnya, Mas, nggak nyaman. Pasti rame, kan?”
Mahesa menggeleng, kemudian tersenyum kecil.
“Yang penting sekamar nggak campur, kan?”
“Kata panitianya, sih. Enggak. Kalau mau satu kamar sendirian, bisa. Nanti konfirmasi ke pjnya, tinggal nambah biaya.”
Mahesa mengangguk, “Atur aja. Aku sekalian minta nomor kontak Adib, ya. Ketua panitianya.”
“Okey, yang kata Mas Mahes temen sekelas itu?”
“Iya.”
“Aku perlu ikut, nggak?”
“Nggak!” jawab Mahesa cepat. Membuat Nana mengernyit curiga.
“Kok, aku curiga, ya! Mas, Mahes ada mantan, ya?”
Mahesa mengangkat kedua alisnya. “Memang kenapa?”
“Mas, nggak ada niat selingkuh, kan?”
Mahesa tergelak, “Apa, sih, kamu. Nggak penting banget!”
“Penting, Mas. Banyak hubungan yang rusak karena reuni. CLBK sama mantan. Apalagi kalau lihat mantan tambah bening. Bahkan yang sudah dalam ikatan pernikahan. Apalagi, kita? Hubungan yang dibangun atas dasar rasa tanggung jawab, rapuh banget!”
Mahesa hanya menggeleng samar merespons kalimat protes penuh kecurigaan milik Nana.
“Aku nggak CLBK.”
“Belum!”
“Sok tau, kamu!”
“Firasat, Mas!”
Mahesa bangkit dari kursinya, memukul kepala Nana dengan lembaran kertas yang di bacanya.
“Fokus pemenangan. Banyakin ide untuk menarik para pemilih. Nggak usah bahas yang nggak penting.”
“Tapi, Mas ...?”
Mahesa mengangkat telapak tangannya, tak ingin membahas lagi. Ia kemudian mengembalikan fokusnya pada lembaran-lembaran kesepakan yang membuatnya semakin pusing.
Nana mendengus kesal, namun setelahnya ia membuka agendanya yang berisi jadwal Mahesa.
“Bulan depan mulai padet, ya, Mas. Banyak undangan on air dan off air. Seminar, dosen tamu, sama Bhakti sosial.”
“Kalau bisa jadwalnya pagi sampai sore aja. Malam di usahain, free.”
“Okey, Mas!”
“Ah, iya. Satu lagi. Petinggi Partai Garuda, Rama Pradipta mengundang, Mas, ke rumahnya.”
Mahesa menarik satu alisnya ke atas. “Ke rumahnya? Kenapa nggak ke kantor kita atau ke Kantor DPP nya?”
Nana mengedik, “Rama Pradipta memang tak bisa di tebak.”
“Alfian tahu?”
“Tahu.”
“Hasil temuannya?”