10

106 11 4
                                    

.

Nana

.

     Anak kecil bersurai merah jambu itu terus mengikuti kami sedari tadi. Harith jadi semakin ceria, mereka seperti teman lama saja. Kelihatan akrab sekali.

    "Kakak berambut cokelat itu, namanya Kak Claude. Dia dari Angelta Drylands, katanya orang-orang di sana saling bertempur, Kak Claude tidak suka warga sana," Harith berbicara di samping pundak Alucard. Aku berjalan sendiri, huhu. Sedih.

    Mereka semua membentuk kelompok. Silvanna dengan Granger, Fanny dan Dyrroth, Miya dan Alucard bersama Harith juga Nana. Sedangkan aku sendirian.

    Kami sudah puas berkeliling Moonlit Forest yang sangat luas itu. Bahkan Fanny sampai tersesat, untunglah Dyrroth segera berlari menyusuri bagian hutan yang ditapaki Fanny dan menemukannya.
   
     Jujur, aku merasa tak berguna. Alucard saja sampai kesal padaku. Aku ingin pergi saja dari sini, aku ingin gantung diri namun aku tak membawa tali. Apa boleh buat?
    
     Percayalah, sekarang aku seperti orang tak berjiwa. Semakin lama langkahku semakin pelan, membuatku jauh dari mereka.

    Ayolah Claude, kau akan semakin merepotkan mereka jika kau membuat masalah. Aku harus menyusul! Dengan nafas berat aku berlari ke depan, menuju Fanny dan kawan-kawan.

    Kaki-ku, kram. Aku tak bisa melanjutkan lari. Ada apa ya? Tak biasanya aku lemah seperti ini. Yasudah lah, aku terpaksa duduk hingga kram ini sirna. Tapi teman-teman sudah jauh di depan, ah, masa bodoh. Aku masih ingat jalannya dan bisa pulang sendiri.

    Hmm, kemarin malam hujan. Karena ingin menikmati hujan, aku sampai tidur di balkon kamar dengan hanya memakai celana pendek. Berarti aku sedang demam dong?

    Tanganku terangkat untuk meraba dahi dan leher. Panas. Artinya aku benar-benar sedang demam.

    "Kakak! Astaga, kenapa duduk di sana!?" seorang anak kecil tiba-tiba datang menghampiri ku. Dia Nana, gadis mungil dengan surai merah jambunya. Wajah cemasnya dipenuhi keluh, pasti karena mencariku.

     Aku mengukir senyum. "Kakak tak bisa jalan, kaki kakak kram," jelasku padanya. Dia manggut-manggut tanda mengerti. "Jadi pulangnya bagaimana? Kakak mau digendong?"

    Cepat-cepat aku menggeleng, masa Claude yang super tampan dan keren ini digendong!? Oh, tak bisa.

    "Kenapa? Padahal kak Fanny siap menggendong kakak, dia kuat loh," ujar Nana. Aku memaksakan senyum walau dengan alis menukik, aku digendong perempuan? Tak macho sekali.

     "Tidak mau. Sudahlah, ayo kembali." Kami pun mulai berjalan. Nana menggandeng tanganku, katanya agar aku tak tersesat. Langkahku tak normal sebab betis kanan yang kram ini ku paksa jalan.

    "Kak Claude pacaran sama kak Fanny ya?" tanya Nana. Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu sih? "Tidak. Kakak udah punya pacar."

    "Nana kira pacarnya kak Fanny. Soalnya cara kalian bertatapan itu beda," aku Nana. Kalau diingat-ingat tidak juga, aku tak merasa begitu. Tapi kalau tatapan Fanny ... cerah dan teduh seperti mentari senja. Aku suka memandangnya.

    "Tau dari mana?" tanyaku. Nana menempelkan telunjuknya di dagu, matanya terarah ke atas. "Nana sering mengamati orang-orang, jadi Nana tau. Kalian ini mirip papa dan mama."

    Sekonyong-konyongnya aku membayangkan berumah tangga dengan Fanny. Pipiku rasanya panas, bocah satu ini mengesalkan sekali.

    "Ka-kalau Fanny dan Dyrroth bagaimana? Mereka cocok tidak?" tanyaku penasaran. Bertanya pada anak kecil itu sangat recommended, mereka tak jago berbohong soalnya.

    "No way! Kak Dyrroth dan kak Fanny itu sama-sama pantang mengalah," jelas Nana, "Lebih baik Kakak saja yang sama kak Fanny."

     "Kakak? Rasanya tak pantas sekali," ucapku. Nana menghentikan langkahnya. "Kenapa jadi minder begitu? Yang semangat dong! Sayang kok tidak ada usaha?"

     Ya ampun, kecil-kecil begitu ucapannya menohok sekali, seperti Natalia saja. Aku menggaruk leher tanda gugup, "Bu-bukan begitu. Masalahnya Kakak ini miskin, bodoh dan Kakak ... yah, sudah punya pacar."

     Nana geleng-geleng kepala. "Kalau sayang sama kak Fanny kenapa malah pacaran sama orang lain?" tanya Nana dengan wajah datar. Kalau disudutkan begini rasanya benar-benar tak nyaman.

    "Kakak belum sadar sama perasaan Kakak kemarin," jawabku. Nana menepuk-nepuk tanganku pelan. "Kak, pertahankan apa yang membuat kakak semangat, yang membuat kakak lebih baik. Jangan karena gegabah, kakak kehilangan. Sebab, orang yang bisa membuat kakak feel better itu langka."

     Aku menghela nafas pelan dan terkekeh, lalu mengelus kepalanya sejenak. "Terimakasih Nana. Kalau tidak ada kamu, Kakak nggak tau harus apa."

    Gadis cilik ini melonjak riang, "Hehehe, sama-sama, Kak!" Ia tertawa khas anak kecil setelah itu. Imut sekali. Tak terasa kami sudah sampai ke rombongan. Aku lihat raut cemas di wajah mereka.

    Terlebih lagi si Pirang biang masalah itu, matanya sembab dalam pelukan Dyrroth. Tch, aku tidak suka itu.

    "Claude! Nana!" seru Fanny sambil menerjang kami. Aku terjatuh dengan wajah Fanny yang tenggelam di atas dadaku. Nana juga terduduk di sampingku, bocah itu masih sempat tertawa.

     "Dasar Claude bodoh! Aku cemas setengah mati tau," katanya nyalang. Ia memukul-mukul badanku, ya ampun sakit sekali rasanya.

    "Aku minta maaf, berhenti memukuliku Fanny." Dia berhenti memukul. "Mengapa kamu bisa demam!? Kamu mandi hujan tadi malam?"

    Aku kaget, Fanny tau aku demam. Panasku tak begitu menyengat sebenarnya, tetapi mengapa ia perasa sekali? Aku menggeleng sebagai jawaban, "Aku ketiduran di balkon."

    "Tak pakai baju dan selimut!?" tanyanya lagi. Astaga, dia hapal sekali kebiasaanku. Aku mengangguk untuk menjawabnya. Wajah murka Fanny membuatku takut.

    "Kalau begitu cepat naik ke punggungku. Kita pulang sekarang. Tak usah banyak alasan, cepat naik!" perintahnya. Dengan sangat amat terpaksa aku menuruti wanita ini. Aku harus menyiapkan telinga untuk mendengar omelan Fanny di jalan.

T
B
C

Ignorant PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang