"Aku kira akan terlalu awal untuk mendo'akan agar kau menjadi selamanya dan hanya maut yang punya kuasa untuk mewujudkan pisah. Entah aku yang terlalu yakin bahwa kau takkan menjadi seperti manusia pada umumnya atau kini keburukan yang selalu berkawan dengan kebaikan akhirnya kau perlihatkan wujudnya. Kini aku semakin sadar, Sa. Bahwa kau juga manusia, yang bisa menciptakan perpisahan kapan saja."
-Tyszah Dzafina
Sudah sebulan berlalu. Akhir-akhir ini aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama Angkasa dan bersama ayah dan ibu di rumah sambil menikmati waktu sore di halaman belakang. Kadangkali aku juga pergi sendirian naik ojek ke Kedai Mas Wahyu jika Angkasa sedang sibuk dengan urusan lain. Hari itu aku sudah cukup muak melihat kumpulan soal yang tidak pernah absen kuliat tiap harinya, jadi aku memutuskan pergi sendirian ke Kedai Mas Wahyu untuk bersantai sejenak. Aku juga cukup rindu melihat puisi yang mulai dipajang disana bersama dengan foto-foto yang diambil oleh teman-teman Mas Wahyu.
Sebenarnya, aku memutuskan untuk pergi sendiri karena ada alasan lain. Aku tidak ingin terlalu bergantung dengan Angkasa. Aku takut saja jika sewaktu-waktu dia terlalu sibuk seperti kemarin-kemarin, membuatku menjadi tidak nyaman melakukan semua hal sendirian, yang tidak sengaja menumbuhkan perasaan-perasaan yang bisa saja membuatnya pergi dariku, walaupun kutahu hal itu takkan mudah untuk dilakukan Angkasa. Namun, setiap orang punya batas, jika sudah terlalu lama didesak suatu waktu mereka tidak akan mudah untuk bertahan. Makanya aku memilih untuk membuat kemungkinan-kemungkinan yang akan membuat pikiran rumitku setidaknya tidak sering menampakkan wajahnya.
***
Hari ini juga sama. Aku ke Kedai Pendaki sendirian, katanya Angkasa ingin menemani Ibunya ke rumah sakit. Aku mengajukan diri untuk ikut bersamanya, namun dia bilang akan lama dan membosankan di sana, apalagi Ibunya akan lebih suka jika bertemu denganku dengan keadaan lebih baik setelah sekian lama tidak bertemu. Hanya ingin mengingatkan, Ibu Angkasa adalah guru Kimiaku saat SMA. Beliau orang yang baik, dan aku cukup dekat dengannya karena kegiatan Osis. Tapi tiba-tiba beliau memutuskan untuk pindah mengajar di Yogyakarta. Aku tak tahu alasan pastinya, tapi kurasa beliau ingin lebih dekat dengan Angkasa yang berkuliah juga di sana.
Aku hanya mengiyakan pesan Angkasa dan memilih pergi seorang diri. Hari ini aku pergi bukan karena bosan melihat soal-soal SBMPTN, tapi hanya ingin saja. Semenjak puisi ditambah menjadi koleksi yang mengisi sudut Kedai Mas Wahyu, rasanya selalu menyenangkan kesana. Mungkin karena puisinya sesuai dengan seleraku, meski tidak bisa dibandingkan dengan penulis senior seperti Pak Sapardi dan Pak Sutardji, tapi puisinya memberi kesan yang sama bagiku, tidak butuh maksud untuk membuatku jatuh.
Aku sampai di Kedai Pendaki sekitar pukul 3 sore. Jika sudah jam segitu, biasanya puisinya sudah diganti dengan puisi yang baru, meski tidak setiap hari, tapi penulisnya cukup rajin memajang puisinya seminggu sekali, paling banyak 3 kali. Aku cukup tahu, mau bagaimana lagi rasanya aku sudah seperti pelanggan tetap Mas Wahyu. Aku cukup suka dengan suasana kedai ini saat sore karena tidak begitu ramai. Makanya, jika bosan dengan suasana rumah, kedai Mas Wahyu menjadi tujuan favoritku.
Anehnya puisi kali ini, masih sama seperti yang kulihat 3 hari yang lalu. "Barangkali penulisnya terlalu sibuk untuk bisa mengganti puisinya kali ini, atau dia akan menggantinya tapi cukup telat karena terjebak macet, atau mungkin dia tidak punya alasan lagi untuk menulis?" aku mencoba untuk menerka-nerka apa yang terjadi dengan penulisnya, terkaan yang sengaja kubisukan karena terlalu aneh untuk didengar orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAMRIH
Teen FictionDza mendapati kebetulan-kebetulan yang tidak ada habisnya, tentang Angkasa yang bisa membaca setiap langkahnya. Menawarkannya dunia yang tidak pernah ia sangka sebelumnya. Memberikannya 3 buku mantra sebagai langkah awal agar dia bisa bahagia. Ini b...