"Karena kepergian tetaplah kepergian, walaupun kau menawarkan pulang."
-Tyszah Dzafina
"Kau tahukan, Dza? Tidak ada yang benar-benar kebetulan di dunia ini. Daun yang jatuhpun sudah ditakdirkan kapan dan akan jatuh dimana," ucap Angkasa mengalihkan pandangannya ke langit yang sedang cerah-cerahnya.
"Semesta terlalu rumit untuk aku pahami, Dza. Makanya aku sudah cukup lama berusaha untuk berhenti melakukannya. Aku tak ingin lagi menerka-nerka dan berharap dengan apa yang bisa semesta beri untukku. Hidupku adalah milikku, dan yang paling punya pengaruh untuk merubahnya adalah diriku sendiri. Aku pikir, aku bisa mempertahankan prinsip itu. Lucunya, semesta tidak ingin membuat hidupku jadi mudah begitu saja."
Kini tatapan Angkasa mengarah kepadaku, aku masih belum bisa menarik kesimpulan dari apa yang ingin dia sampaikan, mungkin aku terlalu terburu-buru untuk ingin mengetahui semua jawabnya. "Pelan-pelan, Dza. Angkasa baru saja memulainya. Ini bisa saja jadi waktu yang kau rindukan. Cukup dengarkan dan nikmati momennya," batinku berusaha menyadarkan diri.
"Maksud dari perkataanku, pertemuan pertama kita di perpus sebenarnya bukan benar-benar yang pertama, juga bukan sebuah kebetulan, Dza. Aku selalu menunggu waktu itu datang. Waktu saat aku benar-benar bisa berbicara denganmu, memperkenalkan diriku dan tidak menjadi asing lagi untukmu. Aku dan kakakmu memang berteman baik, tapi kami tidak begitu dekat karena aku memang terlalu suka sendirian saat itu, sampai aku sadar bahwa semua terlihat berharga saat mereka hilang dari hidup kita. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, Dza. Kepergian Fiya membuatku sadar bahwa aku tidak bisa hidup sendirian. Semenjak itu aku mulai sering pergi mengelilingi Jakarta, bertemu dengan orang baru yang sebenarnya terlalu asing utuk kulakukan, tapi karenanya aku bisa mengenal Mas Wahyu dan teman-teman pendaki yang lain, syukurnya dalam perjalananku untuk mengetahui siapa aku, aku dipertemukan dengan orang-orang yang baik, Dza. Mereka sering mengajakku ikut mendaki bersama, mengenal tempat-tempat baru, orang-orang baik lainnya. Aku mulai berubah, Dza. Disitu aku sadar bahwa kita takkan pernah bisa berubah untuk orang lain tapi kita bisa berubah karena dorongan orang lain, namun perwujudan perubahan itu tetap kita yang pegang kendali, Dza."
Aku memberanikan diri menatap wajah Angkasa. "Masih teduh. Sudah berapa banyak luka yang kau hadapi, Sa hingga membuat tatapan itu tidak mudah goyah sedikitpun." Mendengar cerita Angkasa saat ini seperti sedang mendengar cerita lamaku. Sendiri menghadapi dunia yang rasanya bukan milik kita.
"Dza, kadangkali yang membuat kita merasa sendiri adalah diri kita sendiri. Bisa jadi bukan mereka yang meninggalkan kita, tapi kita yang menarik diri sebagai bentuk pertahanan dari dunia luar yang telah membuat kita terluka. Hebatnya, kita sudah melewati fase itu. Aku hanya berharap kita takkan pernah kembali ke sana."
Angkasa masih tidak membiarkan tatapannya jauh dariku. Kini tangannya mengusap kepalaku lembut. Mata cokelat itu, selalu berhasil menenangkanku... memenangkanku...
"Dza, bumiku. Kau pasti cukup tahu bahwa aku tidak pernah dengan jelas bilang aku mencintaimu. Aku terlalu jahat sudah membuatmu bingung selama ini. Aku terlalu takut untuk mengucapkannya, Dza. Cinta lebih sering berkawan dengan hal-hal buruk. Kecewa, luka, duka, hilang adalah bagian terbesar yang dimiliki cinta, Dza. Dan aku tidak ingin kata-kata itu tumbuh diantara kita. Jadi aku lebih memilih kata senang untuk menggantikannya. Namun, jika dia kata ganti, maka hanya butuh waktu untuk membuat kata awalnya menggantikannya kembali kapan saja, dan kurasa inilah waktunya. Hari ini aku ingin menjadi lebih sederhana, Dza. Aku ingin mengucapkannya lebih jelas," kini tangan Angkasa menggenggam kedua tanganku tanpa memindahkan pandangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAMRIH
Teen FictionDza mendapati kebetulan-kebetulan yang tidak ada habisnya, tentang Angkasa yang bisa membaca setiap langkahnya. Menawarkannya dunia yang tidak pernah ia sangka sebelumnya. Memberikannya 3 buku mantra sebagai langkah awal agar dia bisa bahagia. Ini b...