TPS 22
❤️❤️❤️Mahesa mendengus kesal, belum juga ia selesai bicara. Ayudia keluar begitu saja, sikap terburu-burunya benar-benar mendarah daging.
Brak ...
Mahesa tersentak dari tempatnya, ia bergegas keluar mobil, menuju ke arah Ayudia yang berteriak kesakitan. Tenggorakannya tercekat, hanya sepenggal nama yang bisa ia ucapkan. Jantungnya terasa teremas, meski hanya sebuah kecelakaan kecil, sebab kecerobohan Ayudia sendiri. Inginnya merengkuh, namun yang ada malah bergeming dengan tangan terkepal.
Motor yang menyerempet Ayudia telah menghilang di balik kelokan. Meski tak butuh tanggung jawab, seharusnya sedikit kepedulian yang pengemudi itu lakukan. Harusnya memang pendidikan moral di negara ini di utamakan, mengingat banyaknya pemuda yang mulai meninggalkan adab dan sopan santun. Ia akan membuat sebuah kurikulum baru berkenaan dengan pendidikan tata krama masyarakatnya, nanti. Stop! Mikir negara lanjutin entar, Sa. Sekarang tolongin itu si Ayu. Dia masih duduk di tepi trotoar depan pintu masuk Rumah sakit.
“Sakit?” ucapnya pertama kali ketika sampai di hadapan Ayudia.
“Namanya jatuh, ya sakit,” sungutnya sembari mengibaskan gamisnya, berusaha berdiri kembali.
“Makanya kalau orang ngomong dengerin, dulu! Nggak main kabur gitu aja.”
Ayudia memutar bola matanya jengah. Bisa cerewet juga makhluk satu ini.
“Mereka nggak ada luka yang serius. Hanya luka kecil,” jelasnya menahan kesal.
Ayudia hanya melirik sekilas, kemudian meninggalkan Mahesa masuk ke dalam lobby rumah sakit dengan langkah lebar-lebar. Dia kira luka kecil bukan luka? Nggak bikin cemas? Cuma orang mati aja yang boleh ditangisi. Rutuk Ayudia, dalam suasana hiruk pikuk rumah sakit.
“Mbak!” Ayudia menghentikan langkahnya, menoleh ke asal suara yang memanggil namanya.
Di sana di depan pintu ruangan IGD tampak Rio baru bangkit dari duduknya dengan beberapa perban di lengannya.
“Yo!” Ayudia bergegas menghampiri Rio dengan raut khawatir. “Ya Allah, Yo, maafin aku, ya. Udah buat kaliyan kayak gini.” Tangisnya pecah, ketika sampai di hadapan Rio, bahkan tak peduli lagi dengan adanya Mahesa yang menguntit di belakangnya.
“Mbak, nggak apa-apa, ini. Cuma lecet doang. Nggak ada yang serius!” Rio mencoba menenangkan.
“Tapi, ini gara-gara aku, Yo.”
Rio bingung, ketika akan maju menenangkan Ayudia, tatapan menghunus tajam tepat di belakang Ayudia itu seolah mengancamnya. Yang akhirnya membuat Rio mengurungkan niatnya, ia hanya mengusap tengkuknya sembari menatap wajah sang Boss prihatin.
“Wulan sama Pak Supri mana?” tanya Ayudia yang berusaha meredakan isaknya.
Rio menunjuk ke dalam ruangan IGD.
Tanpa aba-aba lagi, Ayudia menyerobot ke dalam ruangan. Di dalam sana, netranya langsung tertuju pada Wulan yang masih berbaring di atas ranjang.
“Lan, gimana?”
Wulan mengerjap, memandang sekilas ke arah Ayudia, namun selanjutnya fokus pada sosok di belakang Ayudia.
“Wulan mau tiap hari kecelakaan, kalau kayak gini, Mbak!” senyumnya terkembang.
Ayudia mengernyit, mendengar omongan ngelantur Wulan. Namun sejurus kemudian ia mengikuti arah pandangan Wulan. Setelah sekilas bertemu mata, Ayudia mengangguk paham.
“Ya udah, nginep di sini aja selamanya.”
Wulan yang masih menatap sosok Mahesa mengangguk menyetujui perkataan Ayudia. Ayudia terperangah, memandang Wulan dengan sinis.