15

127 13 6
                                    

.

Pacar?

.

Tigreal resign dari pekerjaannya di cafe. Ia dan Natalia sudah menikah seminggu yang lalu dan berencana pindah dari kota ini. Lalu lelaki besar itu menitipkan Fanny padaku.

Mau jadi apa Fanny denganku? Pikirku waktu itu. Rasanya ingin menolak amanah yang diberikan Tigreal.

Jika tak ada yang mau menampung Fanny maka Tigreal akan memboyong adiknya. Aku tak rela kalau harus berpisah lagi. Menyakitkan.

Dengan dada penuh gemuruh aku mengiyakan pesan-pesan Tigreal dan sekarang Fanny masih tinggal di rumah kecil Silvanna.

Gadis pirang itu sendiri ingin ikut dengan sang Kakak, namun disaat bersamaan ia tak mau berpisah dengan ku.

Kalau dipikir-pikir lagi, mengikuti Tigreal hanya akan membuat Fanny tambah kesepian. Lelaki besar itu bertanggung jawab menafkahi sang Istri. Tentulah Tigreal akan sangat sibuk, belum lagi suasana di tempat mereka pindah. Akan susah bagi Fanny untuk mencari teman baru.

Sekarang Fanny bak kehilangan, apa mungkin ia merindukan roasting-an kakaknya? Idih, cantik-cantik maso. Mana jahil lagi.

"Fanny, ayo makan," titahku sambil membawakan nampan berisi semangkuk sup dan segelas air putih.

   Fanny menggeleng dalam posisinya. "Iya, nanti," kata gadis itu. Aku menghela nafas, mencoba bersabar. Pasalnya sudah jam 1 siang dan Fanny belum juga makan mengisi perut. Kata Tigreal tidak boleh terlambat.

   "Sekarang," ucapku tak sabaran, dia harus makan secepatnya. Fanny menekuk alis. "Jangan sok mengatur, Kamu bukan ibuku!"

   Rasanya aku ingin menghempas sup lezat ini ke wajah menawan Fanny. Apa-apaan itu? Sudah di baik-baikkan malah dibalas seperti ini. Aku hanya bisa bersabar.

   "Alucard beban. Curi lordnya, payah!" seru Fanny kemudian. Aku meletakkan nampan di meja depan televisi lalu duduk di samping gadis bersurai pirang yang tengah serius bermain.

   Kalau tangan Fanny sampai tremor begini sudah pasti mereka sedang bermain rank. Hah, apa boleh buat? Ini mutlak tak bisa di ganggu.

   Aku melihat permainan mereka. Alucard menekan tombol retribution namun nyawa lord masih belum habis. "Argh, retri Indomaret!" timpal Harith.

   Fanny mulai menggerakkan blade dancer ke lord yang tengah dikerumuni musuh. Ia datang dan menggesek semua musuh sampai habis, lordnya pun dihantam sampai mati.

   Seruan 'Savage' terdengar dari ponsel mereka masing-masing. Mereka tampak girang dan tersenyum angkuh penuh kemenangan. Terlebih lagi Fanny, padahal kan cuma game.

   "Habis menggendong beban, wajib menikmati santapan. Terimakasih banyak, Claude!" ujar Fanny riang. Ia melontarkan senyum lebar padaku, ah, manis.

   "Hm, cepat makan," datarku. Fanny memandangku aneh, lantas melahap sesendok sup.

   "Kenapa begitu? Supnya tidak enak?" tanyaku. Ia menggeleng lalu menjawab, "Mukamu datar sekali."

   "Memangnya kenapa?" Fanny lama terdiam, ia mengunyah makanan lalu menyahut pertanyaan ku tadi.

   "Kamu jadi semakin tampan," kata Fanny. What the fuck? Apa-apaan dia? Fanny kerasukan apa? Mengapa dia jadi semakin manis? Memang saat ia mengatakan itu ia memalingkan wajahnya dariku. Tapi tetap saja manis.

   Semburat merah perlahan-lahan timbul di pipiku, perutku rasanya seperti terpasang mercun ledak. Seluruh badanku panas dan senyumanku telak tak bisa di tahan. Dasar perempuan sialan. Aku jadi salah tingkah.

   "A-aku memang tampan," ucapku sebagai antisipasi agar salah tingkahku tak kelihatan kentara. Namun nampaknya Fanny sudah terlanjur melihat wajahku.

   "Hehehe," kekeh Fanny. Aku merasa sekarang cara gadis itu menjahili ku adalah dengan menggodaku. Kesal tahu. Tapi tak apa lah, asalkan dia tak kesepian. Kasihan.

   "Alu, Kak Fanny dan Kak Claude itu pacaran ya?" Harith tiba-tiba bersuara. Pertanyaan konyol ini membuat hatiku tergelitik. Semesra itukah kami dihadapan orang-orang? Tapi kami kan sering adu argumen, mengapa Harith berpikir seperti itu?

   Aku melirik ke samping, Fanny tengah terbatuk keras sebab tersedak. Aku menyodorkan air dan segera diminum sampai habis oleh Fanny. Alucard memandang kami lekat, menjijikkan.

   "Kenapa lihat-lihat?" lontar Fanny dengan nada ketus yang menantang. Alucard memasang wajah jengahnya lantas membuang muka.

   "Entahlah, Harith. Aku juga tidak tahu mereka sudah berpacaran atau belum," ujar lelaki pirang tersebut. Memangnya status itu penting? Menurutku kami sudah cukup dekat, Fanny juga tak pernah memintaku untuk membuat label pacaran.

   "Kami tidak berpacaran," aku berterus-terang. Alucard dan adik angkatnya mengangguk paham.

   "Baiklah," balas Harith. Ia lantas beranjak tergesa-gesa setelah mendengar pengakuanku. Tidak biasanya bocah ini bertingkah aneh.

   "Aku baru ingat ada janji dengan Granger. Sampai jumpa! Terimakasih atas carry-an mu, Fan." Alucard menyusul Harith keluar dari ruang santai. Sekarang tinggal aku dan Fanny.

T
B
C

Uhh, saya tahu kalau Fanny itu bukan gadis jahil. Namun setelah melihat artwork Fanny tanpa skin, kesan di saya wajah dia seperti wajah seseorang yang suka jahil. Maafkan saya karena telah membuat Fanny menjadi ooc:'3

Ignorant PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang