"Selamat datang Dza di dunia yang tidak pernah coba kamu lihat. Di sini akan lebih menenangkan dan membahagiakan. Tidak ada paksaan untukmu bahagia, karena tanpa perlu kau usahakan dia sudah ada. Dan tentangku, kuharap aku bisa memasukinya"
Arbeema Angkasa
Tepat pukul setengah 6 sore aku sampai di rumah, tadi banyak ojek yang mangkal di depan lorong Keisha ditambah jarak rumahku ke rumah Keisha hanya sekitar 3 km jadi hanya butuh waktu 10 menitan. Aku langsung melepas sepatu dan masuk ke kamar.
Seperti biasa Ibu masih belum pulang dari butik dan Ayah pasti lagi mengurus lembaran kertas yang menumpuk di ruang kerjanya. Adikku tidak terlalu kesepian karena setiap pulang sekolah dia pasti main di rumah Pak Irfan tetangga sebelah, anaknya sekelas dengan adikku Salsha. Itu membuatku sedikit tenang karena dia tak perlu merasa sendirian di rumah.
Setelah mandi dan ganti baju, hari ini tidak seperti biasanya tasku terasa lebih berat, kuambil buku tebal berisi soal-soal prediksi UN, berniat mengulang soal yang sudah kupelajari kemarin. Saat mencoba mengambil bukunya, tanganku memegang setumpuk buku yang baru saja membuatku teringat dengan kejadian tadi siang.
"Buku dari Angkasa"
Kukeluarkan 3 buku yang diberikan Angkasa. Bukunya tak terlihat baru seperti sudah dibaca sebelumnya. Lucunya, di setiap sampul buku ada kode nomor 1-3 yang memberikan isyarat bukunya harus kubaca berurutan.
Kucoba buka buku pertama karena aku takkan mau lanjut belajar jika pada akhirnya aku tidak bisa fokus karena penasaran.
Buku pertama yang dia berikan adalah salah satu buku karya Tere Liye yang berjudul Pulang. Dihalaman pertama terdapat stick note yang bisa kutebak dengan mudah siapa penulisnya.
"Aku tak tahu, Dza apa mantraku berikutnya bisa membuatmu ingin membuka buku ini segera setelah kuberikan. Tapi jika memang mantraku berhasil, itu berarti hari ini angkasa sedang bagus-bagusnya. Jika boleh, aku ingin mengucap mantra selanjutnya. Lihatlah keluar jendela! langit sedang penuh dengan bintang"
"Semesta, aku tak tahu apa yang sedang ingin Engkau tunjukkan, apa aku akan baik-baik saja jika aku terus melanjutkannya, meski aku tak tahu apa yang harus dilanjutkan. Bagaimana jika dia berakhir membuatku kecewa, karena tanpa sadar aku mulai menaruh harapan kepadanya"
Aku sedikit khawatir dengan diriku yang tidak bisa kukendalikan untuk terus mencari jawaban. Aku terlalu malas mengikuti permintaan Angkasa untuk melihat keluar jendela, takut aku terlalu mudah mendengarkan, akan membuatku semakin terbiasa dengannya. Kucoba buka lembaran kedua tak ingin penasaran lama-lama.
"Dza jika boleh kutebak, kau takkan mau melihat keluar jendela. Tak apa, sudah kupastikan mantraku kali ini memang cukup lemah jadi aku takkan kecewa. Ternyata kau masih belum percaya dengan semua kebetulan-kebetulan yang tak masuk akal ini. Tidak perlu terburu-buru, Dza. Aku ingin kamu menikmati setiap prosesnya. Aku juga pernah berada di posisi yang sama, terlalu tidak percaya sama uniknya semesta. Nanti kamu juga bakal paham" tulisnya di kertas stick note pada halaman kedua.
Sekarang aku lebih tenang, tidak terlalu memikirkan bagaimana kali ini dia bisa menjawab pertanyaanku seperti sebelum-sebelumnya. Mungkin aku mulai terbiasa, ditambah ucapannya tentang semesta. Yang tak bisa kutolak kebenarannya. Tentang kita yang takkan pernah tau bagaimana jalan Tuhan bekerja.
"Makasih, Dza sudah membuka sampai halaman keempat. Kau cukup tidak sabaran seperti yang kuduga" perkataanya lebih pendek dari halaman-halaman sebelumnya dan cukup membuatku sedikit tersinggung seolah-olah dia sudah mengenalku cukup lama.
"Saat kau membaca buku ini, mungkin kau tidak akan lagi menjadi sama Dza. Tapi kupastikan kau takkan menyesalinya. Bahwa mantramu lebih kuat dari yang kupunya. Kau salah satu baik yang dikirim semesta dengan wujud yang paling kusuka. Terima Kasih sudah terlahir di dunia Tyszah Dzafina. Kuharap kamu juga akan selalu merapalkan mantra yang sama. Bahwa kau mensyukuri keberadaanmu di dunia" tulisnya di halaman kelima.
Aku sempat ragu membuka halaman berikutnya, takut aku akan menyesali bagaimana aku bersikap sekarang. Tapi apa kalian pernah dengar, semakin kalian berusaha untuk tidak melakukan sesuatu, semakin besar niat kalian untuk berbuat. Dan saat ini sikap bodoh amat tidak berguna. Kuyakinkan diriku bahwa semua baik-baik saja. Jika memang Angkasa sedang mempermainkanku, besok kupastikan dia bakal benar-benar punah.
"Selamat datang Dza di dunia yang tidak pernah coba kamu lihat. Di sini akan lebih menenangkan dan membahagiakan. Tidak ada paksaan untukmu bahagia, karena tanpa perlu kau usahakan dia sudah ada. Dan tentangku, kuharap aku bisa memasukinya" tulisnya tepat di Bab pertama buku yang besoknya jadi buku yang paling sering kubaca menggantikan buku UN yang sering kubawa kemana-mana, baiknya bukunya lebih ringan dan tidak perlu dibawa dengan dua tangan.
Malam itu tak ada satu soalpun yang kuselesaikan. Aku lebih memilih buku Pulang karya Tere Liye yang menemaniku semalaman. Dan kudapati cerita yang rasanya bisa kuhabisi dengan begadang. Lagipula besok jumat, aku lebih suka datang kalau orang habis bersih-bersih kelas, jadi tak apa jika aku terlambat.
Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, aku sudah membaca hingga bab 5. Ibu sudah pulang dijemput sama Ayah.
"Fina makan dulu! sebetar dilanjut belajarnya" sahut Ibu dari depan pintu kamar sambil mengetuk pintu. Spontan aku menyembunyikan buku-buku yang diberikan Angkasa. Aku tak mau mendengar petuah panjang tentang aku yang bermain dengan buku-buku yang tidak jelas isinya. Ibu sangat berharap aku bisa masuk Fakultas Kedokteran, mewujudkan cita-cita kakak yang tertunda sebelumnya. Aku tak ingin menjelaskannya panjang lebar, jujurnya aku tak bisa menggali kembali memori yang sudah cukup lama kukubur mati-matian.
Di meja makan, Ibu bertanya soal perkembangan belajarku sudah sampai mana sambil mengingatkan tentang masuk ke Fakultas Kedokteran yang tidak mudah. Yang jika kuhitung, tak tahu ini kali keberapa, syukurnya aku mulai terbiasa. Meski awalnya aku cukup takut untuk makan di rumah, beralasan sudah makan di luar untuk menghindari pertanyaan Ibu yang sudah cukup kuhapal kalimatnya. Aku tak pernah menolak apa yang Ibu katakan, aku tahu ini keinginan terbesarnya. Aku tak cukup tega untuk membuatnya kecewa dan berakhir membuatnya semakin terluka.
Setelah makan, aku langsung masuk ke kamar berniat ingin menyelesaikan buku Angkasa secepatnya agar besok aku bisa latihan soal. Setelah membaca 2 bab lagi, aku terhenti dengan stick note yang ditempel pada bab selanjutnya, yang tentu saja tidak perlu kusebutkan nama penulisnya, takut kalian bakal bosan.
"Dza, kamu tidak langsung mencoba membacanya sampai pagikan? Jangan terburu-buru Dza, memang sulit untuk tidak penasaran dengan petualangan seru Bujang. Tapi aku ingin kamu menjadi paham pada setiap peristiwa didalamnya. Terlebih lagi, aku tidak ingin kamu menjadi sakit besoknya. Malam ini tidur dulu, semoga besok semesta kasih waktu lagi untuk kamu baca bukunya. Ini mantra yang kuharap paling kuat untuk kamu dengar" membuatku sedikit ragu untuk melanjutkan membaca.
Lucu saja aku tak pernah menjadi sepenurut ini selain pada Ayah, Ibu, Ibun, dan Paman tapi kuakui mantranya kali ini juga berhasil. Berhasil membuatku untuk menunda membaca bukunya. Karena terlalu fokus tanpa sadar aku juga mulai lelah, mengingat kembali aku tak pernah istirahat karena waktu tidur siangku tadi diganggu sama seseorang.
"Kali ini mantramu berhasil lagi, Angkasa. Aku akan mencoba paham. Selama ini katamu selalu benar tentangku. Aku berharap itu juga berlaku tentang mantraku yang lebih kuat dari yang kamu punya. Aku tak sabar ingin kamu merasakan hal yang sama. Kepalamu dipenuhi olehku. Itupun jika kita masih diberi kesempatan untuk ketemu" entah hal gila apa yang baru saja kukatakan. Ternyata malam ini aku tak berhasil membuatnya punah. Sebaliknya dia semakin tumbuh, seperti semak belukar yang dibenci tukang taman.
Tak sadar karena terlalu fokus membaca, sudah ada 5 panggilan tak terjawab dari hp yang sengaja aku silent agar tidak menggangguku saat membaca. Dari seseorang yang dulunya kuharap bisa kutemui secepatnya, tapi yang kuterima lebih buruk dari apa yang kudoakan pada semesta. Waktu itu tidak ada alasan buatku untuk tidak membenci semesta. Karena hari itu, jika semesta adalah yang mengatur semua, kurasa dia tidak begitu menyukaiku untuk berlama-lama hidup di buminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAMRIH
Teen FictionDza mendapati kebetulan-kebetulan yang tidak ada habisnya, tentang Angkasa yang bisa membaca setiap langkahnya. Menawarkannya dunia yang tidak pernah ia sangka sebelumnya. Memberikannya 3 buku mantra sebagai langkah awal agar dia bisa bahagia. Ini b...