11

100 11 6
                                    

.

Betray

.

     Gadis itu yang menjagaku sekarang. Fanny. Fanny yang nakal tapi baik hati itu yang selalu menemaniku sekarang. Dia selalu ada di sampingku.

    Gadis itu tetap merawatku walau bibir mungilnya berkomat-kamit menasehatiku. Demam kemarin sudah agak mendingan, tapi berita pagi ini membuat aku semakin down.

    Tigreal mengirimiku foto Irithel yang tengah berciuman panas dengan lelaki yang aku sama sekali tak kenal. Mereka ada di pusat perbelanjaan Moniyan.

    Aku baru bangun pagi dan perutku rasanya mual sekali. Tigreal lagi-lagi mengirimiku rekaman suara Natalia dan Irithel bersama lelaki itu.

    "Hey bukannya kamu sedang berpacaran dengan Claude," kata Natalia. Pernyataan Natalia dijawab oleh Irithel, "Aku tak butuh pacar seperti dia. Dia itu miskin walaupun tampan."

    Aku mendengar suara tawa mereka. Natalia, Tigreal dan kekasih baru Irithel tertawa keras sekali, lalu disusul dengan gelak manis Irithel. Hah, kau kira aku ini gampangan?

   "Oh begitu. Jadi kamu sudah putus dengannya?" tanya Tigreal usai puas tertawa. Lagi-lagi suara Irithel mendayu indah, "Belum. Secepatnya akan ku usahakan untuk putus."

    Dengan amarah yang membara, aku membanting ponselku. Lalu berlari ke kamar mandi untuk muntah. Belum sarapan saja sudah muntah, dasar Claude lemah.

    "Kamu kenapa Claude!?" Fanny datang menepuk-nepuk punggungku. Aku berhenti setelah beberapa saat. Lantas mencuci muka di westafel.

    "Claude," panggil Fanny cemas. Aku memandangnya datar, "Hm?"

    "Ada apa?" Aku menggeleng, enggan menjawabnya. Lalu dia menarikku keluar, memaksaku untuk duduk di ranjang.

    "Ayo makan. Tapi sebelumnya kamu harus minum dulu," ujar Fanny. Aku menggeleng lemah. "Tak usah, Fan."

    "Makan, aku memaksa." Aku mendengus kasar. "Aku tak mau."

    "Tch, saat sakit pun kamu tetap mengesalkan. Apa susahnya makan? Kamu tinggal telan bubur ini lalu tidur. Aku tak menyuruhmu rodi," kata Fanny jengkel, ia meletakkan mangkuk buburnya dan menatapku nyalang. Gadis itu menghempas mangkuk buburnya ke meja dan menjauh dariku.

    Saat hendak keluar kamar, Fanny sempat berkata, "Makan, Claude. Aku sudah susah payah meminjam dapur Homestay ini untuk membuat bubur. Sekarang cepat di makan buburnya," ucapnya lebih pelan. Aku yang sedari tadi membuang muka lalu memandangnya. Dia sedang menangis.

    Jantungku berdetak kencang. Aku memeluknya erat seakan tak mau lepas. Gadis berkuncir ini malah tambah sesegukan. "Maaf, Fanny."

     Aku mengelus punggungnya, sesekali di kepalanya. Sebenarnya aku sedang butuh pelukan, jadi hal ini akan ku manfaatkan sebaik mungkin.

     "Aku sedang dalam masalah. Maafkan aku," bisikku pelan. Dia menyahut, "Masalah apa? Cerita saja."

     Cerita pada Fanny? Dia pasti akan menertawakan aku nanti. Aku butuh respon yang baik sekarang. Fanny memandangku dari bawah, "Kenapa?"

     "Irithel selingkuh." Sorot mataku redup bagai lilin ditiup angin. Fanny mulai balas memelukku, dia mengusap-usap punggungku lembut. "Pasti sakit ya? Padahal kamu sudah berkorban banyak."

    Aku mengangguk lalu menyembunyikan wajahku di pundaknya, menghirup aroma lavender yang menguar dari tubuhnya. Fanny membalas pelukanku, rasanya nyaman.

   "Sakit, Fan." Fanny mengangguk di bawah sana. "Tidak apa-apa, Claude. Ada aku di sini," ujarnya. Aku tersenyum hambar.
  
    Ia sudah banyak membantuku, setiap aku kesulitan pasti Fanny yang selalu membuatku bangkit lagi walaupun menyebalkan. Sedangkan aku, apakah aku sudah cukup membalas budinya? Ku rasa masih sangat kurang.
   
   "Maaf ya, Fanny. Aku terlalu banyak membuatmu repot." Ia mendecih dan bilang, "Semua orang memang merepotkan."

   "Sudah, aku tak mau memelukmu lagi. Kamu bau sekali, mandi sana!" ujarnya galak. Aku menghembuskan nafas kasar, dan beranjak dari depan pintu kamar.

   "Dasar, sukanya merusak suasana." Fanny menyalak marah, namun aku segera masuk ke kamar mandi agar tak kena amukannya.

.
.

   Sekarang aku sedang duduk santai bersama Fanny, berduaan saja. Kami berada di restoran yang paling terkenal di Azrya Woodland. Menunya kebanyakan sayur dan buah, tinggal di Azrya bisa membuatku jadi seorang vegetarian.

   Gadis itu seperti enggan bersitatap denganku, ia selalu menghindari tatapanku dengan raut cemas dan pipi merona. Yasudahlah kalau tak mau di lirik-lirik. Aku melamun saja sambil menunggu Fanny selesai bermain game online.

    Hmm, sekarang aku menyadari sesuatu. Aku menerima Irithel karena tak ingin ia malu, lalu perasaanku pada Irithel hanyalah karena status. Aku mencoba untuk meletakkannya di hatiku karena kami sudah menyandang title Pacar.

    Tapi, sudah ku baik-baikkan ia malah mengolok-olokku di belakang. Aku ingin mengajaknya putus secepat mungkin! Tanpa sadar aku mengacak-acak rambutku, kelihatan sekali seperti sedang frustasi.

    "Ck, tim ampas begini bagaimana mau menang!?" Ujar Fanny kesal. Ia membanting ponselnya ke meja. "Hey, kalau tak sayang dengan ponselmu, berikan padaku saja."

    "Kamu siapa sampai harus kuberikan ponsel?" Ia merotasikan matanya, sangat mengesalkan. Ia seperti ingin mengajakku berkelahi saja.

   "Fan, kenapa kamu tak ikut tur? Daripada mengurusi ku 'kan bosan," ujarku sembari menelungkupkan wajah di meja, sekarang aku sudah merasa baik-baik saja.

   "Kamu lupa ya? Kan kamu sudah janji akan menemani ku. Jadi mau bagaimanapun keadaannya, yang harus menemaniku adalah kamu," jawab Fanny panjang lebar. Aku terkekeh, tanganku gatal ingin mengelus puncak kepala gadis tengil itu.

    Aku mengangkat tangan kananku dan mengelus kepala Fanny lembut, sambil tersenyum aku berkata, "Terimakasih ya, sudah merawatku."

   Aku beralih merengkuhnya dengan sebelah tangan. "Ayo jalan-jalan!" ajakku. Ia tampak lebih bersemangat, gadis pirang ini mengepalkan tangannya ke atas dan berseru, "Ayo!"

T
B
C

Ignorant PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang