8# Mesin Waktu

103 15 0
                                    

"Kehilangan mengajarkan kita untuk tidak bergantung pada apa-apa selain-Nya, Dza. Dan kita hanya manusia. Dengan mengetahui dua hal itu, sudah cukup untuk mengantarkan kita pada keikhlasan. Dan tingkat tertinggi keikhlasan adalah saat kau tidak mengingat bahwa kau telah melakukannya."

Arbeema Angkasa

Saat ini rasanya aku ingin lari menghindar dari Angkasa, aku terlalu malu berhadapan dengannya setelah semua kesalahpahaman mengenai harapan yang aku bangun tentangnya. Semuanya sudah terjawab. Kedatangannya hanya sebuah bentuk rasa kasihan terhadap seseorang yang baru saja menghadapi kehilangan.

"Tunggu, Dza. Sampai kapan lagi kamu mau lari? Dengan begini tidak akan menyelesaikan apa-apa" Angkasa menarik tanganku, tidak begitu kuat tapi tak bisa kulepas, saat itu rasanya tenagaku habis tiba-tiba.

"Memangnya apa yang harus kuselesaikan, Sa? Dari awal kita tidak pernah memulai apapun!"

"Aku yang memulai semuanya, Dza. Aku yang memilih untuk membuatmu bahagia. Dan kasihan tidak pernah jadi alasannya. Pada saat melihatmu pertama kali di pemakaman, aku sudah jatuh padamu, Dza. Bagaimana bisa seseorang tidak menangis saat kehilangan orang yang disayanginya. Mungkin itu yang dipikir orang banyak. Mereka cuma tak paham Dza, kadang yang diam adalah yang paling nyaring didengarkan. Matamu tak bisa berbohong kepadaku, Dza. Tidak seperti yang lainnya. Waktu itu jika kau sedikit goyah, bisa saja kau juga akan hilang"

Aku menangis, itu kedua kalinya aku menangis semenjak kepergian kakak, selain saat di pemakaman. Selama ini aku berusaha bersikap dewasa dengan menyimpannya. Aku harus kuat agar aku tidak mudah goyah besoknya, setiap hari kuyakinkan diriku bahwa menangis bukanlah cara yang tepat untuk mengantarkan kepergiannya.

Saat ini semua air mata yang kusimpan mulai merobohkan dinding pertahan yang sudah aku bangun 3 tahun lamanya, aku menangis tanpa peduli siapa-siapa yang lewat, membiarkan air mataku mengalirkan semua beban yang kini menemukan tempatnya.

Angkasa memelukku, menenangkan. Tangannya lembut menepuk kepalaku, membuat air mataku tak tertahankan. Aku jenuh, aku lelah, aku ingin mengakhirinya. Selama ini aku tak pernah diberi pilihan untuk sekedar istirahat sejenak. Aku terlalu lama berlari sampai kadang aku lupa apa yang sebenarnya aku kejar? Apa yang sudah aku lupakan? Semakin berlari aku semakin bertanya apa ini sudah benar?

Angkasa tak melepaskan peluknya sampai tangisku benar-benar terhenti. Kami duduk sejenak. Energiku habis, kakiku melemah. Angkasa memperbaiki posisi rambutku yang berantakan dan basah karena air mata.

"Kamu akan baik-baik saja, Dza. Aku ada disini"

Aku mulai menenangkan diri. Mencoba percaya akan keberadaan Angkasa yang semoga tidak pernah salah. Berharap semesta kali ini saja berbaik hati padaku untuk mengabulkannya.

"Pada hari itu aku berpikir, Sa. Bagaimana ekspresi seseorang saat pertama kali dihadapkan dengan kematian. Bagaimana jika kematian yang pertama kali mereka lihat adalah dari orang-orang yang mereka sayang" ucapku masih tidak bisa menghilangkan sendu.

"Waktu itu mungkin saja aku benar-benar goyah dan memilih mengakhiri hidupku, Sa. Jika aku tak pernah berjumpa dengan kematian sebelumnya. Jika aku tak pernah melihat kucing yang mati dijalan, kerabat ayahku yang meninggal karena kecelakaan, dan semua kematian lain yang aku lihat sebelum kepergian Kak Fiya"

"Aku tak tahu, apa boleh jika aku bersyukur atas kematian mereka. Jadi, aku tak perlu terlalu merasa tersiksa saat Tuhan mengambil orang yang aku sayang"

Aku menarik nafas. Menstabilkan denyut jantungku yang rasanya bunyinya kini dapat didengar Angkasa. Sesekali menghapus air mata yang tidak memberi tanda akan berhenti walau sejenak.

PAMRIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang