.
Perasaan
.
Setelah berjam-jam duduk dan berjalan kaki, akhirnya kami tiba di Azrya Woodland. Miya mengantar kami ke homestay di ibukota. Ia tampak bahagia walau badannya pegal. Sedangkan aku, sudah penat, pegal pula. Aku harus menenteng tas Harith yang berat berisi makanan.
Mataku tertuju pada Fanny. Gadis itu masih tampak segar bugar, fantastis. Apa dia tak lelah? Fokusku terpercah karena seruan Miya, "Silahkan menginap di sini. Kita akan melanjutkan perjalanan besok, pukul 9. Pastikan kalian sudah bersiap-siap."
Aku tak terlalu memperhatikan dan langsung pergi menuju kamar, namun hanya sampai pintu karena kuncinya dipegang oleh teman sekamarku yang ternyata Alucard serta Adiknya. Astaga, semoga saja aku bisa tidur dengan nyenyak.
Ah, sampai hari ini aku belum memberikan Fanny hoodie yang kubeli saat aku berkencan dengan Irithel. Rasanya setiap aku ingin memberikan ini, lidahku kelu tak karuan tanpa alasan yang jelas.
Aku merasa malu. Tapi, hey! Aku bahkan tak tahu mengapa aku malu. Padahal hanya memberikan baju. "Kak Claude melamun terus. Cepat masuk, Harith udah ngantuk."
Ya, ya baiklah bocah.Tanpa basa-basi lagi aku beranjak masuk ke kamar dan mengklaim kasur single yang ada di sana. Lalu aku mandi dan bersantai di kasur sambil telfonan dengan Irithel. Topik pembicaraan kami hanya sekedar bertukar kabar. Dia yang tidak antusias membuatku bingung. Ada apa? Tumben sekali dia berbicara singkat dan tanpa intonasi manja.
Aku berbuat salah ya? Tapi tadi pagi aku sama sekali tak bertemu dengannya, dia tak mengirimi pesan apapun di ponselku. Jadi tak ada bukti bahwa aku bersalah.
Kami hanya berbincang 10 menit. Lalu aku pergi ke pintu masuk Homestay untuk mencari udara segar. Di Azrya sejuk sekali, berbeda dengan Moniyan, panas dan gerah. Apalagi di tanah kelahiranku. Tak usah lah membahasnya, aku benci orang-orang disana.
Aku memutuskan untuk duduk dan memesan secangkir kopi untuk menemani cakrawala langit di atas. Penuh bintang, seperti langit subuh di Moniyan.
.
."Dasar bocil tak tau diri! Aku lebih tua darimu!" Fanny berseru marah pada Dyrroth. "Tapi kelakuanmu lebih seperti anak kecil Fanny! Jadi yang lebih bocah di sini adalah kau!"
Fanny selalu marah jika disama-samakan dengan anak kecil, padahal aslinya memang seperti itu. Dyrroth sebentar lagi pasti akan diamuk Fanny.
"Fanny bocah, Dyrroth dewasa!" kata Dyrroth lantang. Aku terus memperhatikan mereka. Dyrroth tertawa melihat Fanny kesal. Mengapa gadis itu tak memukul Dyrroth?
"Uh, Dyrroth mengesalkan! Aku tak mau berteman dengan Dyrroth!" Fanny melangkah menuju diriku. Dia mengamit tanganku dan menggenggamnya, "Mendingan aku main sama Claude aja."
"Kok aku!?"
Wajahku terlihat tak nyaman namun dalam hatiku terdapat rasa senang yang memuncak. Fanny menggembungkan pipinya, "Kamu udah janji akan menemaniku."
"Hm, baiklah," sahutku. Aku mengusap kepalanya yang memakai bando warna ungu. Fanny tiba-tiba menepis tanganku dan melindungi kepalanya dengan kedua tangannya, "Ti-tidak boleh!"
Astaga, rasanya ingin ku peluk lalu ku gigit sampai tak berbentuk. "Karena cuma aku kan yang boleh?" Sahut Dyrroth di sebelah sana.
"Tidak! Dyrroth jelek, jadi enggak boleh," jawab Fanny. Mereka benar-benar seperti anak kecil, aku sampai geleng-geleng dibuatnya.
"Sudah-sudah, ayo lanjutkan jalan," ujar Silvanna. Kami hari ini akan mengunjungi taman hutan yang berada di Moonlit Forest.
Fanny seakan tak mau melepaskan tautan tangan, telapak tanganku sudah basah kena keringatnya.
"Fan, kamu suka warna ungu kan?" Tanyaku tanpa melihatnya. Gadis itu membenarkan pertanyaanku, "Memangnya kenapa?"
"Tak kenapa-napa. Kamu harus memakai jaket, Fanny. Moonlit Forest itu dingin, apalagi cuaca sedang berembun karena hujan tengah malam."
Fanny mengernyit, "Kamu sendiri tidak pakai jaket," katanya. Aku menghela nafas malas. "Aku kan pakai baju hangat. Lihat, mereka pakai baju hangat juga." Aku menunjuk teman-teman di sekelilingku.
Gadis itu beralih melihat ke pakaiannya sendiri. "Pa-pantas saja rasanya dingin," katanya. Aku sampai menepuk jidat, bisa-bisanya otak Fanny tak berfungsi. Kalau dingin harusnya pakai baju tebal.
"Yaa, yasudah tidak apa-apa. Aku ini kuat tau!" ujar Fanny angkuh. Baiklah kalau begitu, aku hanya tinggal memantau. Semakin masuk ke dalam, semakin dingin pula suhunya. Membeku lah kau Fanny! Bwahahaha.
.
.Kami sudah sampai di taman hutan. Indah sekali di sini. Sejuknya bukan main! Pohon-pohon menjulang tinggi dengan daunnya yang rimbun. Cahaya mentari malu-malu menyinari kami yang sedang berdiri di tanah lembap ini. Ada gazebo di sini, tak ku sangka ramai pengunjung.
"Kak Miya!" seru seorang anak kecil bersurai merah jambu. Miya menghampiri anak tersebut dengan wajah teduh, "Halo Nana, lama tak jumpa."
Miya tiba-tiba kembali lagi ke sini dan menculik Harith dari Alucard. "Kalian boleh bubar. Kalau ada apa-apa datang saja ke gazebo ini. Kita berkumpul lagi pukul 11."
Begitu katanya. Aku mengendikkan bahu acuh. Gadis di sampingku sudah menggigil tak karuan. Sedari tadi ia bersembunyi terus di balik bahuku.
Ini adalah saat yang tepat untuk memberikan hoodie kemarin. Semoga saja Fanny suka. Aku membuka sling bag-ku dan melemparkan hoodie magenta ini ke kepala Fanny, lantas membuang muka dengan pipi sedikit bersemu. Aku benar-benar berdebar.
"Eh, ini punya siapa?" Tanya Fanny sambil mengamati Hoodie itu. "Punyamu," jawabku. Dia meraba-rabanya.
"Hee, hangat. Ta-tapi Claude, ku rasa aku tak pernah punya Hoodie yang begini," jelas Fanny. Aku menggaruk leherku, "Aku yang beli kemarin. Sudah, pakai saja."
"Eh, terimakasih banyak Claude!" Dia tersenyum lebar saat mengatakannya, "Ya. Pakai sekarang, nanti kedinginan."
Fanny mengangguk dan langsung memakai Hoodie itu, "Lembut dan hangat! Aku terharu lho, Claude. Terimakasih banyak ya."
Aku mengelus-elus kepalanya pelan lalu pergi berkeliling tanpa pamit ke Fanny. Biarkan saja lah, aku sedang tak ingin melihat wajah penuh cahaya itu.
Aku melangkah ke belakang gazebo yang terdapat kursi panjang dengan hiasan bunga lily. Ada Granger, Silvanna dan Dyrroth. Nampaknya mereka sedang mengobrol serius.
"Aku tak pandai kerja, aku hanya pandai bermusik. Tolong beri aku kesempatan beberapa bulan lagi, aku janji akan bekerja di studio musik," ujar Granger. Dyrroth mengangguk, "Yang cepat Kak. Kalau kelamaan, ayah akan menjodohkan Kak Silvanna."
"Lupakan itu. Sekarang bagaimana denganmu? Kerjamu lancar? Barren lands bagaimana?" tanya Silvanna mengalihkan topik obrolan. Dyrroth mengangkat bahu, "Bagus-bagus saja. Barren Lands masih sama, banyak penjahatnya. Kalau sudah selesai bertugas di sana, aku akan pindah ke Moniyan dan hidup bahagia berdampingan dengan Fanny."
"Kamu suka sama Fanny?" tanya Granger tak percaya. Dyrroth mengangguk santai.
Aku rasa, aku menyesal karena telah menguping. Dyrroth tidak boleh suka sama Fanny, hanya aku yang boleh! Dyrroth mana pernah ada saat Fanny menangis. Pokoknya Fanny itu hanya milikku.
"Selamat bersaing ma bro. Aku mendukungmu," ucap Alucard yang tiba-tiba muncul di sebelahku. "Tapi aku tak bisa, aku sudah berpacaran dengan Irithel."
"Pentingkan saja Irithel terus. Aku yakin pasti gadis itu lagi menduakan mu," ujarnya lagi. Darimana dia tahu? Memangnya dia punya bukti?
"Jangan mengada-ngada, Al." Alisku mulai menukik. Dia merotasikan mata. "Dasar lelaki brengsek. Jadi siapa yang akan kau pilih, Fanny atau Irithel? Jangan mainkan perasaan Fanny lagi kalau kau tak suka padanya."
Memangnya Fanny suka padaku? Sejak kapan Alucard pandai mengeluarkan omong kosong?
"Sudahlah, aku dipanggil Miya. Aku duluan," pamit Alucard. Aku mengangguk saja. Pikiranku mulai kacau. Aku ini kenapa sih? Mengapa aku cemburu dengan Dyrroth? Padahal aku sudah punya Irithel, lantas mengapa aku mengharapkan Fanny? Apa aku suka padanya? Lalu Irithel bagaimana?
T
B
C
![](https://img.wattpad.com/cover/253214458-288-k70586.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ignorant Partner
JugendliteraturSiapa sangka korban kejahilan Fanny yang baru ini malah merasa nyaman saja diusili. Harusnya kan kesal. Fanny itu jahil, tapi Claude tidak bisa jauh-jauh darinya. Claude x Fanny ┌─────────────────┐ Cast belong to Moonton:3 Not original story...