"Ayo kita pulang. Pulang ke rumah yang sudah kita tinggal jauh. Namun, selalu dekat untuk bisa mengantar kita kembali pulang"
Ayah Dza
Terdengar suara masakan mendidih entah darimana. Juga suara seseorang sedang mengaduk minuman dari arah yang sama. Aku terbangun dengan kepala yang rasanya sedang membawa 3 batubata, sangat berat. Aku lupa apa yang terjadi semalam dan yang paling membuatku kaget adalah aku tak tahu aku ada dimana sekarang. Ingatan terakhir yang kuingat adalah saat seorang mengarahkan mobilnya ke arahku. Setelahnya aku tak tahu apa yang terjadi.
Aku berusaha berdiri. Kepalaku masih terasa sangat sakit, rambutku juga masih lembab bekas dari kabur-kaburan dibawah hujan semalam. Aku melihat sekeliling siapatahu ada sesuatu yang menunjukkan identitas si pemilik rumah. Namun hasilnya nihil. Kamarnya begitu kosong tidak ada barang-barang seperti foto, buku, atau pajangan. Hanya diisi dengan perabot dasar seperti tempat tidur, meja belajar, lemari, dan kursi. Terlihat seperti kamar yang tamu yang lama sudah tidak ditempati.
Tapi kurasa pemiliknya mempekerjakan seseorang yang rajin. Terlihat dari kamarnya yang tetap terawat dan sangat bersih. Gorden dan jendela dikamarku juga sudah dibuka, menunjukkan tanaman Monstera yang tumbuh subur di depan rumah. Tanaman yang potnya kujadikan pegangan agar aku tidak terjatuh karena kecapekan semalam, namun gagal.
Aku tiba-tiba mengecek hoodie yang kukenakan semalam. Gawat!. Ya...bajuku berbeda dari yang semalam. Pakaian yang kukenakan sekarang sangat kering dan cukup hangat. Aku buru-buru bangun, takut dengan segala kemungkinan yang ada. Takut jika semalam aku diculik oleh seseorang dan hal buruk terjadi padaku.
Namun, aku kalah cepat untuk keluar kamar diam-diam, pintu kamar tiba-tiba sudah dibuka. Bukan oleh seorang yang bertubuh besar, atau seseorang dengan tato dilengan. Yang membuka pintunya adalah seorang Ibu-ibu sekitar umur 50-an keatas, yang penampilannya terlalu baik untuk bisa disebut penjahat. Tapi aku hanya mematung, karena zaman sekarang penampilan bisa jadi penutup terbaik kejahatan seseorang. Aku hanya ingin berhati-hati.
"Sudah bangun, non" ucapnya sambil membawa sebuah bubur dan segelas teh hangat.
Aku hanya mengangguk pura-pura polos.
"Kepalanya sudah nggak sakit? Badan non, gimana? Sudah nggak panas juga?" tanyanya sambil mendekatiku. Memegang dahiku untuk mengecek apakah demamku sudah hilang.
"Alhamdulillah, kayaknya demamnya sudah turun. Non makan dulu biar lebih sehat. Masnya lagi keluar katanya persiapan untuk kegiatannya sebentar malam. Kalau sudah kembali nanti dia antar non pulang"
Aku masih bingung. Sebenarnya siapa pemilik rumahnya. "Apa benar, jika semalam aku tidak kenapa-kenapa? Dan bagaimana kabar Ayah dan Ibu melihatku kabur dari rumah semalam? Juga bagaimana kabar Angkasa? Apa dia hari ini benar-benar berangkat ke Jogja?"
"Non pasti bingung. Tapi tenang saja, semalam nggak terjadi apa-apa. Non, hanya jatuh didepan rumah karena kecapekan sama kedinginan. Masnya yang baru tiba dirumah langsung bawa non masuk kerumah, untung saja masnya langsung tangkap non gitu, jadi kepala non nggak kebentur sama semen di depan rumah"
"Hmm... iya, Bi" aku sedikit lebih tenang.
Aku kembali duduk dikursi. Meminum teh yang dibawa sama bibinya.
"Tapi, Bi. Baju saya kemana yah?" tanyaku ragu. Aku ingin agar semuanya menjadi jelas agar aku bisa benar-benar tenang.
"Oh...itu Bibi ganti sama pakaian yang non pakai sekarang. Baju non semalam basah kuyup semua. Jadi masnya gendong non ke kamar terus dia suruh Bibi untuk ganti pakaian non. Takut non tambah demam"
KAMU SEDANG MEMBACA
PAMRIH
Teen FictionDza mendapati kebetulan-kebetulan yang tidak ada habisnya, tentang Angkasa yang bisa membaca setiap langkahnya. Menawarkannya dunia yang tidak pernah ia sangka sebelumnya. Memberikannya 3 buku mantra sebagai langkah awal agar dia bisa bahagia. Ini b...