14

96 12 10
                                    

.

Kembali

.

Setelah keceplosan 3 hari yang lalu, Fanny sepertinya menjauhiku. Orang-orang yang menyuruhku mendekati Fanny sekarang malah lepas tangan dan mengatai. Salahku apa?

Memangnya jika menyatakan suka pada pujaan hati salah, ya? Jarakku dengan gadis pirang itu kian menebal. Aku cemas sekali.

"Perempuan memang begitu, Claude. Awalnya ia suka pada kita, saat disukai balik ia malah tidak suka lagi," ujar Alucard. Aku mengembuskan nafas berat, bahuku lemas.

Kereta yang kami tumpangi sebentar lagi akan tiba di Barren Land. Kami akan menginap semalam di sana karena Silvanna ingin melihat keadaan Barren Land.

Aku melirik Fanny yang sedang tertidur di bahu Silvanna, wajah polos tak berdayanya itu seakan ingin ku teriaki, 'mengapa kau menjauhiku?' namun tak mungkin.

.
.

Tiga jam berlalu, kami tiba di Barren Land dengan disambut oleh wanita mungil berkerudung merah. Namanya Ruby. Alucard bilang, gadis itu pernah menyukainya. Aku mengerling malas sebagai tanggapan.

Harith dengan perasaan cemas mulai melangkahkan kaki ke hutan hujan Barren Land yang katanya banyak penjahat. Miya juga tampak takut, ia menggenggam tangan Alucard erat-erat.

Lagi-lagi aku mengerling malas dan berjalan disamping Granger. Ia sudah seperti kulkas berjalan, tak berbicara sedikitpun. Jangankan bicara, melirikku saja ia tak sudi.

Memang ini yang ku inginkan, tak ada yang menggangguku berpikir. Hatiku tenang melihat pohon-pohon tinggi di sini walaupun hawanya agak mencekam. Tak seperti di Azrya Woodland.

Rombongan paling depan sangat berisik. Ruby, Dyrroth dan Fanny tertawa keras, sedangkan Silvanna hanya tersenyum lembut. Entah apa yang menjadi topik pembicaraan mereka, aku tak peduli.

"Hai tampan!" Aku kaget bukan main. Bahuku tiba-tiba ditepuk oleh tante seksi. Dia datang dari mana sih?

"Ya?" Ia tersenyum jelita padaku, Granger dengan langkah seribu langsung menarikku mundur menjauh dari wanita seksi itu. "Jangan ganggu temanku."

"Pergilah Alice, kami tak ingin ada kegaduhan," sambung Alucard. Bukankah sikap mereka terlalu kasar? Aku beralih memandang Alice, ia sedang tersenyum lebar. Namun sorot matanya menunjukkan kesedihan.

"Mengapa? Aku hanya ingin menyapa kalian," ujar Alice santai. Granger mengeraskan rahang lalu menjawabnya, "Kau akan membuat masalah lagi, aku tahu itu."

"Sudah-sudah! Ayo kita lanjutkan jalan saja," aku menginterupsi mereka sebelum kegaduhan ini semakin besar. Kami pun melanjutkan langkah, namun sebelum itu aku maju mendekati Alice.

Menggenggam tangannya dengan salam tempel, kuberikan ia cokelat dari Azrya. "Kupikir ini akan menaikkan suasana hatimu. Ah, satu lagi! Carilah orang yang mampu membuatmu merasa nyaman, aku tahu kamu kesepian."

Wanita itu tak bergeming sedikitpun setelah ku tinggal. Biarlah, semoga saja ia mendengarkan perkataan ku. Bukannya bermaksud menggurui, aku hanya ingin dia bahagia.

Tapi tadi itu cringe sekali, huhu. Karena keasyikan berbincang dengan diri sendiri aku sampai tak sadar kalau Fanny memandangiku sedari tadi.

.
.

"Oi, Claude! Bocah ini ingin bicara dengan mu!" seru Dyrroth dari dalam rumah Paman Roger. Kami menginap di rumah Paman Roger-yang untungnya besar dan mampu menampung kami-agar menghemat biaya. Ekonomi di Barren Land cukup tinggi, Silvanna enggan menyewa penginapan.

Ku lihat Fanny menunduk menyembunyikan wajah merahnya. "Sini, Fan!"

Dyrroth sudah meninggalkan gadis berkuncir ini. Setelah ku panggil, Fanny tetap tak beranjak dari tempatnya. Aku memutuskan untuk menghampiri gadis itu.

"Ada apa, Fan?" tanyaku. Fanny mengangkat wajah penuh ronanya sembari mencebikkan bibir. Astaga, imut sekali.

"Ke-kenapa kamu me-mendiami ku?" bukannya menjawab, Fanny malah melempar pertanyaan. Harusnya aku yang tanya begitu kan? Mengapa malah dia?

"Aku? Bukannya kamu yang mendiamiku." Fanny semakin salah tingkah. Aku melipat tangan di dada dan mulai melayangkan pandangan mengintimidasi.

"Maaf. Entah mengapa setelah kamu membelaku, aku merasa gugup," ujarnya. Hah, jujur sekali. Aku menghembuskan nafas, sedikit menunjukkan rona merah di pipi.

"Aku lebih gugup, kamu tau!?" Fanny terlonjak kaget, ah, aku tak bermaksud. "Maaf, aku mengatakan hal tak pantas kemarin. Kalau tak suka kamu bisa lupakan."

"Bukannya tak suka, aku belum pernah di bela seperti itu, jadi...." Ia tak mampu menyambungkan ucapannya. Tangannya sampai meremas-remas ujung baju yang dikenakannya. Gemas sekali.

"Aku juga belum pernah membela orang seperti kemarin, kamu pikir kamu saja yang gugup?" tanyaku retoris, aku memalingkan wajah ke samping dan mengakhirinya dengan dengusan, "huh!"

Ia terkekeh geli menyaksikan tingkahku yang jarang sekali aku nampakkan. "Kalau dipikir-pikir buat apa aku harus kikuk padamu sih?" ia memukul pundakku sembari melayangkan senyuman cerahnya. Dasar aneh, baru sebentar bicara dengan ku mood nya langsung berubah.

"Maaf ya, Claude. Ayo kita berteman lagi!" lanjut Fanny. Aku mengangkat sebelah alis, jadi maksud Fanny kemarin kita tidak temanan? Jahat sekali.

"Terserahmu," sahutku seadanya. Aku mencoba membalas senyuman Fanny walau agak kaku.

T
B
C

Ignorant PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang