4.

275 39 5
                                    

TPS 4

❤️❤️❤️

“Malem! Welcome back, Mas,” sambutan mesra dari seorang wanita berambut sepunggung itu ditujukan untuk Mahesa. Ia merentangkan kedua tangannya agar di sambut Mahesa sebagai bentuk kerinduan.

“Na, jangan! Kita belum halal!” Mahesa menghindar, ia kembali berjalan di sisi Nana yang cemberut menahan kesal.

“Makanya, halalin dong!”

Mahesa terkekeh, “Nggak usah aku jawab, ya, Na. Kamu udah tahu jawabannya.”

“Karier, politik, ambisi, dan apa? Mas Mahes nggak benar-benar lihat aku, kan?”

“Na, udah, deh. Kamu kayak bukan Nana yang aku kenal.”

“Emang kayak apa yang selama ini kamu kenal, Mas?”

“Nggak baperan kayak sekarang.”

Nana mendengus, namun tetap berjalan di samping Mahesa. Mahesa selalu saja seperti itu. Membuat Nana hampir kehilangan kesabaran. Hubungan seperti apa yang sedang Mahesa jalankan bersamanya, seperti sebuah lelucon. Meski begitu Nana mau-mau saja  mengikutinya, awalnya ia pikir, lama kelamaan Mahesa akan berubah menjadi agresif, ternyata dugaannya salah besar.

Hubungan tanpa skinship sama sekali sebelum halal yang membuat Nana muak. Aneh, dan itu benar-benar tak biasa bagi Nana, selama ini, sebelum menjalin hubungan dengan Mahesa, ia pernah menjalin hubungan dengan beberapa lelaki. Skinship adalah sebuah keharusan dalam hubungan, sebagai ekspresi rasa cinta dan sayang. Bahkan make out pun, kalau sama-sama mau adalah  sebuah kewajaran.

Sedang kini, setelah menjalin hubungan dengan Mahesa. Jangankan berciuman, berpelukan, dan berpegangan tangan saja belum pernah. Meski Mahesa selalu mengatakan alasannya, bahwa ia takut mendekati zina, dan segala aturan kolot lainnya. Yang membuat Nana kadang merasa jengah. Oh, come on, ayolah, kita hidup di tahun millenial, yang keperawanan saja sudah tak penting lagi. Dan semua itu tentu saja pikiran Nana, bukan Mahesa.

“Siapa saja yang sudah datang?” tanyanya di sela-sela langkahnya menuju parkiran.

“Pendiri Partai Anak Bangsa dan Ketua Umum Partai Selalu Indah,” jawabnya.

Mahesa mengangguk. “Nota kesepakatannya sudah mereka berikan? Kita tinggal pelajari, yang sesuai visi misi kita kalau sudah.”

“PAB belum, PSI yang sudah.”

“PSI langsung coret, nggak usah ditinjau ulang.”

“Tapi, Mas? Program mereka bagus, lho.”

“Apa? Anti poligami?!”

Nana mendelik melihat ekspresi Mahesa yang tiba-tiba saja menegang.

“Aku nggak akan berjalan dengan partai yang programnya ngurusin agama orang,” tambah Mahesa tegas.

Nana menghentikan langkahnya, menipiskan bibirnya dengan memandang ke arah punggung lebar milik Mahesa yang tak berbalik sedikit pun.

“Kamu setuju Poligami?” tanya Nana akhirnya setelah berlari kecil menyusul Mahesa dengan setengah emosi.

“Kenapa harus ditolak? Kita setuju belum tentu kita jadi pelakunya, kan. Setuju memang karena kita mengakui bahwa ada aturannya dalam Al Qur’an. Kalau kita anti poligami, sama juga kita menentang sang pemilik hukum. End off discussion.”

Mahesa membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di sebelah Pak Rahmad, sang sopir yang sudah siap di balik kemudi. Diikuti oleh Nana yang duduk di belakangnya.

Nana mendengus, setelah menghempaskan pantatnya pada kursi mobil.

“Kamu itu lelaki macam apa sih, Mas? Kok bikin aku bingung. Baru kali ini aku nemuin lelaki macam kamu.”

I Hate (Love) U  (sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang