❤️❤️❤️
“Hai, Beb! Ya, ampuuun, kangen banget!” teriak Dena yang baru saja melihat keberadaan Ayudia.
“Assalamualaikum,” sambut Ayudia membuat Dena meringis malu.
“Waalaikumsalam, Bu ustazah.”
Ayudia tergelak, menyambut pelukan sahabatnya yang sudah lama tak ditemuinya ini.
“Jakarta aman, buk? Bang Echa gimana?”
Ayudia berdecak, “Nggak usai mulai, deh!”
Dena terkekeh pelan, lengannya merangkul sang sahabat semasa SMA.
“Doi jadi maju, di Pilkada taun depan?”
Ayudia mengedikkan bahu, “Urusan dia.”
“Yeeyy, emang Partai bapak Lo, nggak dukung dia?” Dena membalas dengan cibiran.
“I don’t care.”
Dena tiba-tiba merasa bersalah, ketika melihat raut muka Ayudia yang berubah sendu. Ia ingin mengalihkan pembicaraan, tetapi dering ponsel Ayu terlebih dulu berbunyi.
“Ya, Mas?” ujar Ayudia setelah memberi salam pada sang penelpon, meski tak jarang ia mendapat pengabaian, salamnya tak dijawab.
“...”
“Harus sekarang?”
“...”
“Baik, Insya Allah, bisa. Tapi maaf, kalau berdua, saya nggak bisa.”
“...”
“Baik, saya ke sana sekarang. Assalamualaikum ....”
Tuuut ... Tuuut
Salam Ayudia dijawab oleh nada putus dari sambungan telpon. Membuat Ayudia hanya mampu menelan ludah.
“Yudiiii ... Gogo Frank, Yud!” pekik Dena, membuat hati Ayudia yang semula mendung kembali cerah. Dena seperti seorang anak kecil yang menemukan makanan favoritnya. Bahkan ia sudah berlari kecil menuju booth sosis Gogo Frank.
“Yudi, Lo, mau yang apa? Mega cup kayak gue, ya?” Dena kembali menghadap ke arah penjual sosis di depannya, “Mas, banyakin yang cheese sama black peper, ya!” Matanya berbinar, benar-benar seperti seorang yang baru menemukan hal yang sangat berharga.
“Beef eleven aja, aku, Den. Aku nggak serakus kamu.”
Ayudia memilih duduk di sebelah booth sembari menunggu Dena yang sibuk memilih varian rasanya.
“Den, ikut aku ketemu Mas Doni, ya!” ujarnya setengah merajuk.
“Ck, males banget jadi obat nyamuk.” Dena menyuap satu sosis ke dalam mulutnya.
“Apaan, coba. Enggaklah. Harus ada temen, malahan.”
“Lo, masih kalah sama bapak Lo. Yu?” tuduhnya.
“Bukan kalah menang, Den. Sudah seharusnya seorang anak membahagiakan orang tuanya, anggep aja ini salah satu bentuk birrul walidain, baktiku sama papa.”
“You make everything difficult, Yu! I know, Doni, not your true love!”
“Menikah nggak harus dengan cinta sejati kita, Den.”
“It must, Yu!”
“No, Tidak semua orang yang beruntung bisa menikahi cinta sejatinya. Tetapi ...,” ucapan Ayudia terhenti. Ada rasa yang coba ia tekan dalam-dalam.
“But ...?” ulang Dena, mencari jawaban.
“Tetapi, hanya orang beruntung yang memilih menjadikan orang yang dinikahi sebagai cinta sejatinya. Aku harap, aku dan Mas Doni bisa seperti itu.”
Uhuuuuk ...
Dena menepuk-nepuk dadanya keras. Terbatuk karena tersedak potongan sosis yang besar. Bahkan matanya sampai mengeluarkan air mata.
“Cinderella banget sikap, Lo, Yu. Gue nggak nyangka, perubahan penampilan, Lo, bikin otak dan hati Lo juga berubah. Ugh, Cinta ... deritanya tiada akhir.”
Ayudia bergelayut pada lengan Dena. Menuju ke arah mobil yang sudah menjemputnya.
“Semuanya bertahap, nggak instan juga. Dengan perubahanku seperti ini, rasanya kayak ada kontrol diri yang otomatis jadi pengingat.”
“Contohnya?”
“Kalau mau bikin dosa, atau hal-hal yang nggak sesuai syariat, malu sama jilbab.”
“Ck, makanya, aku juga nggak mau pake jilbab karena itu! Biar aja hati gue yang gue hijabin dulu. Daripada entar pake jilbab, kelakuan gue masih minus!”
Keduanya masuk ke dalam mobil. Namun pembicaraannya masih berlangsung.
“Hijab sama kelakuan atau akhlak itu dua hal yang berbeda, Den. Dulu aku mikir nya juga persis kayak kamu. Ngapain sih, gue pake jilbab, kalau kelakuan gue aja, kadang bikin malu.”
“Tuh, kan. Berarti aku bener,” ucapnya bangga, sembari tak henti mengunyah sosisnya.
“Enggak, ternyata itu pikiran yang salah. Hijab dan akhlak itu dua hal yang berbeda. Jilbab itu kewajiban, yang nggak bisa kita tawar, urusan kita langsung sama Allah. Tapi akhlak, itu pilihan kita. Ibarat kita sekolah, kita wajib bayar SPP, namun sekolah nggak jamin kan, pada pinter semua, atau pada masuk universitas terbaik semua? Itu tergantung kerja keras kita menuju ke arah sana. Begitu juga dengan akhlak. Tergantung seberapa keras kita mau memperbaiki diri.”
Dena mengerjap, mulutnya terbuka dengan pandangan penuh kekaguman ke arah Ayudia. Bahkan mengalahkan pesona sosis dalam cupnya yang masih tersisa separuhnya.
“Yu, Lo, makan apa, sih? Kok jadi bijaksana, gini? Lo, minum air yang dicampur abu nya Al-Qur’an, ya? Kata emak gue, gitu. Kalau mau pinter agama atau ngaji, bakar Al Qur’an terus abunya dikasih air, diminum.”
Ayudia meledakkan tawanya, pikiran Dena masih aja percaya dengan hal absurd sepeti itu. “Ngapain Al-Qur’an dibakar. Al-Qur’an ya dibaca, dipahami maknanya, diamalkan.”
“Yu, Lo, hebat! Gue nggak pernah muji orang kalau Lo tahu. Baru Lo doang yang gue puji.”
Ayudia mengangguk, “Aku tahu kalau aku hebat!” jawabnya dengan percaya diri, sengaja menggoda Dena, membuat Dena menahan umpatannya.
Dena sent photo (Foto Dena dan Ayudia)
Gue baru dapat siraman rohani dari Ustaz Yudi.
Silvi
Basah dong🤣
Trias
Awakmu ra tau ados (kamu nggak pernah mandi), Den. Nek aku yo wis tak grujuk awakmu, Den. (Kalau sama aku sudah tak siram, kamu, Den)
Silvi
Yas, biasa aja nggak usah esmoni.
Dena
Bangke kaliyan, eh Astagfirullah 😔
Silvi
Den, ada yang mbajak hp Lo? Kok bisa istighfar.
Ayudia
🤣🤣, Didukung lah.
Silvi
Sekeren apa siraman rohani ustaz Yudi, Sampek bisa ngajarin Lo, istighfar.
Trias
Ojo dirungokno Silvi kuwi, Den. Untung awakmu ketemu Ayudia dhisik, yen ketemu malaikat izroil dhisik, ambyar Den.
(Jangan didengerin Silvi itu, Den. Untung kamu ketemu Ayudia duluan, kalau ketemu malaikat izroil duluan, ambyar, Den).
Silvi
Yas, server Lo,udah dibenerin, ya? Tumben?
Trias
@Silvi Demit😈
Dena
Ya Allah, Astagfirullah, Masya Allah, Innalilahi ...
Silvi
Maruuk Lo, Den. Istirja, dikeluarin juga. Nggak sekalian bacaan tahlil?
Dena
Belum saatnya.
Ayudia
Sil, unfollow aja akunnya Lamtur. Lama-lama kamu mirip kayak adminnya.
Silvi
🤣🤣 Terus, gue bikin akun saingan? Khusus gibahin elo, ya, Yud. Biar tambah pemes!
Trias
Lamtur karo pemes iku opo? (Lamtur sama pemes itu apa?)
Dena
Lamtur itu semacam elastis, Yas.
Kalau pemes, Lo pasti tau, kan. Yang biasanya buat ngraut pensil.
Silvi
Lentur itu dodol, O-M-G, sesat Lo, Den.
Ayudia
Ngakak so hard.
Sabar, ya , Yas.
Silvi
Mimpi apa semalam, Yas?
Trias
Mimpi basah
Silvi
Uassssseeem
Dena
Kapokmu kapan. 🤣🤣
Ayudia
🙈🙈
“Tega banget, sih, sama Trias.” Ayudia yang masih tergelak, melancarkan protesnya.
“It’s fun, Yu. Trias nggak bakal sakit hati.”
Ayudia mengangguk menyetujui, “Iya, sih. Dia keibuan banget, nganyomi sama kita bertiga.”
“That's right. Buktinya juga udah ada. Dia sudah beranak duluan daripada kita.”
“Astagfirullah, beranak, Den!” keduanya tergelak, pembicaraan mengenai masa-masa sekolah memang takkan pernah ada habisnya. Selalu memiliki kesan tersendiri.
“Masih jauh nggak, sih, Yud?” tanya Dena pada Ayudia. Ketika mobil yang mereka naiki berhenti saat lampu merah menyala.
“Enggak, kok, 20 menitan lah, paling cepet.” Ayudia melihat jam tangan yang melingkar pada lengannya.
Dena tiba-tiba menepuk-nepuk lengannya panik, “Yud-Yud-Yud! Itu Echa, kan?” Dena menunjuk ke arah baliho besar yang ada di pinggir jalan.
Ayudia hanya mengangguk, kemudian menunjuk ke arah yang berlawanan. “Itu, itu, dan juga itu, semuanya foto Mahesa.”
Dena melebarkan matanya, bola matanya seakan ingin lepas dari tempatnya. “Gila! Lo, nggak ngerasa dia sedang ngejek kamu, Yud?”
“Gila! Mana Ada!” Ayudia menahan semburan tawanya.
“Dia kayak sengaja gitu, ngelilingi kamu dengan fotonya. Mau bikin kamu nyesel, kali!”
“Please, deh, Den. Stop berhalusinasi. Kalau dia nggak maju jadi walikota, baru mikir gitu!”
“Duh, tapi lihat Mahesa sekarang yang kayak, gitu! Lo nggak ada pikiran nyesel, gitu, Yud?”
Ayudia menggeleng, “Malah aku nyesel, kalau misalnya aku tetep nggak berubah.”
“Hati, Lo? Yakin sama Doni?”
Ayudia kembali mengedikkan bahunya. “Kita serahkan saja sama Allah. Selama aku nggak putus berdoa dan memperbaiki diri, Insya Allah, Allah nggak akan mengkhianati kita. Dia akan memilihkan pasangan terbaik versiNya untuk kita.”
Dena menahan napasnya, ada rasa haru yang tiba-tiba menyeruak ingin dilepaskan. Matanya memanas, dengan serta merta ia memeluk Ayudia dengan erat. Karena Dena tahu dan sangat mengenal Ayudia. Bagaimana kehidupan yang dilaluinya, sehingga mencapai tahap seperti saat ini. Air mata bahagia dan lega itu bersatu dengan rasa syukurnya atas perubahan Ayudia ke arah yang benar. Karena bagi Ayudia, ia bisa saja memilih jalan yang berkubang noda, yang bahkan lebih dekat dengan Ayudia di masa lalu.❤️❤️❤️
Assalamualaikum ...
Mumpung emak rajin, up Ampe 2 kali.
Yang udah baca dimari wajib ramein FB juga yakk
Calangeo ❤️