"Karena untuk saat ini aku masih belum menemukan cara terbaik untuk bisa berpisah denganmu, dan kuharap itu takkan pernah ada"
Arbeema Angkasa
Aku sampai pukul 6 sore dirumah. Seperti biasa setelah bersih-bersih, aku belajar dari jam 7 sampai jam 9, kemudian makan malam, dan sisanya kulakukan untuk menggambar sambil mendengarkan musik The Overtunes. Semenjak Angkasa memberitahuku tentang semua kebaikan yang seharusnya kulakukan untuk diriku sendiri, aku mulai sering menggambar dan melakukan kegiatan-kegiatan yang aku suka. Hal ini masih kusembunyikan dari Ibu, aku masih mengumpulkan nyali untuk mau ketahuan. Jadi, setiap malam setelah makan, aku akan mengunci pintu kamar. Jaga-jaga jika Ibu masuk tanpa mengetuk pintu dulu. Aku masih belum siap menghadapi kemarahannya.
***
Hari ini hari minggu. Seperti biasa hanya ada aku dan Bi En dirumah. Adikku Salsha biasanya langsung ke rumah Pak Irfan bermain dengan Tika sampai sore. Untungnya Pak Irfan kenal baik dengan Ayah, jadi beliau tidak pernah merasa terganggu jika Salsha setiap hari main di sana.
Berbeda dengan Salsha, kalau hari minggu aku lebih memilih untuk seharian dikamar. Belajar, mendengarkan musik, atau sekedar menonton film. Hari ini aku memilih untuk melanjutkan gambaran yang tadi malam belum kuselesaikan. Saat sedang duduk dimeja belajar yang berhadapan langsung dengan jendela, perhatianku tertuju pada buku kedua yang diberi Angkasa. Harga Sebuah Percaya-Tere Liye. Bercerita tentang semua penantian dan kepercayaan akan dibayar sama besar.
"Jadi, Angkasa apa aku harus juga melakukan hal yang sama? Menunggumu? Berharap penantianku akan dihadiahkan kehadiranmu yang takkan tahu lagi caranya hilang? Tapi mereka punya alasan yang kuat untuk tidak mencari yang lain, mereka saling tahu bahwa mereka saling mencintai. Sedang kita? Saling rindupun kita malu mengungkapkan, atau memang cuma aku yang merasakan?"
"Non, ada paket" teriak Bi En dari ruang tamu depan seketika membuyarkan lamunanku.
"Paket untuk saya, Bi?"
"Bibi nggak yakin. Katanya untuk Dza...Dza...apalah Bibi nggak ngerti. Tapi dirumah ini saya bilang nggak ada yang punya nama kayak gitu. Masnya yakin kalau dia nggak salah rumah non" bisik Bi En agar tidak membuat pengantar paketnya tersinggung.
Tentu saja aku kaget, sudah kutahu pasti siapa pengirimnya. Satu-satunya orang di dunia yang memanggilku dengan nama itu. Setelah 1 bulan tidak ada kabar, akhirnya dia mengirimkan seseorang untuk mewakilkan dirinya bahwa dia masih berada diradarku.
"Kayaknya untuk adek ini"
"Ha? Mas ini aneh loh bisa-bisanya baru ketemu langsung yakin kalau paketnya buat Non Fina"
"Di sini ada pesannya, dia bilang 'Rambutnya sepunggung, matanya cokelat, kulitnya putih tapi tidak pucat. Dia seperti dandelion dimusim hujan. Dia cantik juga terdapat dingin disenyumnya' Adiknya pas sama ciri-ciri yang ditulis di sini"
"Ya sudah, Pak. Paketnya saya ambil" jawabku langsung mengambil paketnya.
"Ini, dek"
"Makasih, Pak"
"Non, benar tidak apa-apa paketnya diambil? Orang yang kirimin paketnya kayak orang aneh. Jangan sampai isinya nanti aneh-aneh juga"
"Nggak apa-apa, Bi. Saya kenal pengirimnya"
"Ohh... aduh non. Bilang atuh daritadi. Bibi jadi pikir sembarangan. Takut isinya bom"
"Hahaha Bibi bisa aja. Aku masuk ke kamar dulu Bi"
"Iya, kalau ada yang aneh-aneh teriak nama Bibi aja"
"Iya...iya...Bi"
Bibi benar bahwa pengirimnya adalah orang aneh. Orang paling aneh yang pernah kukenal. Bagaimana bisa setelah sebulan menghilang, dia memberi kabar dengan mengirim paket menggunakan nama yang bisa saja membuat paketnya tidak sampai ditujuan. Tapi, tidak apa. Setidaknya aku tahu kamu masih berada di sekitarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAMRIH
Teen FictionDza mendapati kebetulan-kebetulan yang tidak ada habisnya, tentang Angkasa yang bisa membaca setiap langkahnya. Menawarkannya dunia yang tidak pernah ia sangka sebelumnya. Memberikannya 3 buku mantra sebagai langkah awal agar dia bisa bahagia. Ini b...