12

92 10 0
                                    

.

Dyrroth Tanpa Fanny

.

"Bukankah Claude terlalu sering bersama Fanny, Kak?" Dyrroth mencak-mencak sebal hingga petang karena kesepian tak ada teman. Yah, alasan pria tampan itu ikut berlibur kan karena ada Fanny. Jika tak ada, ia lebih memilih merampungkan tugas-tugasnya.

Silvanna terkekeh pelan seraya meminum cokelat panas yang ia dapatkan dari Miya. "Biarkan saja, dia itu sedang kasmaran."

Dyrroth mengerling malas melihat kakaknya yang tidak peka. Hey, ia butuh teman! Ayolah, apa yang harus pria bersurai pirang itu buat? Dyrroth sedari tadi bermain Moblie Legends tanpa henti, bahkan tiernya yang tadi Epic sudah menjadi Mythic.

"Aku bosan, Kakak~" ujar Dyrroth seraya memelas. Silvanna sebenarnya sudah malas menyahuti Dyrroth, jadi ia diam saja.

Rombongan turis dari Moniyan ini sedang berada di kolam renang kota Azrya, kecuali Claude dan Fanny. Yah, mereka sedang jalan-jalan menelusuri Azrya tanpa panduan dari Miya.

Dyrroth melihat ke ponsel lagi, ada panggilan video dari kekasihnya. Silvanna langsung mengeluarkan sorak sorai pada adik kandungnya. "Ciee, yang sedang LDR!"

Pipi Dyrroth bersemu, ia memilih untuk tak mengindahkan godaan Silvanna. Jemari pemuda itu tergerak untuk menekan tombol 'angkat telepon' di layar ponselnya.

"Rubyy! Lihatlah wanita tua itu, kasihan dia masih jomblo," ujar Dyrroth lantang dengan mengarahkan kameranya ke Silvanna. Belum saja Ruby menyapa Dyrroth, namun perkelahian antar saudara ini sudah pula dimulai.

"Halo Ruby, bagaimana kabarmu?" sapa Silvanna ramah. Ruby tersenyum dan menjawab seadanya, "Baik, Kak. Tapi rasanya aku sedang kesepian."

Silvanna menyeruput jus apelnya lantas melirik Dyrroth tajam. "A-apa?" ujar pemuda bersurai pirang. "Dyrroth mengapa tidak menghubungiku?" tanya Ruby dengan intonasi manja.

Adik Silvanna dibuat gelagapan, "Maaf, Ruby. Bukannya lupa padamu, hanya saja aku kelelahan di sini," ujar Dyrroth, sang Kakak berceletuk, "Halah, alasan."

"Tapi itu memang benar adanya. Di Azrya aku mengunjungi semua tempat wisata, lumayan jauh dari hotelku, Ruby. Ditambah lagi aku harus berjalan kaki membawa ransel dan hanya makan buah atau sayur," jelas Dyrroth panjang lebar membuat kekasihnya diseberang sana tertawa kecil. "Iya, aku percaya."

Lelaki itu menarik napas lega. Ia lalu mengarahkan kamera ponselnya ke kolam renang, ada Alucard yang sedang tertidur sambil mengapung di kolam. "Bagaimana? Alucard keren 'kan?"

Ruby mengangguk lalu berkata, "Kamu tidak berenang juga?" Ia bingung, mengapa yang lain berenang sementara Silvanna dan Dyrroth tidak. Lagipula dimana Fanny? Katanya Dyrroth akan menemui gadis tengil itu.

"Tidak mau. Nanti kalau yang lain terpana melihat tubuh atletisku, Kamu pasti cemburu," ujar Dyrroth seraya menaik-turunkan alisnya. Ruby merasa tergelitik setelah mendengar ucapan Dyrroth.
"Terserahmu lah, Dy," tandas Ruby.

"Rubyyy~ Aku kesepian, Fanny pergi kencan," rengek Dyrroth. "Fanny dapat pacar? Wah, tak ku sangka." Alis si gadis pirang terangkat.

"Kenapa tidak bisa? Fanny cantik kok," timpal Silvanna. Ruby menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Sifatnya itu, lho, Kak."

Ah, kalau yang itu memang tak bisa disangkal. Sifat Fanny memang membuat orang tak tahan berlama-lama dengannya. Kecuali orang yang sudah mengenal si Tengil luar dalam.

.
.

Sudah sangat sore, mereka yang pergi berenang kabarnya akan segera kembali ke penginapan. Jadi aku dan Fanny memutuskan untuk pulang ke penginapan lebih cepat, gadis disampingku ini hendak memberi hadiah pada mereka.

Langkahnya riang gembira dibawah permadani senja, aku turut bersukacita melihat rekahan cahaya yang terpancar dari tatapan Fanny. Ia pasti bahagia sekali bisa memberi mereka hadiah dari uang hasil jerih payahnya.

Tangan Fanny menggenggam keranjang cokelat. Ia membelinya saat kami sampai di bagian selatan taman kota Azrya.

"Tak ku sangka kamu bisa menjelajah, Claude! Kapan-kapan kita harus menyusuri Moniyan juga," ujarnya. Aku memasukkan kedua telapak tanganku ke saku, lalu menaikkan alis. "Boleh saja."

"Terimakasih telah menemaniku, Fan. Kamu sudah seperti Dexter saja," ujarku padanya. Tiba-tiba pinggangku dicubit oleh Fanny, aku mendesis keras. "Ssh, sakit!"

"Jangan samakan aku dengan monyet." muncul simpang empat imajiner di dahi Fanny. Rautnya menggemaskan sekali, walaupun ia sedang marah sekarang. Aku tertawa, "Hahaha, tapi Dexter itu sosok yang sangat berharga bagiku."

Langkah Fanny sempat terhenti. Aku menoleh ke belakang dan menggandeng tangan gadis ini agar berjalan lebih cepat. Tak ada lagi kata yang terucap dari bilah bibirnya. Ada apa? Aku salah bicara kah? Fanny benar-benar benci dengan monyet ya?

"Oi, Claude." Fanny tiba-tiba memanggilku. Aku pun menoleh kearahnya. "Apa?"

Ia menunjukkan senyuman jahil yang sangat menyebalkan. "Katanya Dexter berharga, tapi saat dia mati mengapa kamu tak menangis?"

Pertanyaannya itu membuatku tertawa lepas. Hahaha, bodoh sekali. Aku tak akan menangis didepan orang lain. "Apanya yang lucu!?"

"Mana mungkin aku menangis. Kalaupun aku menangis, aku takkan menunjukkannya didepanmu," ujarku setelah tertawa. Fanny melipat tangannya di depan dada, pasti ia tengah kesal.

"Kalau sewaktu-waktu kamu menangis dihadapan ku bagaimana?" tantang Fanny. Hei! Meremehkan sekali nampaknya. Ia tersenyum puas melihat wajah jengkelku.

"Agak tak mungkin, tapi kalau aku sampai begitu berarti kamu sudah jadi orang yang sangat berharga untukku." Fanny mencibir, "Tch, sok romantis."

"Ngajak berantem." Aku melepaskan tautan tangan dan melipat tanganku di belakang kepala. Kami pun lanjut berjalan sampai ke penginapan.

T
B
C

Ignorant PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang