13

102 12 4
                                    

.

Tidak Sengaja

.

  Angin sepoi-sepoi menerpa kulitku. Rambut Harith yang sudah agak panjang turut bergoyang terkena hembusan angin. Aku merebahkan badan di ranjang kamar sembari memainkan ponsel genggam hasil mencuri.

   Alucard dan adiknya sedang bermain bersama Miya, aku benar-benar terlupakan di ruangan ini.

   Tiba-tiba ponselku berbunyi nyaring, ada yang meneleponku, Irithel. Aku tahu, pasti ia akan minta putus saat ini. Dengan dongkol aku menekan tombol angkat telepon.

   "Bagaimana harimu di sana, Claude?" Basa-basi ya? Ku kira ia akan langsung membicarakan hal itu. "Berjalan dengan baik. Kemarin aku sempat demam, tapi sekarang sudah sembuh."

    "Yang merawatmu Fanny'kan?" Irithel memastikan. Aku menjawabnya singkat, "Ya." Entah bagaimana ekspresi gadis ular itu, sejujurnya aku sangat ingin tahu.

    "Sudah berapa kali Fanny mencoba merebutmu dariku? Sepertinya kamu mulai suka dia," kata Irithel ketus. Aku terkekeh dengan raut jijik yang sialnya tak bisa Irithel lihat.

    "Mengapa kamu tertawa? Ucapanku benar ya?" Aku dapat mendengar Irithel mendengus. Dasar tukang drama! Apa haknya menyalahkan aku dan Fanny?

    "Dari dulu aku tak berniat menduakanmu, Irithel." Aku merotasikan mata, jengah melihat tingkah busuk Irithel. "Tapi sejak kamu bermain dibelakangku, aku sudah tak ingin lagi memikirkanmu."

     Aku menunggunya berbicara. Namun satu menit ia tak kunjung angkat suara, aku memutuskan untuk menungkit kabar dari Tigreal kemarin. "Kemarin kamu jalan dengan pria lain. Aku sudah tahu dari Tigreal."

    Irithel tertawa mengolok-olokku. Ah sial, mengapa dulu aku mau saja menjadi pacarnya. "Itu karena Fanny yang ingin mendekatimu, Claude. Jadi wajar saja aku lari ke orang lain."

    Apa-apaan itu!? Menyalahkan orang lain untuk menutupi kesalahannya sendiri. Aku mendesis geram mendengarnya.

    Aku mengambil nafas dalam, lalu berbicara dengan suara lebih berat, "Jangan menyalahkan Fanny, sialan. Kalau tak mau mengakui kesalahanmu, jangan lemparkan ke orang lain."

     "Tidak!" Suara Irithel terdengar lebih nyaring, ia membentakku. Lalu suara laki-laki terdengar dari ponselku. "Jangan berani-berani mengumpati Irithel dasar miskin."

     Aku menggeleng lelah, mereka seperti anak kecil saja. Lantas menghela nafas dan lanjut bicara, "Ya, terserahmu. Kalau kalian menghubungiku hanya untuk bertengkar lebih baik ku matikan saja sambungan ini."

    "Urusan kita belum selesai, tak sopan sekali," lelaki itu buru-buru menyahutiku.

    "Apa lagi?"

    "Putuskan Irithel!" serunya. Lagi-lagi aku memutar bola mataku. "Baiklah, pastikan Irithel mendengarnya."

     "Hei, mari putus. Setelah ini jangan menggunjing Fanny lagi, ia lebih berharga dari berlian. Kalau kamu membuatnya sedih, aku akan membalasmu dengan kemiskinan." Tanpa basa-basi lagi, aku langsung mematikan sambungan dan melempar ponsel genggam sembarangan. Rasa jengkel nan dongkol meruak dalam dadaku.

    "Woah, Kak Fanny dengar? Kak Claude suka sama Kakak, lho!" Astaga, aku lupa tadi Fanny masuk ke kamar untuk menyusul Miya bermain. Harith, tolong jangan kau mengompori Fanny.

    Aku cepat-cepat membungkus tubuhku dengan selimut, enggan melihat Fanny. Tak peduli bagaimana tanggapan gadis itu, pokoknya aku malu setengah mati.

    Ledekan demi ledekan terus keluar dari mulut 3 orang berbaju biru. Namun aku enggan menanggapi, hanya akan membuatku malu saja kedepannya.

    Um, entah mengapa diriku ini sangat ingin melihat ekspresi Fanny. Rahasiaku sudah terbongkar, lantas bagaimana raut wajahnya ketika mendengar ini dari bibirku sendiri?

    Kepalaku sedikit menyembul keluar selimut. Aku bisa memandangnya, Fanny tengah membatu. Wajah, telinga dan lehernya ikut memerah. Sejurus kemudian pipiku memanas hebat. Sial, aku tertular blushing-nya Fanny.

T
B
C

Emm, aku lupa alurnya karena dah lama ga lanjutin cerita ini (。ノω\。) Semoga kedepannya cerita ini masih nyambung:'v

Ignorant PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang