❤️❤️❤️
Mahesa menerima alat pemukul perkusi dari panitia penyelenggara FIM yang dibagikan kepada para tamu pengisi acara. Ia yang disambut langsung oleh sang Dubes (Duta Besar) Awaludin Wahid, dititahkan untuk menjadi salah satu perwakilan dari Indonesia, untuk melakukan opening ceremonial dengan memukul perkusi dihadapannya secara bersamaan dengan para pejabat lainnya. Bahkan ia sudah berdiri sejajar dengan para menteri kebudayaan dan pariwisata baik dari Indonesia maupun Rusia. Keberadaan Mahesa sudah diperhitungkan oleh jajaran pejabat tinggi negara. Dan hal itu semakin memuluskan langkah Mahesa untuk mendapat dukungan.
“Mahesa Bagaskara, anak muda yang visioner!” Dubes RI untuk Rusia itu menyalami Mahesa, sembari menepuk bahunya dengan tangan yang lain. “Suatu kehormatan, bagi Indonesia memiliki anak muda seperti anda.”
Mahesa hanya membalas dengan senyuman hangat, sebagai attitude seorang politikus yang beradab. “Terimakasih atas pujiannya, Pak. Saya tak sehebat itu. Mohon bimbingan bapak,” ujarnya dengan tingkat kesopanan yang tinggi.
Awaludin Wahid—sang Dubes— pun, ikut tergelak. “Oh, anak muda yang sangat rendah hati. Saya suka!” pujinya pada Mahesa.
“Apa yang harus saya sombongkan. Saya memang sedang belajar di dunia yang berbeda. Saya harus belajar banyak pada Anda, Pak!”
Awaludin Wahid menggerakkan telunjuknya ke arah Mahesa. “Anda, benar-benar pintar mengambil hati orang tua seperti saya, Mahesa.”
Mahesa tak melunturkan senyum sedari tadi. Ketika tubuhnya digiring oleh Awaludin Wahid, ia mengikuti dengan santun. Awaludin Wahid bahkan mengenalkannya kepada orang-orang yang berpengaruh untuk karier politiknya. Ia harus berterima kasih, pada pelajaran tata krama yang dulu ibunya ajarkan. Meski baru beberapa tahun ini terpakai lagi. Yang bahkan akan menambah point plus terhadap pribadinya.
“Saya akan memberikan dukungan penuh pada, Anda. Saya juga salah satu pembina Partai Kembang Berduri. You know, konstituen kami tak bisa dianggap remeh. Saya akan bicarakan dengan pengurus partai. Anak muda yang tahu balas budi sepeti kamu tak boleh dilepaskan.”
Mahesa mengangguk, “Terima kasih, Pak Wahid. Saya akan menerima dengan tangan terbuka. Asal sesuai dengan visi misi saya, kita bisa jalan bareng.”
Awaludin Wahid terkekeh pelan, “Ini dia, pemuda dengan idealisme yang kuat. Yang jarang saya temui pada diri anak muda sekarang.” Awaludin menyesap kopinya.
“Kita harus sering meluangkan waktu untuk diskusi. Saya suka gaya anda. Saya yakin, kalau karakter anda masih sekuat ini setelah menjadi Walikota nanti. Maka anda layak menjadi pemimpin Indonesia yang sesungguhnya.”
Mahesa yang tersenyum kecil, hanya mampu mengangguk lemah. Terlalu tinggi untuk bermimpi menjadi pemimpin negeri ini. Ia hanya akan melangkah sampai jenjang Walikota, selebihnya ia tak peduli. Setelah semuanya selesai, ia akan hidup tenang dengan caranya sendiri.
[Mas, ada undangan reuni SMA via email. Mau datang?]
Ia membuka pesannya sejenak.
[Kapan?]
[1 Minggu lagi. Kalau datang, biar aku taruh di jadwal.]
[Di mana?]
[Batu, Malang]
Tanpa berpikir panjang Mahesa pun mengiyakan.
[Jadwal aja!]
Mahesa pikir, tak ada salahnya untuk kembali. Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat.
❤️❤️❤️
“Mbak, kita ada jadwal give away sama live FB. Jadinya mau di mana? Cafe atau kamar aja?”