16

105 12 3
                                    

.

Awkward

.

   Suram.

   Ruang keluarga yang hanya diisi olehku dan Fanny hanya tersisa hawa mencekam.

   Aku melirik ke sebelah kiri, gadis berkuncir itu tengah memandangku tajam—dengan sedikit sirat kesedihan.

   "Uhm, aku salah bicara, Fan?" tanyaku padanya. Empunya hanya menggeleng dan fokus ke makanan. Aku yakin manusia di sebelahku pasti sedang mempermasalahkan perkataanku barusan.

   "Kamu kok melihatku begitu?" aku kembali bertanya. Ia pun menggeleng kembali. "Biasa saja, kok."

   "Matamu serasa akan mengeluarkan laser, Fan." Gadis itu mencebik mendengar komentar dariku. Sepertinya dia mulai mencair.

  Aku menempelkan tanganku pada kening yang tertutup poni, hendak mengecek. Ternyata suhu badan Fanny masih agak panas, sudah dua hari ia terkena demam.

   "Masih panas. Habis ini tidur, jangan main-main lagi," titahku padanya. Gadis itu lama terdiam—sambil mengunyah—lalu mengangguk pelan sebagai respon atas ujaranku.

   Aku lantas mengangkat tanganku dan mengelus puncak kepala Fanny. Rambut pirangnya benar-benar lembut dan halus,  seperti gulali. Aku menyukainya. Tak lupa aku menyunggingkan senyuman pada gadis itu. "Cepat sembuh, Fanny."

   Fanny hanya mematung tanpa bisa bergeming. Aku tau, pasti karena ketampanan ku yang paripurna ini membuat ia terpana.

   "Oh iya, aku lupa ambilkan obatmu!" Baru saja aku hendak bangkit dan beranjak ke kamar Fanny, tapi gadis itu menginterupsi gerakanku. Aku kembali terduduk disampingnya.

   "Claude."

    Fanny menunduk dalam, enggan menatap wajahku. Hembusan nafas berat ku lakukan dan suara ku lembutkan. "Ada apa, hm?"

   Hening, diam, hampa tanpa ada suara siapa-siapa. Gadis cantik dihadapan tak segera bercakap, namun dengan sabar aku menunggunya itu membuka suara lagi.

  "Ka-kamu itu masih sa-sayang dengan Irithel, ya?" lontar Fanny gugup. Ia memeluk lututnya, lantas menenggelamkan wajah di sana.

   Apa? Sayang kepada Irithel!? Dari sekian banyak pertanyaan, mengapa harus ini yang Fanny pilih? Sungguh bodoh dan tak berbobot. Sudah jelas kalau aku tak pernah benar-benar sayang padanya. Aku tak benar-benar menaruh hati pada mantanku itu.

   "Bukannya kamu sudah tahu?" aku bertanya balik. Ia menggeleng lemah dalam posisinya. "Tolong katakan dengan jelas, aku tak bisa menerka-nerka."

   "Jelas saja aku tidak sayang pada Irithel," ujarku gamblang. Mengapa aku harus mengalami pembicaraan konyol seperti ini, sih!?

   "Benarkah?" Fanny mengatakan itu dengan nada merengek. Astaga. Ini imut sekaligus mengesalkan.

   "Benar. Sekarang ayo bangun dan pindah ke kamar. Waktunya Fanny kecilku tidur." Gadis berambut pirang ini menyahut, "Tidak mau."

   "Nanti demammu tak kunjung sembuh, Fan." Aku masih berusaha membujuknya agar ia mau menurut. Kau tau? Agak susah membuat gadis ini mendengarkan kata-katamu, ia sangat keras kepala, jahil pula.

    Aku mendapatinya sedang menatap tajam diriku—seraya mencebik. Astaga, tingkah perempuan itu benar-benar sulit ditebak. "Fanny Weiting," panggilku. Kali ini aku serius, ini juga demi kesembuhan dirinya.

    Fanny masih saja melayangkan tatapan sinis padaku, lalu ku balas dengan lebih sangar, lebih serius dan lebih menakutkan. Ia akhirnya mendesah pasrah. "Haahh, iya-iya, baiklah."

    Si Pirang bangkit dari duduknya lalu meraih nampan dan peralatan makan, hendak mencuci mangkuk dan gelas kotor yang ia pakai tadi. Aku segera mencegah gadis itu bertindak lebih jauh. Menepis lembut tangannya dari nampan yang tinggal diangkat.

   "Tak usah, biar aku saja," ujarku. Fanny menukikkan alisnya. "Tapi tadi kamu sudah ambilkan makan buatku, setidaknya biarkan aku mencuci."

    Aku menggeleng, merebut nampan itu dari kedua tangan Fanny. Tanpa menunggu tindakan Fanny selanjutnya, aku segera melangkah ke dapur, agar urusan cuci piring cepat selesai. Tapi gadis pendek itu membuntuti ku, astaga. Keras kepala sekali.

    Aku menuju ke dishing wash, sementara ia berdiri di sampingku. "Kenapa tidak ke kamar?"

    "Aku mau menunggu mu," jawab Fanny dengan cengirannya yang super imut. Kedua tangannya disembunyikan di belakang, astaga. Demi keamanan jantung, aku segera mengalihkan atensiku ke cucian ini.

    Gadis itu memerhatikan ku lamat-lamat, seakan aku adalah tontonan yang paling asyik. Aku tak bisa menghentikan desiran darah yang naik ke pipi, tak bisa. Wajahku merah padam hanya dengan diperhatikan Fanny. Memalukan.

   Setelah diriku menutup keran dan berbalik badan, Fanny menarik tanganku ke kamarnya. Ada apa ya? Apa dia akan mengajakku main uno stacko seperti kemarin? Kalau iya maka aku harus menolaknya, Fanny harus segera tidur.

   Oh iya, mengapa dari tadi Harith tidak kembali? Pergi pun tak berpamitan. Kalau Silvanna tiba-tiba kembali dan bertanya, aku tak tahu mau jawab apa. Tch, menyusahkan.

   cklek!

    Seketika lamunanku tentang Harith buyar, bunyi pintu kamar yang ditutup mengagetkanku. Sekarang aku berada di kamar Fanny, rumah sepi. Hanya kami berdua.

    Ya ampun, aku memang sering keluar masuk kamar Fanny, tapi belum pernah aku ditinggalkan berdua saja dengan gadis tengil—sekarang frekuensi kenakalannya berkurang—ini.

TBC

Halo, Michi uda balik dari asrama:v
Woahh, dah setahun work ini Michi tinggalin, sampe ga tau lagi mau nyambungin ceritanya gimana. Lupa plot, mana tulisan makin amburadul lagi.

Dan... buat yang kemarin nagih Michi lanjut, MICHI SGT BERTERIMA KASIH RioAnanda948 Ga nyangka bakalan ada yang nungguin:v Halo gan, uda gw lanjut nih, i know i am too late, but i hope u didnt losing interest w this fic 👉🏿👈🏿

Makasi juga buat yg kemaren vomment. Michi sgt terharu h3h3 -w-

Ignorant PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang