"Jika negara kita terlalu senang membangun kota dipenuhi bangunan megah kelas dunia. Kita tak perlu ikut-ikutan, Dza. Ada alasan semesta menjadikan kita terpelajar. Salah satunya untuk menjadi berguna bagi sekitar"
Arbeema Angkasa
Tim dibagi menjadi 4 kelompok, sesuai arah mata angin. Aku, Alim, dan 3 junior OSIS lainnya diarahkan untuk mengecat bagian timur kampung karena di sana butuh lebih banyak tenaga, sebab wilayahnya lebih luas dibanding wilayah lainnya. Jika kalian penasaran di mana Angkasa, tenang saja dia tak pernah berpindah tempat, daritadi dia berdiri disampingku tidak membiarkanku sendirian sampai Kak Adi menyelesaikan pengumumannya.
"Ayo kita juga jalan"
"Kamu juga ngecat di bagian utara?"
"Nggak, kita bakal ngecat di bagian selatan. Di sana pemandangannya lebih indah"
"Tapi aku sama anak yang lain disuruh cat di bagian utara. Nggak mungkin aku ninggalin mereka, lagipula aku datang kesini buat jadi penanggung jawab mereka, Sa. Bisa-bisa Bu Airin kecewa"
"Kujamin nggak bakal kecewa. Di sana masih ada si mantan Ketua OSISmu kan? Ya udah mereka juga cuma bertiga, sudah besar-besar, nggak perlu dijagain dua orang"
"Di selatan banyak bunga dandelionnya" sambungnya yang membuatku tak punya alasan lagi untuk menolak. Kali ini kubiarkan aku ikut dengannya, toh aku kesana bukan sepenuhnya karena Angkasa.
"Ya udah, aku ikut. Tapi ini karena dandelionnya yah, bukan karena yang lain. Takut saja kamu salah sangka" jika boleh, waktu itu ingin kuulang melihat senyumnya karena telah berhasil membuatku untuk ikut dengannya.
Tidak sampai 5 menit kami sudah tiba di lapangan belakang kampung yang dipenuhi dandelion dimana-mana. Sangat indah, jika saja ant man ingin meminjamkan kekuatannya sebentar, aku ingin ke sana sekarang.
Sudah banyak kakak mahasiswa lain yang bersiap untuk mengecat tembok yang ada dipinggir lapangan. Aku lupa jelaskan, bahwa kedatangan kakak-kakak mahasiswa ke kampung ini untuk membantu warga desa agar kampungnya tidak di gusur sama pemerintah. Alasan karena lahan yang tidak memiliki izin dan ingin dilakukan revitalisasi untuk pembangunan kawasan industri baru. Yang jika kutebak Angkasa tidak bisa menerima konsepnya.
"Kamu tau kampung Gondolayu yang ada di Yogyakarta, Dza?" ucapnya sambil meletakkan semua barang didepan tembok yang akan kami cat bersama.
"Nggak, kenapa?"
"Dulu kampung itu mau digusur sama pemerintah sama kayak kampung ini. Untungnya, warga di sana berhasil pertahanin kampungnya, Dza. Dibantu sama Pak Romo Mangunwijaya seorang arsitek dan pemuka agama katolik, padahal mayoritas warga di sana adalah muslim, Dza"
"Waktu itu Pak Mangunwijaya memiliki kemampuan yang lebih, dan itu cukup menjadi alasan untuk membantu mereka. Kelebihan yang diberikan sama Tuhan adalah untuk mengingatkan kita agar lebih merendah, Dza. Bukan untuk kita banggakan sendirian"
"Sebenarnya sesederhana itu untuk melakukan kebaikan, Dza. Kita tak perlu memilih orang, apalagi menjadikan ras, agama, dan tingkat sosial sebagai pembeda. Semesta tidak akan menyukainya"
Aku hanya bisa diam, dia selalu bisa membuatku terkagum, bukan hanya pada perkataanya tapi juga keinginannya yang besar untuk membantu yang lain. Dan itu cukup membuatku tertampar, karena selama ini aku sibuk terjebak dengan dunia yang kurasa cuma hanya aku yang ada di dalamnya.
"Kamu mau lihat kampungnya sekarang sudah jadi seperti apa?"
Aku hanya mengangguk pelan.
"Kampungnya sekarang jadi tempat wisata yang sering dikunjungi wisatawan kalau berkunjung ke Jogja. Suasananya mirip Rio de Janeiro, Brazil. Tapi tentunya dengan budaya masyarakat Jogja, Dza" sambil mengeluarkan handphonenya, memperlihatkan potret-potret indah dari rumah yang berwarna-warni dengan berbagai lukisan mural.
"Aku pernah sempat kesana. Warganya ramah-ramah. Ciri khas warga Indonesia yang sebenarnya. Aku tak tahu bagaimana jika mereka hilang, Dza. Makanya kampung ini juga harus bisa diselamatkan. Meski aneh saja yang kita lawan bukanlah penjajah dari negeri orang"
"Jika negara kita terlalu senang membangun kota dipenuhi bangunan megah kelas dunia. Kita tak perlu ikut-ikutan, Dza. Ada alasan semesta menjadikan kita terpelajar. Salah satunya untuk menjadi berguna bagi sekitar"
"Kamu bisa, Sa. Niat kita terlalu tulus untuk bisa ditolak sama semesta. Do'amu begitu tampak untuk tidak dilihat sama Tuhan"
"Aku nggak punya alasan untuk menyerah kalau kamu sudah berkata begitu, Dza" sekali lagi dia menyentuh kepalaku, menenangkan.
***
Kami sudah selesai mengecat temboknya dengan warna dasar. Bagian tembok yang kucat bersama angkasa berwarna biru navy. Angkasa yang memilihnya. katanya dia ingin menggambar kumpulan kaktus dengan seseorang yang berada ditengahnya. Dia memulai membuat sketsa dengan pensil warna putih menggunakan tangan kirinya. Terlalu ahli untuk bisa disebut amatiran.
Aku hanya menonton disampingnya, entah kenapa wajahnya lebih menarik dibanding keahliannya untuk menggambar dengan cepat. Aku tak peduli dengan apa yang sedang aku lakukan, aku tak ingin melawan hatiku lagi, aku tak mau menyesal jika ini adalah terakhir kalinya.
"Aku bisa nggak fokus, Dza jika kamu pandang lama-lama"
"Padahal aku lagi lihat kakak itu, bagus gambarannya" menunjuk mahasiswa lain yang berada disampingnya.
"Ya udah kamu lagi yang ngegambar" memberikanku pensil yang sudah diraut ulang.
"Mau gambar apa?"
"Gambar kaktus disekitar orangnya"
"Aku nggak jago, loh. Kalau jelek jangan marah"
"Emang aku bisa marah sama kamu, Dza?"
"Nggak tau! Bisa saja sebentar kamu bakal marah, siapa yang bisa tebak?"
"Kalau sebentar aku nggak marah, kamu percaya?"
"Nggak juga! Bagaimana kalau aku sudah percaya hari ini, ternyata besok kamu langsung marah. Kamu tahukan manusia adalah tempat terburuk untuk menyimpan kepercayaan"
"Kalau besok aku juga nggak marah, gimana? Masih belum percaya?"
"Iya, siapa tahu lusa, atau besok lusa, atau beberapa tahun kedepan kamu marah. Lebih baik aku tidak percayakan daripada menyesal?"
"Kalau begitu tetap disampingku selamanya. Biar aku bisa buktikan"
"Yang ini juga nggak bisa, aku tidak ingin percaya kalau kamu bakal denganku selamanya dengan begitu jika kamu tiba-tiba hilang aku tak perlu repot-repot untuk kecewa"
Dia diam sejenak, mematung memandangiku.
"Kalau begitu jangan percaya padaku, Dza"
Anehnya aku tak baik-baik saja dengan perkataannya, hatiku tidak tenang seketika, aku tak menyukai kata-katanya barusan. Seolah dia akan benar-benar hilang setelah mengucapkannya.
"Sudah terlambat, Dza. Wajahmu mengatakan bahwa kau ingin aku menghapus perkataanku sebelumnya, dan kembali pada pernyataanku bahwa kau harus percaya"
Yang benar saja. Sekali lagi dia memahamiku lebih dari diriku sendiri. Aku tak tahu hatiku bisa sekacau ini karena mendengar 5 kalimat darinya. Kini aku sadar. Jatuhnya aku pada buku-buku yang kau berikan, adalah pertanda aku telah jatuh padamu. Arbeema Angkasa.
"Udah sadar? Kalau sudah kita lanjutin gambarnya, keburu malam"
"Ehmm...iya"
Aku melanjutkan menggambar kaktus seperti yang Angkasa minta, meski dengan hati yang masih kacau, yang jika bisa, aku ingin kedapkan suaranya. Aku terlalu malu jika Angkasa sampai dengar. Walaupun aku tahu takkan ada yang bisa kusembunyikan darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAMRIH
Teen FictionDza mendapati kebetulan-kebetulan yang tidak ada habisnya, tentang Angkasa yang bisa membaca setiap langkahnya. Menawarkannya dunia yang tidak pernah ia sangka sebelumnya. Memberikannya 3 buku mantra sebagai langkah awal agar dia bisa bahagia. Ini b...