03

133 14 3
                                    

.

Makan Malam

.

Huuffttt, hari yang melelahkan. Aku sudah selesai mandi dan sedang duduk manis di meja makan. Kali ini aku diapit oleh Granger dan Alucard.

Di depanku ada Tigreal dan tunangannya, ada Fanny juga sebagai nyamuk. Di sisi kiri ada Silvanna yang sedang memangku Harith, lalu di kanan ada paman Franco. Menu makan malam hari ini adalah Tomyam, baunya membuatku tak sabar ingin makan.

"Kak Natalia, Fanny tau bahu Kak Tigreal itu empuk, tapi jangan sekarang dong nyendernya," ucap Fanny dengan bibir kerucutnya. Gadis pirang itu seperti ingin minta di kecup, hmm, sebentar aku ingin membayangkan Irithel mencebik.

Cantik, tapi tidak manis seperti Fanny. Wanita suram itu terkekeh, suaranya berat, "cemburu ya? Maaf, bahu kakakmu ku pinjam sebentar."

"Huh! Kak Nata kenapa bisa suka sama Kak Tigreal? Dia ini cuma suka marah-marah," kata Fanny sinis. Tigreal memandang tajam adiknya, Fanny langsung kecut, ia menggembungkan pipi dan membuang muka.

"Kamu hanya memandang sisi buruk kakakmu," balas Natalia. Fanny mengangguk, "karena Kak Tigreal tak pernah melakukan hal baik."

"Tutup mulutmu Fanny, suaramu membuat telingaku sakit. Ku harap kau bisu," kini Tigreal menimpali ucapan Fanny. "Ya ya ya, dasar Kak Tigreal raja iblis! Besok aku tidak mau mencuci pakaianmu!"

Fanny mengangkat piringnya pergi dari meja makan, ia mungkin menuju ke gazebo di belakang dan makan sendirian di sana. Tak lama mereka yang ada di meja tertawa keras minus aku, Granger dan Harith.

"Fanny itu tidak pernah berubah, ya Tigreal? Dia masih saja bertingkah seperti anak-anak," kata Silvanna. Alucard menambahkan, "anak-anak lelaki pula. Nakal sekali."

"Paman Franco harusnya masak sedikit saja biar Fanny tidak kebagian makan," ujar Tigreal ketus. Granger hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah polah teman-temannya, "Ayo makan. Aku sudah lapar," ucapnya. Aku setuju, kuah tomyam itu rasanya ingin ku sesap. Namun, seperti ada yang kurang sekarang.

.
.

Fanny belum juga kembali, aku menghabiskan tomyamku dalam waktu 3 menit, melahapnya seperti orang kesetanan. Aku ingin menyusul Fanny, "Terimakasih makanannya, aku ke kamar."

Sebenarnya tidak ke kamar, aku harus mencuci piring dan menenangkan Fanny dahulu. Natalia menginterupsiku, "kalau ketemu Fanny bilang padanya, kami tak suka dia," ucapnya dengan nada bercanda.

Aku memilih untuk pergi tanpa balasan apapun. Menurutku mereka seperti tak berperasaan, apalagi jika ditujukan kepada Fanny. Dia itu perempuan naif dengan perangai seperti anak-anak, kalian bisa bayangkan bagaimana hati anak-anak jika terluka.

Aku berlari menuju gazebo belakang, Fanny memang ada di sana. Ia membuang makanan enak buatan paman Franco. Aku menghampiri Fanny yang tengah memeluk lututnya, membelakangi ku.

"Fanny," panggilku. Ia tampak gelagapan dan berbalik menghadapku dengan alis menukik, ada jejak air mata di pipinya. Aku tau Fanny, bercandaan mereka memang pantas membuatmu menangis.

"Kenapa? Pergi sana!" Ia mengusirku yang sedang berniat baik, aku jadi jengkel, "Fanny, dengar."

"Aku tau aku sangat kekanakan, aku juga tidak makan, jadi Kak Tigreal bisa berpuas hati! Aku tidak mau merubah perangaiku, tidak mau!"

Tangisannya tumpah lagi, aku menghembuskan nafas. Rasanya jadi tidak tega, "Hey, jangan menangis."

Aku duduk di sebelah gadis berkuncir ini, mengelus punggungnya untuk mengalirkan ketenangan, "Aku tau kalian tidak suka aku. Pergi sana."

"Tidak mau." Aku berkeras, niatku ke sini ingin menghiburnya, memastikan saat ia tidur nanti tidak ada lagi air mata.

Ia memandangku tajam dengan air mata yang terus mengalir, manis sekali, "Apa?" Tanyaku dengan sirat intimidasi,
"Tidak ada."

Tahan tawamu Claude, membuat Fanny menurut mudah sekali. Kau hanya tinggal menggertaknya, "Masih betah menangis? Ku kira kau ini tangguh, rupanya hanya seperti wanita biasa."

"Hey! Aku tangguh tau! Aku hanya kelilipan, mataku perih," sanggahnya. Mana ada kelilipan seperti itu, "Aku bisa memukulmu sampai muntah darah, huh."

"Itu terlalu kasar."

"Lalu apa maumu? Ayo tanding tinju!"

"Apa kamu pikir aku lelaki yang berani memukul wanita kekanakan dan naif sepertimu?"

"Aku ini kuat, kamu tidak boleh meragukan ku."

"Bukan itu masalahnya-"

"Ah, kamu hanya memikirkan martabatmu sebagai lelaki. Tidak seru."

"Tentu saja, nanti tidak ada yang suka padaku."

"Memang tidak ada! Kamu'kan ngeselin dan jelek, siapa yang suka? Bwahahaha! Claude tidak laku, wlee."

Tangisannya reda namun rasa jengkelku kembali naik dibuatnya. Apa menghibur Fanny harus merendahkan diri dahulu? Kejam sekali.

"Tch, hati-hati nanti suka."

"Mana bisa, yang ada di hatiku cuma Mabuchi Kou."

"Pfttt-- kamu wibu? Dah besar kok masih nonton kartun?"

"Anime itu bukan kartun! Wah, parah. Claude parah, aku rasanya ingin mencekoki mu Boku No Pico."

"Lakukan saja kalau bisa," aku berkata santai padanya. Gadis konyol ini menggeram marah, astaga aku membuatnya meledak. Sebentar lagi ia akan meninjuku.

Aku langsung turun dari gazebo itu, dan berlari ke lapangan rumput kecil. Aku akui, Fanny itu kuat, entah apa yang dimakannya. Buktinya saja, dia bisa menggendongku tanpa bantuan orang lain dan membantingku dengan cepat. Bagaimana jika aku dipukulnya ya? Bisa-bisa rahangku lepas.

Fanny mengejarku sambil tertawa keras, "Jangan lari!" Serunya. Fanny lambat, aku sudah jauh sekali dari gadis itu. Tapi ia gigih, gadis itu berhasil menyusulku dengan nafas patah-patah.

"Sudah? Ayo pulang. Kamu belum makan." Fanny menggeleng, "Pfttt-- kena tipu lagi! Aku sudah makan kok, tapi hanya setengah. Aku pintar, bukan?"

"Tidak. Kamu pembohong."

"Hehehe," ia menyengir bodoh-tapi manis-sambil menggunakan gaya andalanku, melipat tangannya di belakang kepala.

"Ayo pulang. Sudah malam."

"Baiklah."

Aku mulai melangkah pelan ke rumah, dengan Fanny di sampingku. Katanya ia akan membalas ejekan orang rumah dengan kelakuan yang lebih menjengkelkan. Semoga saja tidak berimbas padaku.

T
B
C

Ignorant PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang