.
Tinggal
.
"Ikut aku mandi," jawab gadis itu. Huh? Mandi bersama katanya? Gadis ini gila. "A-apa?"
"Ikut aku, kau harus mandi dan makan. Dasar otak mesum."
"Hey!"
Apa-apaan! Dia sendiri yang berkata dengan kalimat ambigu, tak salah jika aku jadi salah paham. Aku mengejar Fanny dan menepuk pundaknya, gadis berkuncir itu mengaduh sakit, "Sakit tau! Kau ini kenapa!?"
"Maaf tanganku terpeleset."
Ia melotot garang padaku, wajahnya imut sekali. Sedangkan aku, aku hanya memasang cengiran tanpa dosaku padanya. Biarkan saja, itu balasanku untukmu.
Di depan kami lewat anak kecil bersurai platina, Fanny memanggilnya dan ia langsung mendekat pada Fanny, "Iya, Kak?"
"Panggil yang lain, kita mau makan."
"Baiklah, Kak."
Harith berlalu dengan langkah riang setelah rambutnya diacak-acak Fanny gemas. Kadar manisnya bertambah, saat aku melihatnya begitu, Fanny tambah manis dan imut.
Gadis itu melangkah ke bilik lain yang di pintunya bertuliskan "Tidak boleh masuk kecuali Granger!" Gadis bersurai pirang ini dengan serta merta membanting pintu itu lebar-lebar dan melangkah masuk ke sana. Ia lalu membuka lemari baju di kamar ini, tangannya terjulur untuk meraih selembar kaos hitam dan ditempelkan ke badanku, mengukur kecocokan baju ini di badanku.
"Pas. Bawa ini," ucapnya sembari melemparnya ke wajah tampanku. Semena-mena sekali dia. Aku memutar mata, dan menurutinya.
Ia juga meraih celana pendek di lemari itu, "Oh iya, celana dalammu bagaimana ya?" Tanyanya. Aku menggeleng tanda tidak tau, ia menghela nafas kecewa. Gadis berkuncir ini terlalu bersemangat, lihatlah ia sampai berpangku tangan seperti Kak Ros.
Tiba-tiba suara bass terdengar dari belakangku, aku terlonjak kaget. Namun gadis itu berbeda, ia malah tersenyum lebar, "Granger! Minta celana dalam dong!"
Mata elang lelaki serba hitam itu makin menajam, "Keluar," katanya dingin. Raut ceria Fanny langsung terganti dengan wajah masamnya, mungkin karena takut dimarahi ia berjalan keluar kamar. Aku pun juga demikian, "Mau kemana? Tidak jadi pinjam celana dalam?"
Langkahku terhenti dan berbalik lagi memandangnya. Ku kira aku dan Fanny disuruh keluar, rupanya hanya Fanny ya? Ia masih menungguku bersuara, "Maaf, ku kira kau mengusirku juga.""Jadi pinjam, tidak?"
"Iya, jadi."
Sikapnya dingin sekali, aku sampai tak ingin lagi bersitatap dengan lelaki bernama Granger ini. Ia melempar sekotak celana dalam yang belum terpakai, "Ambil saja."
"Terimakasih." Aku menangkapnya dan berlalu dari bilik ini, lantas aku mendapati Fanny masih berdiri tak jauh dari sini, ia menungguku.
"Sudah kan? Ayo ke kamar mandi."
"Hn...."
Tangan halusnya mengamit lenganku dan kami berlari menuju kamar mandi, "Kamu duluan?" Tanyanya padaku, sebenarnya sih terserah, aku tidak begitu mempermasalahkan hal ini. Namun karena malas menjawab, aku hanya memberikannya gendikan bahu.
Gadis di depanku mengangguk—sok—kalem. Ia langsung masuk ke kamar mandi tanpa persiapan. Maksudku, Fanny belum menyiapkan baju ganti dan handuknya, ia berlalu begitu saja, lantas keluar lagi dari kamar mandi setelah 5 menit.
Kunciran pirang itu tergerai sebahu, ia menjadi semakin manis dengan mengenakan kaos putih polos dan celana pendek warna hitam. Pipiku rasanya panas, kenapa? Aku tidak suka begini tapi tak bisa ku pungkiri bahwa aku menikmatinya.
"Cepat mandi, sebentar lagi kita makan malam," titah Fanny, aku mengerutkan dahi, "Aku tidak punya handuk."
"Iya juga!" Serunya sembari menepuk dahi. Aku mengulum senyum, tak ingin menampakkan wajah tampanku yang bertambah tampan jika tersenyum. Ia memberikan handuk yang tersampir di pundaknya padaku, "Ini, pakai. Cuma ada handukku. Yang cepat ya, aku menunggumu di sini."
Sepertinya Fanny tipikal orang yang tak suka menunggu. Yasudah lah, aku tak mau membuatnya marah jadi langsung saja mandi—secepat yang aku bisa.
.
.Aku berakhir di sini, duduk bersila di lantai sembari menatap lauk pauk yang terhidang di meja yang pendek ini, maksudku seperti meja belajar namun sangat lebar. Di sisi kanan-ku terdapat bule nyasar, namanya Alucard, di kiri ada Fanny. Lalu di seberang ada Granger, Tigreal dan Harith. Ada seseorang yang baru datang tadi, dia wanita anggun dan berkelas yang cantik, namun entah kenapa dia menyertakan diri untuk makan bersama kami.
"Kak Tigreal, dimana Paman Franco?" Tanya Fanny. Lelaki tegap itu hanya menjawab singkat, "Dia tidur, lelah katanya."
"Ayo kita makan. Kakak sudah lapar, Harith pimpin doa ya," ucap Silvanna. Bocah imut itu mengangguk senang dan mempin kami berdoa. Lalu kami menyantap makanan enak buatan paman Franco.
"Kak Anna, bolehkan jika ada yang mau tinggal di sini lagi?" Fanny tiba-tiba melempar pertanyaan. Silvanna tidak menjawab, ia hanya tersenyum. Lalu aku lihat lagi gadis di sampingku, ia tidak seceria tadi, seakan-akan sinar dari wajahnya meredup. Kenapa ya?"Aku tidak boleh tinggal di sini?" Aku berbisik pada Fanny. Gadis itu menatapku lekat dengan raut ceria yang dibuat-buat, "Pastinya boleh!"
"Aku tau kau berbohong."
"Tidak, aku tidak bohong."
Aku tak percaya, gadis naif ini mengira aku akan percaya? Huh, tak semudah itu Fanny. Aku terus menusuk bola mata hazelnya tajam sampai ia membuang nafas dan mengaku, "Baiklah-baiklah...itu memang benar. Kak Silvanna tidak mau menambah pegawai lagi."
"Heh! Makan, jangan ngobrol," kata Granger garang. Aku mencak-mencak dalam hati, apa-apaan. Gadis itu menepuk pundakku pelan, "Tenang, nanti aku bicarakan pada Kak Anna." Okay, aku tahu satu, Fanny itu gigih.
.
."Perkenalkan, saya Silvanna, pemilik cafe ini. Tidak usah basa-basi, langsung saja. Setelah menjadi incaran permohonan Fanny, aku akhirnya akan mengabulkan permintaannya yaitu mengizinkanmu tinggal di sini. Tapi dengan syarat, kau harus bekerja di cafe-ku, dan mengurus rumah," ucap wanita anggun di depan, sorot matanya tajam menghunus manikku membuat aku terpaku saat bicara 4 mata dengannya.
Ia melipat tangannya dan menaikkan sebelah alisnya, "kau ini juga seorang pencuri, mengapa tidak lanjut mencuri saja?"
Tanpa Dexter? Kurasa setelah ini hobi buruk itu takkan terlaksana lagi. Banyak kenangan yang tak mungkin terulang, dan itu semua karena kesalahanku. Aku menggeleng lemah padanya, "Aku tak ingin mencuri lagi."
"Sudah kapok, huh?"
"Tidak, hanya saja aku tak ingin mengorek masa laluku, terlalu kelam."
Ia tersenyum tipis padaku, "Jadi bagaimana? Ingin tinggal di sini?" Tanyanya, lagi-lagi aku mengangguk, "selamat datang di rumah barumu, Claude."
Silvanna mengajakku keluar bilik yang entah milik siapa, "YEAAYY WELCOME HOME CLAUDE!" Fanny terpekik girang melihat senyuman yang terlukis di wajahku, "Hahaha, Thank you, Fan."
Keceriaan Fanny menular, sampai-sampai aku dibuatnya tertawa. Sekarang kami tengah berpegangan tangan dan melompat-lompat tidak jelas, "YEAY ASYIK, TEMAN BARU!"
"Sudah, sekarang antarkan Claude ke kamarnya. Besok kakak akan menyiapkan keperluan Claude." Fanny dan aku berhenti, ia mengangguk sampai poninya bergoyang, lucu.
T
B
C
KAMU SEDANG MEMBACA
Ignorant Partner
Teen FictionSiapa sangka korban kejahilan Fanny yang baru ini malah merasa nyaman saja diusili. Harusnya kan kesal. Fanny itu jahil, tapi Claude tidak bisa jauh-jauh darinya. Claude x Fanny ┌─────────────────┐ Cast belong to Moonton:3 Not original story...