08

93 10 5
                                    

.

Kesal

.

Mentari sedang terik-teriknya, hatiku juga sedang terbakar habis-habisan. Silvanna membawa adiknya Dyrroth yang merupakan teman lama Fanny. Lihat! Fanny yang bodoh itu lengket seperti permen karet pada Dyrroth, mereka jalan sambil rangkul-rangkulan. Memangnya dunia hanya milik mereka berdua!?

Saat kami tiba di perbatasan Moniyan dan Azrya-tempat Dyrroth menunggu kami-Fanny bahkan sampai melompat girang sangking senangnya bertemu Dyrroth. Mereka berpelukan lama sekali dan hingga saat ini Dyrroth tak pernah melepas Fanny.

Aku hanya bisa memasang wajah masam disamping Alucard. "Hey, ada apa kawan?" tanya Alucard padaku. Aku mengendikkan bahu. "Tak ada apa-apa."

"Kak Claude cemburu ya, sama Kak Dyrroth?" Harith bersuara dipundak Alucard. Anak itu sedang duduk di bahu Alucard karena tak sanggup berjalan, dia lelah.

"Tidak tuh, sok tau."

"Pfttt-- Kamu bisa cemburu Claude? Aku tak menyangka," kata Alucard. Aku memutar mata malas, lalu dengan langkah lebar aku berjalan menuju dua sejoli yang baru saja bersua tadi.

"Eh, Claude! Kamu sudah berkenalan sama Dyrroth belum? Sini ku kenalin," seru Fanny riang ketika aku sampai di sampingnya. "Halo Claude, Aku Dyrroth." Tangan Dyrroth terjulur padaku.

Aku menyalami dia, "Aku Claude, salam kenal, Dy." Bisa ku lihat dari sini, wajah Fanny begitu cerah dengan senyuman lebar. Aku tak pernah melihat Fanny selepas ini sebelumnya. Teman lama macam apa Dyrroth ini? Bisa-bisanya ia membuat Fanny seceria ini.

"Oh iya! Claude, tolong fotokan kami dong," pinta Fanny. Aku menipiskan bibir, menahan kesal yang tak mungkin aku lampiaskan sekarang, "Mana ponselmu?"

Baru saja Fanny akan menyerahkan telepon genggamnya padaku, namun ia kalah cepat dengan Dyrroth. "Pakai punyaku aja, kameranya bagus."

Mereka tersenyum lebar seraya rangkul-rangkulan, aku memotretnya. Tahu tidak? Sekarang aku sangat-sangat kesal. Aku ingin menyembur Dyrroth dengan perkataan pedas, tapi aku ini siapanya Fanny?

Alucard tengah tertawa di belakang, aku ingin sekali menghajarnya. "Terimakasih Claude."

Aku menghentikan langkahku karena tersadar akan sesuatu. Mengapa diriku ini kesal? Bukannya Aku dan Fanny hanya sebatas teman? Lagipun Aku sudah berpacaran dengan Irithel. Lantas kenapa aku tidak suka Fanny berdekatan dengan Dyrroth?

"Claude, kenapa berhenti jalan?" Fanny menginterupsi lamunanku. Aku menggeleng cepat lalu mengembalikan ponsel genggam Dyrroth. "Aku sama Alucard saja. Bersenang-senanglah Fanny," ucapku lembut, aku menampilkan senyuman terbaikku sembari mengelus pucuk kepalanya.

Cukuplah sudah. Aku berbalik dan menjauhi mereka berdua, rasanya tak enak sekali jika harus mengganggu momen pertemuan meraka, apalagi disini aku hanya jadi nyamuk dan nanti pasti akan ditertawai Alucard.

Aku terus melangkah ke arah Alucard dengan kepala tertunduk tanpa peduli pada Fanny yang bergeming di sebelah Dyrroth. Kami masih harus terus berjalan sampai ke stasiun, barulah sampai ke Azrya setelah menaiki kereta.

"Suka ya, sama Fanny?" Tanya Alucard. Aku tak menjawab, hanya memberi tatapan bermusuhan padanya. "Apa yang bagus dari Fanny sih? Dia kan hanya gadis pembuat onar."

Granger sekonyong-konyongnya tepat berada di belakang kami. Bagaimana bisa? Dia dari tadi menempel terus dengan Silvanna. Dan, dia bilang apa tadi? Gadis tukang onar? Itu memang benar, tapi tak adakah kelebihan Fanny yang tersangkut dimatanya?

Kebanyakan orang hanya mengingat keburukan orang lain. Padahal tak semuanya yang Fanny lakukan membuat masalah. Fanny itu gadis yang selalu bisa diandalkan.

"Memang benar, Fanny suka membuat keributan. Tapi dia itu sangat perhatian, mana pernah dia mengabaikan orang disekitarnya," ucapku dengan tatapan menantang pada Granger.

"Oh, jadi kamu balas menyindirku?" Granger mengeluarkan pertanyaan retoris. Aku mengendikkan bahu dan tak lagi memandangnya. Lihat, lelaki itu sedang mencak-mencak sekarang.

"Bagaimana Gran? Pilih Guinevere atau kak Silvanna?" Tanya Alucard yang barusaha mengganti topik. Harith banyak diam, dia memang sukanya memperhatikan saja. "Ntahlah, hubunganmu dengan Miya bagaimana?"

"Pastinya! Pastinya tak lancar. Selama ada Harith, aku takkan pernah menang," ucap Alucard. Harith mendecak sebal, "Malah aku!"

"Masa kamu kalah dengan anak kecil, Al?" ejekku padanya. Lelaki itu tertawa. "Ga tau lah, shotacon gila kaya dia bikin aku nggak ngerti."

"Kak Miya itu sebenarnya suka sama Alu, tapi malu, jadi dia cuma berani dekat-dekat aku, Alu payah, Alu nggak peka, Alu bodoh," ujar Harith sambil memeluk Alucard kuat-kuat. Kakak angkatnya langsung marah, "Turun dari pundakku atau aku lempar!" Seru Alucard. Harith berteriak keras membuat telingaku sakit dan membuat Alucard malu.

"Harith bodoh, jangan teriak-teriak!" Seru Alucard, tapi Harith tetap berteriak keras sehingga mengundang atensi orang-orang disekitar kami, "Kyaa! Alu jahat!"

"Lempar Al, Lempar Harith!" Fanny berseru semangat, sedangkan Miya yang berjalan paling depan di dekat Silvanna berlari ke sini, pastinya untuk menyelamatkan Harith.

"Berhenti, berhenti! Ini hutan, tak boleh macam-macam tau!" Miya mencubit kakak beradik itu kuat-kuat sampai keduanya diam. Miya tampak marah.

"Kita dekat dengan hutan Barren Land, bisa-bisa kita disergap oleh orang jahat di sana lalu ditawan," Katanya sambil menjewer Harith. Kasihan bocah itu, lihatlah bibir bawahnya bergetar hebat, matanya berkaca-kaca tanda sebentar lagi ia akan meledakkan tangisan. Fanny tertawa puas di samping Dyrroth, jahat sekali dia. Aku masih menunggu tangisan Harith, tapi sampai sekarang tak terjadi. Hmm, baguslah, ia menahan tangisannya.

"Miya, ayo lanjutkan jalannya," suruh Silvanna. Perintahnya adalah ultimatum bagi kami, akhirnya kami semua lanjut melangkah lebih cepat tanpa seorang pun berbicara, kecuali Fanny dan Dyrroth. Mereka cekikikan terus, aku jadi tambah kesal.

T
B
C

Ignorant PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang