.
Pertolongan
.
Ini adalah pertama kalinya aku ketahuan mencuri. Nafasku tersengal, kaki ini seperti mati rasa, aku sudah tak sanggup berlari.
Kerumunan massa di belakang mengejarku dengan motor, mereka juga menyenteri wajah tampanku yang tertutup masker hitam.
Tak jauh dari sini, aku melihat cafe. Aku memutuskan untuk berlari ke sana, bersembunyi di belakang cafe itu. Sebelum sampai, aku melempar permata zamrud yang ku curi ke kerumunan warga agar mereka berhenti mengejar.
Aku akhirnya tiba di belakang kedai, aku sengaja masuk ke dalam dan tumbang. Kepalaku pusing sekali, nafasku benar-benar kacau. Seorang perempuan menghampiriku khawatir. Aku yang sudah kehabisan tenaga tak dapat berbuat apa-apa, hanya terkapar sambil menghirup oksigen rakus.
Masker curianku ia singkap. "Paman Franco, kita harus menolongnya," ucapnya keras. Sahutan 'iya' dari lelaki tua terdengar, ia dengan mudah menggendongku ala pengantin den membawaku masuk ke sebuah kamar. Ku mohon jangan perkosa aku, aku berjanji tidak akan mencuri lagi.
Perempuan bersurai pirang itu membaringkanku. Sekarang aku sudah bisa bernafas dengan normal. "Kau ini pencuri yang tadi dikejar warga'kan?"
Aku mengangguk. "Tunggu, akan kuambilkan minum." Ia melenggang keluar dengan langkah ringan, lalu kembali membawa gelas besar berisi air putih. "Ini minum."
Aku menurut saja, setelah minum aku langsung duduk. "Te-terima kasih banyak." Ia mengangguk dan bertanya lagi padaku, "Mengapa kau mencuri? Apa kau orang kurang mampu?"
"Entahlah," jawabku lirih. "Jawaban yang keren," ucapnya datar. Aku mulai memperhatikannya lekat-lekat, ternyata wanita pirang berkuncir ini lumayan cantik.
"Dimana kau tinggal?"
"Dimana-mana saja bisa. Rumahku sudah terbakar, jadi aku harus pandai mencari tempat tidur."
Aku mengingat sesuatu, ada yang kurang dan sangat membuatku cemas. "Di-dimana partnerku? Dexter! Apa kau melihatnya?"
Wanita itu menggeleng bingung. Aku melirik kesana-kemari tak lupa memandang keluar jendela untuk mencari partner monyet kesayanganku. Tak lama kemudian, masuk seorang pria dewasa. "Mengapa ada orang asing di sini?"
"Eh, kak Tigreal. Aku menolongnya, jadi kubawa ke sini," ucap gadis itu. Tigreal memandangku lekat, "Kau ini pencuri kan?" Lagi, aku mengangguk.
"Pencuri yang membawa monyet, bukan?"
"Iya! Itu benar. Apa kau melihatnya?"
"Di jalan aku melihat bangkainya, ia tertusuk anak panah."
"Dexter ... Itu tidak mungkin!"
"Kalau tidak percaya aku bisa mengantarkan mu ke sana."
"Tidak boleh! Nanti dia ditangkap warga," ucap gadis pirang berkuncir itu. Aku menunduk dalam sembari menahan air mata. "Sekarang siapa yang akan menemaniku?"
Dia itu temanku sedari dulu, dia yang menemaniku setelah kematian orang tuaku. Apa aku memang sengaja dilahirkan untuk menjadi sebatang kara?
"Apa kau ingin menyusul peliharaan mu?" tanya Tigreal. Gadis pirang yang sedari tadi menyimak itu ternganga, ia memukul keras lelaki tegap itu. "Aduh, sakit bodoh!"
"Kau yang bodoh."
"Tch, cepat mandi. Paman Franco telah menyiapkan makan malam, panggil yang lain."
Tigreal keluar dari kamarnya sambil mengusap-usap lengan bekas pukulan adiknya. Wanita bersurai pirang itu masih belum beranjak, apakah ia ingin menungguku?
Ah biarlah, kali ini aku sudah tak kuat lagi. Aku sudah tak bisa lagi menahannya. Menahan kesendirian yang selalu mengekoriku kemanapun aku pergi. Aku sayang pada Dexter, walaupun bukan manusia ia selalu menemaniku apapun keadaanku, selama tiga belas tahun lamanya. Dan sekarang, ia yang mati karena kesalahanku. Aku kecewa pada diriku sendiri, usapan kasar aku layangkan pada pipi tirusku. Penampilan ku semakin acak-acakan, namun siapa peduli?
"Terimakasih atas bantuannya," ucapku. Wanita didepanku menaikkan sebelah alisnya. "Ya, sama-sama. Kau akan kemana setelah ini?""Umm, menyusul Dexter kurasa adalah ide yang cemerlang," ucapku lirih. Gadis itu menjitak kepalaku keras-keras. "Kau lebih bodoh dari Tigreal."
"Apa yang harus kulakukan? Aku sebatang kara di sini! Tak ada yang membutuhkan ku lagi. Jadi buat apa?" tukasku putus asa.
"Membantuku mengurus cafe ini. Membuat cafe ini lebih kaya, dengan begitu sisa hidupmu akan lebih berguna," ucapnya ringan. Gadis konyol—tapi manis—ini malah berpikir hidupku mulus seperti pantat bayi. "Semudah itu kau berkata."
"Oh ayolah, masing-masing kehidupan punya kesibukannya, dan kau ... Apa kesibukan mu kedepannya? Lebih baik membantuku mengurus cafe," ujar gadis itu lagi.
"Apa kau suka melihat gadis cantik?" Tanyanya. Aku hanya menjawab dengan anggukan lemah.
"Bagus kalau begitu. Asal kau tau, kau bisa menarik mereka masuk ke sini dengan wajah jelekmu itu!" seru gadis konyol itu, ia tampak bersemangat. Aku tau aku tampan, tapi aku tidak rela ketampananku ini dipampang gratis begitu saja, tidak! Dan apa-apaan itu, aku ini tampan bukan jelek. Ah, aku masih sedih, apa ia tak berniat menghiburku?
"Wajahku mahal, hanya ada satu di dunia. Kalau ingin melihatnya harus bayar," datarku. Ia memutar mata. "aku akan memberimu tempat tinggal, baju dan makanan."
"Semua itu bisa ku cari sendiri, nona," ucapku malas, "Ah iya, jangan panggil aku nona. Aku Fanny, salam kenal."
"Aku Claude," balasku. "FANNY WEITING!" Teriak Tigreal, aku terkejut bukan main sedangkan Fanny ia sudah bersembunyi dibalik bahuku, "matilah aku, matilah aku!"
Tigreal datang dengan wajah kusutnya. "Cepat mandi dan panggil yang lain." Fanny mengangguk takut di belakangku, "Maaf tadi aku yang mengajaknya ngobrol."
Lelaki tegap itu mendengus kesal lalu meninggalkan kami. Wajahnya mengerikan sekali, seperti ultimatum bagi yang memandangnya. Adiknya sendiri bahkan takut, apalagi orang awam sepertiku. Fanny melangkah ke pintu untuk keluar, namun aku menginterupsinya, "Sekarang aku harus apa?"
T
B
C
KAMU SEDANG MEMBACA
Ignorant Partner
Teen FictionSiapa sangka korban kejahilan Fanny yang baru ini malah merasa nyaman saja diusili. Harusnya kan kesal. Fanny itu jahil, tapi Claude tidak bisa jauh-jauh darinya. Claude x Fanny ┌─────────────────┐ Cast belong to Moonton:3 Not original story...