"Walaupun kita sedang berada diteras rumah yang bernuansa eropa dengan halaman yang ditumbuhi tanaman curtain creeper dan berhadapan langsung dengan danau yang ditumbuhi beberapa teratai, juga ditemani dengan segelas teh hangat. Pembicaraan mengenai perpisahan takkan pernah indah. Siapapun lawannya dan dimanapun perpisahan dimulai, hasilnya tetap sama, terluka selalu jadi pemenangnya"
Tyszah Dzafina
Kini aku sudah jalan bersama Angkasa dengan motor vespa matic navy kesayangannya. Untuk kesekian kalinya aku tidak tahu dia akan membawaku ke tempat mana lagi, sama seperti sebelum-sebelumnya, hanya dia yang tahu tujuannya. Hingga akhirnya tempat pemberhentian pertama kami adalah sebuah warteg yang ada dipinggir jalan tak jauh dari sekolahku.
"Ini tempatnya?" tanyaku sambil melepas helm.
"Iya tempat pertama, Dza. Ayo masuk!"
Mendengarnya berkata begitu, membuatku berpikir hari ini aku akan cukup lama menghabiskan waktu bersama Angkasa. Jika ini tempat pertama, tentu saja akan ada tempat selanjutnya yang akan kami datangi. Semoga firasatku benar karena aku takkan terima jika dia hanya mengajakku berpetualang dalam waktu singkat setelah kami tidak bertemu cukup lama.
"Ehh Nak Beema apa kabar? Baru keliatan lagi loh, udah lama nggak kemari" ucap seorang ibu yang sedang membungkus beberapa makanan.
"Iya, Bi baru ada kesempatan sekarang"
"Dari kondangan? Kok rapi banget. Gadis yang dibawa juga manis sekali. Pangling Bibi tuh"
"Nggak, Bi. Ini dari acara perpisahan. Ini Dzafina Bi, perempuan yang sering saya ceritakan dulu"
"Dzafina" ucapku sambil menyalaminya seperti yang dilakukan Angkasa sebelumnya, meski aku cukup heran mendengar perkataan terakhir Angkasa, namun lebih banyak senangnya. Aku merasa bangga mengetahui Angkasa bercerita tentangku kepada orang yang didekatnya. Walaupun aku tak tahu sudah sejauh mana cerita tentangku dia bagi ke orang-orang.
"Panggil Bi Siah saja. Dulu nak Beema ini sering banget makan disini kalau sudah capek jagain kamu disekolah"
"Bi ini bisa saja, padahal saya capek gara-gara bantu Ibu disekolah loh"
"Kalau sudah kayak gitu, sudah malu dia. Aduh, ternyata cewek yang kamu jagain memang manis orangnya, lebih manis dari teh buatan Bibi"
Aku hanya tersenyum. Senang sekaligus malu mendengar pernyataan Bi Siah barusan. Sesekali kulihat wajah Angkasa. Tak pernah dia semalu sekarang. Seperti anak kecil yang sedang ketahuan menyukai seseorang. Terlalu lucu untuk dilewatkan.
"Bi, hari ini saya juga nggak bisa lama-lama. Ada tugas lain" ucapnya sambil duduk. Menarik pelan bagian bawah lengan bajuku agar ikut duduk di sampingnya.
"Kamu ini banyak sekali tugasnya yah, kayak orang kantoran saja" ucap Bi Asih sambil melanjutkan membungkus makanan yang sudah ditunggu oleh pembeli yang datang sebelum kami.
"Ini tugasnya bukan tentang cari uang Bi. Tapi utuk bahagiain seseorang" balasnya bercanda.
"Kamu ini memang suka aneh-aneh, kalau begitu mau pesan apa?"
"Nasi bungkusnya 30, Bi"
"Ya sudah tunggu sebentar"
Aku cukup heran, entah apa yang ingin dilakukan Angkasa dengan memesan banyak nasi bungkus. Aku penasaran tapi aku tidak akan bertanya. Toh, sebentar aku juga akan segera mengetahuinya.
Sambil menunggu nasi kami selesai dibungkus. Angkasa bercerita tentang sedikit kenangannya diwarung Bi Siah. Seperti biasa, ceritanya tidak pernah membosankan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAMRIH
Teen FictionDza mendapati kebetulan-kebetulan yang tidak ada habisnya, tentang Angkasa yang bisa membaca setiap langkahnya. Menawarkannya dunia yang tidak pernah ia sangka sebelumnya. Memberikannya 3 buku mantra sebagai langkah awal agar dia bisa bahagia. Ini b...